Minggu, 25 Desember 2016

Filsafat Sebagai Ilmu



Filsafat Sebagai Ilmu

            Dikatakan sebagai ilmu[1] karena di dalam pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimanakah, mengapakah, ke manakah, dan apakah. Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak oleh indra. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskriptif (penggambaran). Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas (sebab akibat). Pertanyaan ke mana menanyakan apa yang terjadi di masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh ada tiga jenis pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan yang timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang nantinya pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Ini dapat dijadikan dasar untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Kedua, pengetahuan yang akan timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini tidak dipermasalahkan apakah pedoman tersebut selalu dipakai atau tidak. Pedoman yang selalu dipakai disebut hukum. Ketiga, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai (hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan. Tegasnya, pengetahuan yang diperoleh dari jawaban ke manakah adalah pengetahuan yang bersifat normatif.
            Pernyataan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix) dan tidak lagi bersifat empiris sehingga hanya dapat dimengerti oleh akal. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya ini kita akan dapat mengetahui hal-hal yang sifatnya sangat umum, universal, abstrak. Dengan demikian, kalau ilmu-ilmu yang lain (selain filsafat) bergerak dari tidak tahu, sedang ilmu filsafat bergerak dari tidak tahu ke tahu selanjutnya ke hakikat.
Untuk mencari/ memperoleh pengetahuan hakikat, haruslah dilakukan dengan abstraksi, yaitu suatu perbuatan akal untuk mengilangkan keadaan, sifat-sifat yang secara kebetulan (sifat-sifat yang tidak harus ada/ aksidensia), sehingga akhirnya tinggal keadaan/ sifat yang harus ada (mutlak) yaitu substansia, maka pengetahuan hakikat dapat diperolehnya.[2]

Sumber : Asmoro Achmadi. (2009). Filsafat Umum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. hlm. 4.


[1] Berdasarkan ukuran tertentu bidang filsafat dapat dibedakan menjadi tiga: filsafat sistematis, filsafat khusus, dan filsafat keilmuan.
[2] Hal ini merupakan bentuk penyimpulan Aristoteles yang dikenal dengan nama silogisme (penyimpulan deduktif). Untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat suatu orang harus menghilangkan aksidensinya (hal-hal/sifat-sifat yang melekat secara kebetulan), yaitu: kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, status, aksi, pasi. Juga, dikenal sebagai 10 kategori Aristoteles.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar