Filsafat Sebagai
Ilmu
Dikatakan sebagai ilmu[1]
karena di dalam pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimanakah, mengapakah, ke manakah,
dan apakah. Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang
dapat ditangkap atau yang tampak oleh indra. Jawaban atau pengetahuan yang
diperolehnya bersifat deskriptif
(penggambaran). Pertanyaan mengapa menanyakan
tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya
bersifat kausalitas (sebab akibat). Pertanyaan ke mana menanyakan apa yang terjadi di masa lampau, masa sekarang,
dan masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh ada tiga jenis pengetahuan,
yaitu: Pertama, pengetahuan yang
timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang nantinya
pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Ini dapat dijadikan dasar
untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Kedua,
pengetahuan yang akan timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini tidak dipermasalahkan apakah
pedoman tersebut selalu dipakai atau tidak. Pedoman yang selalu dipakai disebut
hukum. Ketiga, pengetahuan yang
timbul dari pedoman yang dipakai (hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan
pegangan. Tegasnya, pengetahuan yang diperoleh dari jawaban ke manakah adalah
pengetahuan yang bersifat normatif.
Pernyataan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu
hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix)
dan tidak lagi bersifat empiris sehingga hanya dapat dimengerti oleh akal.
Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya ini kita akan dapat mengetahui
hal-hal yang sifatnya sangat umum, universal, abstrak. Dengan demikian, kalau
ilmu-ilmu yang lain (selain filsafat) bergerak dari tidak tahu, sedang ilmu
filsafat bergerak dari tidak tahu ke tahu selanjutnya ke hakikat.
Untuk
mencari/ memperoleh pengetahuan hakikat, haruslah dilakukan dengan abstraksi,
yaitu suatu perbuatan akal untuk mengilangkan keadaan, sifat-sifat yang secara
kebetulan (sifat-sifat yang tidak harus ada/ aksidensia), sehingga akhirnya
tinggal keadaan/ sifat yang harus ada (mutlak) yaitu substansia, maka
pengetahuan hakikat dapat diperolehnya.[2]
Sumber
: Asmoro Achmadi. (2009). Filsafat Umum.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. hlm. 4.
[1] Berdasarkan ukuran tertentu
bidang filsafat dapat dibedakan menjadi tiga: filsafat sistematis, filsafat
khusus, dan filsafat keilmuan.
[2] Hal ini merupakan bentuk
penyimpulan Aristoteles yang dikenal dengan nama silogisme (penyimpulan
deduktif). Untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat suatu orang harus
menghilangkan aksidensinya (hal-hal/sifat-sifat yang melekat secara kebetulan),
yaitu: kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, status, aksi, pasi.
Juga, dikenal sebagai 10 kategori Aristoteles.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar