1. Akal dan hati abad pada pertengahan
2. Akal dan hati pada jaman modern
3. Akal dan hati pada zaman yunani kuno
4. Barat dan Timur di Antara Kebudayaan Nasional
5. Beberapa Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan
6. Beberapa Kegunaan Mempelajari Filsafat
7. Bentuk Filsafat Indonesia
8. Motivasi Belajar Peserta Didik
9. Cabang-cabang Filsafat
10. Ciri-ciri Pemikiran Filsafat
11. Dasar Hukum Pendidikan Karakter
12. Dasar-Dasar Kajian Filsafat Pendidikan
13. Dekonstruksi Pendidikan
14. Evolusi Filsafat Pendidikan Masa Depan
15. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial dan Kebudayaan
16. Filsafat Indonesia
17. Filsafat Islam
18. Filsafat Pendidikan Masa Depan
19. Filsafat Sebagai Cara Berpikir
20. Filsafat Sebagai Ilmu
21. Filsafat Sebagai Pandangan Hidup
22. globalisasi dn lingkungan teknologi
23. Hubungan antara Manusia dan Adat Istiadat
24. Hubungan antara Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan
25. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter
26. Jenis-Jenis Pendidikan Karakter
27. kedudukan Ilmu, Filsafat, dan Agama
28. Konsep “Kebudayaan” dalam Sistem Perundangan
29. Konsep al-Hikmah dan al-Hikmah al-Muta’aliyah
30. Konsep dan Realitas Wujud Mulla Sadra
31. Kota dan Pengangguran
32. Lahirnya Filsafat Islam
33. MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN IPS...
34. Makalah perubahan budaya
35. Materi Filsafat (Pandangan Hidup) Indonesia
36. Materi Pendidikan IPS Secara Global
37. Mengenal Pendidikan Karakter
38. Metode dan karakteristik al-Hikmah al-Muta’aliyah
39. metode-metode filsafat
40. MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK
41. Nilai-Nilai Karakter
42. Objek Materi dan Objek Forma Filsafat
43. Pancasila Sebagai Awal dan Akhir Pendidikan
44. Pancasila Sebagai Ideologi Kaum Terdidik
45. Pemikran Filsafat Indonesia
46. Pendidikan Karaketr secara Terpadu Melaui Managemen Sekolah
47. Pendidikan Karakter Secara Terpadu Melalui Ektrakurikuler
48. Pendidikan Karakter secara Terpadu Melaui Pembelajaran
49. Pengatar kepada Filsafat
50. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN IPS DI MASYARAKAT
51. PENGERTIAN KURIKULUM
52. PENGERTIAN FILSAFAT
53. Pengertian Filsafat Pendidikan
54. Pengertian Gender
55. Pengertian Pengangguran
56. PENULISAN KARANGAN
57. Peristiwa-peristiwa Perubahan Kebudayaan
58. Perkembangan Kebudayaan Indonesia
59. permasalahan Pendidikan
60. Perubahan yang Dikehendaki
61. Pilar Pendidikan Karakter
62. Pola Pikir Pendidikan IPS di Masyarakat
63. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter
64. Proses-proses Perubahan Sosial dan Kebudayaan
65. Sejarah Kelahiran Filsafat
66. Struktur Sosial
67. Sumber-sumber al-Hikmah al-Muta’aliyah
68. Teori Karl Marx mengenai kapitalisme dalam kartu Bee Movie
69. Teori-Teori Perubahan Sosial
70. tugas pendidikan
71. Tujuan Filsafat Pendidikan
72. Tujuan Pendidikan Karakter
73. Tujuan, Manfaat, dan Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
74. Urgensi Pendidikan Karakter
75. Virtualisasi Pendidikan
Senin, 26 Desember 2016
Virtualisasi Pendidikan
Virtualisasi Pendidikan
Pendidikan mengalami perubahan
realitas. Semula dari pendidikan yang bersifat riil atau empiris, menuju
pendidikan yang bersifat virtual. Perkembangan teknologi memaksa
penyelenggaraan pendidikan yang tidak hanya dilakukan di kelas, tetapi juga di
luar kelas, bahkan pendidikan tanpa ruang.
Sebagaimana
dipahami bahwa objek filsafat adalah bentuk-bentuk keberadaan yang memiliki
tingkatan, mulai dari benda mati sampai simbol. Tantang-tantangan yang muncul
pada hari ini adalah hadirnya objek filsafat yang berbeda dengan masa-masa
lalu.
Misalnya
dalam konsep kosmologi yang mengangkat benda mati sebagai objek berpikir, maka
akan didapati konsep-konsep alam semesta yang berubah. Penemuan tata surya baru
dalam ilmu astronomi, dugaan adanya makhluk asing dari tata surya yang berbeda,
serta luas alam semesta yang yang semakin membesar semua itu membawa pada
imajinasi-imajinasi terjauh tentang alam semesta. Adakah sebuah tempat yang
dijadikan sebagai kehidupan bagi makhluk lain kecuali kita yang mendiami bumi?
Dalam konsep ontology, yakni tentang
pencarian kenyataan yang hakiki, manusia akan dihadapkan pada kenyataan maya (virtual reality). Kenyataan inilah yang
disebut-sebut menggantikan kenyataan actual, yakni kenyataan yang dihadapi secara
inderawi. Dalam bahasa sehari-hari manusia bisa melihat kenyataan di mana saja
cukup dari bilik kamar yang sempit, yang di dalamnya terdapat jaringan
computer. Manusia bisa melihat belahan bumi mana pun, bahkan tempay-tempat
rahasia melalui teknologi satelit.
Dalam
konsep etika, munculnya teknologi bayi tabung, cloning, dan pengujian DNA. Itu
semua menantang filsafat untuk mendefiniskan kembali tentang asal-usul dan
nilai manusia. Teknologi telah memungkinkan “penciptaan” manusia melalui wadah
yang dinamakan dengan incubator. Dalam incubator itu, unsure-unsur kimiawi
kemanusiaan dilarutkan, dan segala hal yang mempengaruhinya dipantau sedemikian
rupa, samapi kemudian lahirnya seorang anak manusia. Ketika teknologi cloning
diarahkan kepada hewan, orang akan melihat tidak ada problem kelaziman atau
kesopanan. Akan tetapi, ketika teknologi cloning diarahkan kepada manusia, maka
nantinya anak tersebut akan mendapatkan kesulitan menjawab pertanyaan orang
tuanya siapa, kenapa dia harus disebut manusia ciptaan Tuhan dan bukan ciptaan
manusia, dan apa yang mesti dilakukan untuk mengantisipasi lahirya manusia
tanpa orang tua di masa yang akan datang. Masalah-masalah tersebut di masa
depan akan dipecahkan dengan sejumlah teori. Teori itulah yang akan bermanfaat
bagi perkembangan filsafat pada masa datang.
Sumber
Buku : Dr. Saifur Rohman, M.Hum, M.Si dan Agus Wibowo, M.Pd. 2016. Filsafat
Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 19.
Urgensi Pendidikan Karakter
Urgensi
Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter menjadi kebutuhan mendesak mengingat demoralisasi dan degradasi
pengetahuan sudah sedemikian akut menjangkiti bangsa ini di semua lapisan
masyarakat. Pendidikan karakter diharapkan mampu membangkitkan kesadaran bangsa
ini untuk membangun pondasi kebangsaan yang kokoh. Menurut Agus Prasetyo dan
Emusti Rivasintha, melalui Kementrian Pendidikan Nasioanl, Pemerintah sudah
mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari
SD hingga perguruan tinggi. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam
dunia pendidikan di Indonesia dapat dimaklumi, sebab selama ini dirasakan
proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang
berkarakter. Banyak yang menyebut bahwa pendidikan telah gagal dalam membangun
karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang pandai dalam menjawab soal
ujian dan berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah dan penakut, serta perilakunya
tidak terpuji. Inilah yang mendesak lahirnya pendidikan karakter.
Banyak
hasil penelitian yang membuktikan bahwa karakter dapat mempengaruhi kesuksesan
seseorang. Di antaranya, hasil penelitian di Harvard University, Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa ternyata
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill), tetapi
oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya
ditentukan sekitar 20% oleh hard skill,
dan sisanya 80% oleh soft skill.
Bahkan banyak orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih
banyak didukung oleh kemampuan soft skill
daripada hard skill. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting
untuk ditingkatkan.
Ratna
Megawangi, dalam bukunya Semua Berakar
pada Karakter, mencontohkan kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan
karakter sejak awal tahun 1980-an, menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk
mengukir akhlak melalui proses knowing
the good, loving the good, and acting the good (suatu proses pendidikan
yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga berakhlak mulia).[1]
Dengan pendidikan karakter ini, diharapkan kecerdasan luar dan dalam menjadi
bersatu dalam jiwa sebagai kekuatan dahsyat dalam menggapai cita-cita besar
yang diimpikan bangsa, yakni sebagai bangsa yang maju dan bermartabat, yang
disegani karena integritas, kredibilitas, prestasi, dan karya besarnya dalam
panggung peradaban manusia.
Sumber : Jamal Ma’mur Asmani. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan
Karakter di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press. Hal. 47.
Tujuan, Manfaat, dan Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Tujuan, Manfaat,
dan Fungsi Filsafat Pendidikan Islam
Pertama,
membantu merumuskan masalah-masalah pendidikan dan sekaligus memberikan cara
untuk mengatasinya. Berdasarkan cara kerjanya yang sistematik, radikal,
universal, mendalam, spekulatif dan rasional, filsafat pendidikan dapat
menunjukan alternatif-alternatif pemecahan permasalahan pendidikan, seperti
masalah rendahnya mutu pendidikan, tidak efektifnya proses belajar mengajar,
tidak tercapainya tujuan pendidikan, rendahnya mutu tenaga pendidikan, dan lain
sebagainya.
Kedua,
memberikan informasi komprehensif, mendalam, dan sistematik tentang hal-hal
yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan dan mendesain konsep pendidikan,
seperti informasi tentang manusia dengan berbagai potensi, bakat dan minat yang
dimilikinya; tentang alam jagat raya dengan berbagai macam ragam, sifat dan
karakternya; tentang ilmu pengetahuan tentang sumber (ontologi), metodologi
(epistemologi), dan pengunaannya (aksiologi)nya, tentang akhlak (etika) dengan
berbagai macam dan proses menanamkannya dalam diri manusia, tentang masyarakat
dengan berbagai stratifikasinya, tentang nilai-nilai budaya dan lain
sebagainya. Informasi tentang berbagai hal yang dikaji dalam filsafat tersebut
selanjutnya digunakan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kurikulum, proses
belajar mengajar, dan berbagai komponen pendidikan lainnya.
Ketiga,
memberikan dorongan bagi dilakukannya aktivitas pendidikan yang disebabkan
karena memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang sistematik, mendalam, dan komprehensif
tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan.
Keempat,
memberikan informasi tentang proses pendidikan, termasuk pendidikan Islam,
tentang bermutu atau tidaknya pendidikan tersebut, atau tercapai tidaknya
tujuan pendidikan yang ditetapkan, serta berbagai kelemahan lainnya. Dengan
bantuan filsafat pendidikan akan dapat diketahui letak kelemahan pendidikan
tersebut, dan sekaligus memberikan alternative-alternatif perbaikan dan pengembangan.
Dengan memerhatikan tujuan dan
manfaat filsafat pendidikan tersebut di atas, maka filsafat pendidikan
(termasuk pendidikan Islam) memiliki beberpa fungsi sebagai berikut. Pertama, fungsi spekulatif, yaitu
berusaha untuk mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan mencoba
merumuskannya dalam satu gambaran pokok sebagai pelengkap bagi data-data yang
telah ada dari segi ilmiah. Kedua,
fungsi normatif, yaitu menentukan arah dan maksud pendidikan. Hal yang demikian
terlihat dari adanya rumusan visi, misi, dan tujuan pendidikan, yakni keadaan
manusia atau masyarakat yang diinginkan oleh bantuan filsafat pendidikan. Ketiga, fungsi kritik, yaitu memberikan
dasar bagi pengertian kritis dan rasional dalam mempertimbangkan dan
menafsirkan data-data ilmiah. Misalnya, data pengukuran analisis evaluasi
kepribadian maupun prestasi, cara menetapkan klasifikasi prestasi secara tepat dengan
data-data yang objektif, dan menetapkan asumsi-asumsi berikut hipotesisnya yang
lebih masuk akal. Keempat, fungsi
teoritis, yakni memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu kegiatan praktik
dalam dunia pendidikan.[1]
Sumber
Buku : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. 2012. Pemikiran
Pendidikan Islam & Barat. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 38.
