MAKALAH MODEL
PEMBELAJARAN IPS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pendidikan IPS sudah lama dikembangkan
dan dilaksanakan dalam kurikulum-kurikulum di Indonesia. Mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) adalah salah satu mata pelajaran yang berusaha membekali
wawasan dan keterampilan peserta didik sekolah untuk mampu beradaptasi dan
bermasyarakat serta menyesuaikan dengan perkembangan dalam era globalisasi.
Melalui mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, peserta didik diarahkan,
dibimbing, dan dibantu untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik dan warga
dunia yang efektif.[1]
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah bertujuan sebagai berikut:
1.
Mengajabarkan konsep-konsep dasar
sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah dan kewarganegaraan melalui pendekatan
pedagogis dan psikologis.
2.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis
dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial.
3.
Membangun komitmen dan kesadaran
terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
4.
Meningkatkan kemampuan bekerjasama dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut
perlu dikembangkan model pembelajaran yang kondusif dan menggairahkan peserta
didik agar bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial di sekolah. Salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai guru adalah
keterampilan mengembangkan model pembelajaran, yaitu keterampilan yang
berhubungan dengan upaya untuk mengembangkan model pembelajaran di kelas yang
dapat memotivasi dan menggairahkan belajar peserta didik.[2]
Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi; (2) pengetahuan
pedagogic (pedagogical knowlegde)
yang bisa dilihat dalam Permendiknas
Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru;
dan (3) Keterampilan mengajar (teaching
skills).
Dalam pelaksanaan pembelajaran IPS
sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat menonton dan ekspositoris
sehingga peserta didik kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang
menarik padahal guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat peserta
didik karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS.
Model pembelajaran IPS yang implementasikan saat ini masih bersifat
konvensional sehingga peserta didik sulit memperoleh pelayanan secara optimal.
Bahkan, banyak yang mementingkan aspek akademis dibandingkan dengan aspek-aspek
non-akademis lainnya, seperti moral, atika, iman, dan taqwa.[3]
Salah satu upaya yang memadai untuk
itu adalah dengan melakukan model pembelajaran. Dalam upaya peningkatan
kualitas pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, menuntut kreativitas guru dalam
mengembangkan model pembelajaran yang mampu melibatkan peserta didik secara
aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran.
1.1 Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian model pembelajaran IPS?
2. Apa
saja model-model dalam pembelajaran IPS?
3. Bagaimana
cara mengimplemetasikan model-model pembelajaran IPS?
1.2 Tujuan
Pembuatan Makalah
1. Untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan IPS.
2. Mendeskripsikan
model-model pembelajaran IPS.
3. Mengimplementasikan
model-model pembelajaran IPS.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Model Pembelajaran
IPS
Secara khusus, model diartikan sebagai
karangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu
kegiatan.[4]
Setiap model pembelajaran mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan
dengan yang lain. Tidak ada model pembelajaran yang paling efektif untuk semua
mata pelajaran atau untuk semua materi.[5] Sebagai seorang guru harus mampu memilih
model pembelajaran yang tepat bagi peserta didik. Karena itu dalam memilih
model pembelajaran yang diterapkan di kelas harus mempertimbangkan beberapa
hal, yaitu: tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran yang akan diajarkan,
ketersediaan fasilitas dan media, sumber-sumber belajar, kondisi peserta didik
atau tingkat kemampuan peserta didik, dan alokasi waktu yang tersedia agar
penggunaan model pembelajaran dapat diterapkan secara efektif dan menunjang
keberhasilan peserta didik dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan
dalam kegiatan pembelajaran sehingga proses belajar mengajar akan lebih menarik
dan siswa belajar akan lebih antusias dan mampu mengubah persepsi siswa
terhadap mata pelajaran IPS akan lebih positif dan akan lebih menyenangkan.
Komponen utama mengajar yang efektif diringkas dalam gambar 1.1 (Slavin, 2008).
Gambar 1 Komponen Pengajaran yang baik
2.2
Model-Model Pembelajaran IPS
Berikut diberikan beberapa contoh
model pembelajaran yang memiliki kecenderungan berlandaskan paradigm
konstruktivistik yaitu:[6]
1. Model Reasoning and Problem Solving
Reasoning
merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang
meliputi basic thinking, critical thinking, dan kreative thinking. Selanjutnya, Johnson
(1992) merangkum beberapa definisi critical
thinking dari beberpa ahli, seperti Ennis (1987,1989), Lipman (1988),
Siegel (1988), Paul (1989), dan McPeck (1981), yang disebut juga “the Group of Five”. Ia menyimpulan bahwa
ada tiga persetujuan substansi dari kemampuan berpikir kritik. Pertama, berpikir kritis memerlukan
sejumlah kemampuan kognitif; kedua,
berpikir kritis memerlukan sejumlah informasi dan pengetahuan; dan ketiga, berpikir kritis mencangkup
dimensi afektif yang semuanya menjelaskan dan menekankan secara berbeda-beda.
Tujuan berpikir kritis adalah untuk menilai suatu pemikiran, menaksir nilai
bahkan mengevaluasi pelaksaan atau praktik dari suatu pemikiran dan nilai
tersebut.
Dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan
jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki
sebelumnya. Jadi, kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui
kemampuan reasoning.
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima
langkah pembelajaran, yaitu:
1.
Membaca dan berpikir (mengidentifikasi
fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan.
2.
Mengeksplorasi dan merencanakan
(pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel,
grafik, atau gambar).
3.
Penyeleksi strategi (menetapkan pola,
menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, dedukasi logis,
menulis persamaan).
4.
Menemukan jawaban (mengestimasi,
menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri).
5.
Refleksi atau perluasan (mengoreksi
jawaban, menemukan alternative pemecahan, memperluas konsep dan generalisasi,
mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang
orsinil).
Pada model pembelajaran ini guru
berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif,
fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah sebuah metode
dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih peserta didik menghadapi
berbagai masalah baik pribadi atau perorangan maupun kelompok untuk dipecahkan
sendiri atau bersama-sama. Ada empat tahap proses pemecahan masalah menurut
Savage dan Amstrong sebagai berikut:
1)
Mengenal adanya masalah;
2)
Mempertimbangkan pendekatan-pendekatan
untuk pemecahannya;
3)
Memilih dan menerapkan
pendekatan-pendekatan tersebut; dan
4)
Mencapai solusi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Adapun keunggulan metode problem solving, sebagai berikut:
a.
Melatih peserta didik untuk mendesain
suatu penemuan.
b.
Berpikir dan bertindak kreatif.
c.
Memecahkan masalah yang dihadapi secara
realistis.
d.
Mengidentifikasi dan melakukan
penyelidikan.
e.
Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
f.
Merangsang perkembangan kemajuan
berpikir peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
g.
Dapat membuat pendidikan sekolah lebih
relevan dengan kehidupan khususnya.
Kelemahan
metode problem solving, adalah
sebagai berikut:
a.
Beberapa pokok pembahasan sangat sulit
untuk menerapkan metode ini.
b.
Memerlukan advokasi waktu yang lebih
panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
2.
Model
Inquiri Training
Secara umum, istilah “inquiri”
berkaitan dengan masalah dan penelitian untuk menjawab suatu masalah. Rogers
(1969), misalnya menyatakan bahwa inkuiri merupakan suatu proses untuk
mengajukan pertayaan dan mendorong semangat belajar para siswa pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Sebagai sebuah metode mengajar yang berorientasi
pada latihan meneliti dan mempertanyakan, istilah ini sejajar dengan metode
pemecahan masalah, berpikir reflektif dan atau ‘discovery’ (Hagen, 1969).
Namun, Beyer (1971) mengatakan bahwa inkuiri lebih dari sekedar bertanya.
Inkuiri adalah suatu proses mempertanyakan makna atau arti tertentu yang
menuntut seseorang menampilkan kemampuan intelektual agar ide atau pemikirannya
dapat dipahami.
Pengunaan pendekatan ini memiliki
keunggulan terutama untuk mengembangkan kemampuan berpikir maupun pengetahuan.
Sikap dan nilai pada peserta didik dibanding dengan pendekatan klasikal atau
tradisional. Menurut para ahli, pendekatan inkuiri merupakan upaya yang
dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebosanan siswa dalam belajar di kelas.
Pendekatan ini cukup ampuh karena proses belajar lebih terpusat kepada siswa (student-centred instruction) daripada
kepada guru (teacher-centred instruction).
Model inquiry training memiliki lima
langkah pembelajaran, yaitu:
a.
Menghadapkan masalah (menjelaskan
prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan).
b.
Menemukan masalah (memeriksa hakikat
obyek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah).
c.
Mengkaji data dan mengeksprimentasi
(mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis).
d.
Mengorganisasikan, merumuskan dan
menjelaskan.
e.
Menganalisis proses penelitian untuk
memperoleh prosedur yang lebih efektif.
Sarana pembelajaran yang diperlukan
adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses intelektual,
strategi penelitian, dan masalah yang menantang peserta didik untuk melakukan
penelitian. Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi
penelitian dan semangat kreatif. Langkah-langkah inquiry adalah sebagai berikut:
a.