[1] Lihat John S. Brubacher, Modern
Philosophies of Education, (New Delhi: McGraw Hill, 1978), hlm. 313-325.
Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan
Pendidikan Karakter
Tujuan
pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaharuan
tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Tujuan jangka
panjangnya tidak lain adalah mendasarkan diri pada tanggapan aktif kontekstual
individu atas impuls natural social yang diterimanya, yang pada gilirannya
semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri
secara terus-menerus (on going formation).
Tujuan jangka panjang ini merupakan pendekatan dialektis yang semakin
mendekatkan dengan kenyataan yang ideal, melalui proses refleksi dan interaksi
secara terus-menerus antara idealisme, pilihan sarana, dan hasil langsung yang
dapat dievaluasi secara onjektif.[1]
Pendidikan
karakter juga yang bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan
akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan
standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter, diharapkan siswa didik
mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuan pengetahuannya,
mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan
akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan
karakter paad tingkatan institusi, mengarah pada pembentukan budaya sekolah,
yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
symbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah dan masyarakat
sekitar. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra
sekolah terdapat di mata masyarakat luas.
Tujuan
mulai pendidikan karakter ini akan berdampak langsung pada prestasi anak didik.
Menurut Suyanto. Ada beberapa penelitian yang menjelaskan dampak pendidikan
karakter terhadap keberhasilan akademik. Ringkasan dari beberapa penemuan
penting mengenai hal ini dterbitkan oleh sebuah Buletin Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education
Partnership.
Dalam
buletin tersebut, diuraikan bahwa hasil studi Marvin Berkowitz dari University
of Missouri, St. Louis menunjukan adanya peningkatan motivasi siswa dalam
meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan
karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter
menunjukan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat
menghambat keberhasilan akademik.
Hal
it sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di
masyarakat. Menurutnya, 80% keberhasilan seseorang di masyarakat dipengaruhi
oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20% ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Beberapa Negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan
dasar di antaranya adalah Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil
penelitian di Negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan
karakter yang tersusun secara sistematis berdampak posistif pada pencapaian
akademis. Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga
dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir
generasi bangsa yang cerdas dan berkarakter sesuai dengan nilai-nilai leluhur
bangsa dan agama.[2]
Internalisasi
pendidikan karakter ini semakin tidak langsung akan menjadi kekuatan untuk
menyeleksi dan memfilter setiap tantangan yang datang dari luar, baik berupa
budaya Barat, nilai-nilai masyarakat, dan pemikiran-pemikiran yang setiap lalu
lalang dihadapan manusia lewat media cetak maupun elektronik. Perang pemikiran,
kebudayaan, ekonomi, moral, dan nilai terjadi begitu dasyat di era kompetisi
terbuka sekarang ini, sehingga dibutuhkan individu dan masyarakat yang tangguh
dan konsisten menjalani nilai-nilai suci dan agung yang diyakininya. Ia kana
menjadi figure transformator yang menginspirasi dan memotivasi manusia untuk melestarikan
dan memperjuangkan nilai-nilai agung yang diyakini kebenarannya, serta dinamis
dan progresif dalam mengembangkan nilai-nilai tersebut sehingga senantiasa
relevan dengan tantangan kekinian yang membutuhkan proses adaptasi,
kontekstualisasi, dan revitalisasi secara terus-menerus. Pendidikan karakter
menjadi sangat penting karena posisinya strategis dalam memompa semangat
manusia dalam melestarikan dan memperjuangkan nilai-nilai agung tersebut.
Sumber : Jamal Ma’mur Asmani. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan
Karakter di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press. Hal. 42.
Langganan:
Postingan (Atom)