Langkah pertama adalah orientasi,
peserta didik mengidentifikasi masalah, dengan pengarahan dari guru terutama
yang berkaitan dengan situasi kehidupan sehari-hari.
b.
Langkah kedua hipotesis, yaitu menyusun
sebuah hipotesis yang dirumuskan sejelas mungkin sebagai antiseden dan
konsekuensi dari penjelasan yang telah diajukan.
c.
Langkah ketiga definition, yaitu
mengklarifikasi hipotesis yang telah diajukan.
d.
Langkah keempat exploration, pada tahap
ini hipotesis diperluas kajiannya dalam pengertian implikasinya dengan asumsi
yang dikembangkan dari hipotesis tersebut.
e.
Langkah kelima evidencing, fakta dan
bukti dikumpulkan untuk mencari dukungan atau pengujian bagi hipotesis
tersebut.
f.
Langkah keenam generalization, pada
taraf ini inquiry sudah sampai pada tahap mengambil kesimpulan pemecahan
masalah.
3.
Model
Problem-Based Intruction
Problem-Based
Intruction adalah model pembelajaran yang
berandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan peserta
didik dalam belajar dan pemecahan masalah otentik.
Model Problem-Based Intruction memiliki lima langkah pembelajaran, yaitu
sebagai berikut:
a.
Guru mendefinisikan atau
mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit
pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua atau tiga pertemuan, bisa
berawal dari seleksi guru atau eksplorasi peserta didik.
b.
Guru membantu peserta didik
mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi
(investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang
variatif, melakukan survei dan pengukuran).
c.
Guru membantu peserta didik menciptakan
makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana
mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya).
d.
Pengorganisasian laporan
(makalah,laporan lisan, model, program, computer, dll.).
e.
Presentasi (dalam kelas melibatkan semua
peserta didik, guru, bila perlu melibatkan administrator dan anggota
masyarakat.
4. Model Pembelajaran Perubahan
Koseptual
Konsep-konsep merupakan dasar bagi
proses mental yang lebih tinggi untuk memasukkan prinsip-prinsip dan
generalisasi-generalisasi.[7]
Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah, seorang peserta didik harus mematuhi
aturan-aturan antara yang selaras dan aturan-aturan ini didasarkan pada
konsep-konsep yang diperolehnya. Perubahan konseptual terjadi ketika peserta
didik memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan
konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi
konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh pesera didik sebelum pembelajaran.
Model pembelajaran perubahan
konseptual memiliki enam langkah pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
a.
Sajian masalah konseptual dan
kontekstual.
b.
Konfrontasi miskonsepsi terkait dengan
masalah-masalah tersebut.
c.
Konfrontasi sangkalan berikut
strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan.
d.
Konfrontasi pembuktian konsep dan
prinsip secara alamiah.
e.
Konfrontasi materi dan contoh-contoh
kontekstual.
f.
Konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk
memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna.
Sarana pendukung model pembelajaran
ini adalah lembaran kerja peserta didik, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk
peserta didik, dan untuk guru, peralatan demonstransi yang sesuai, model
analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang mudah
ditata untuk itu. Dampak pembelajaran model ini adalah sikap positif terhadap
belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang
variatif.
5.
Model
Group Investigation
Pemikiran Dewey yang utama tentang
pendidikan yang utama, adalah: peserta didik hendaknya aktif (learning by
doing), belajar hendaknya didasari motivasi intrinsic, pengetahuan berkembang
tidak bersifat tetap, kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan
minat peserta didik, pendidikan harus mencangkup kegiatan belajar dengan
prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain artinya prosedur
demokratis sangat penting, kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia
nyata. Gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group investigation.[8]
Model group investigation memiliki
enam langkah pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
a.
Grouping
(menetapkan
jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topic, merumuskan
permasalahan.
b.
Planning
(menetapkan
apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajarinya, siapa melakukan apa, apa
tujuannya).
c.
Investigation
(saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan
informasi, menganalisis datam membuat referensi).
d.
Organizing
(anggota kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi laporan, penentuan
penyaji, moderator, dan notulen).
e.
Presenting
(salah
satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi,
mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan).
f.
Evaluating
(masing-masing peserta didik melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing
berdasarkan hasil diskusi kelas, peserta didik dan guru berkolaborasi
mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar
yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah
minimnya arahan guru. Sarana pendudkung model pembelajaran ini adalah lembaran
kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik dan guru,
peralatan penelitian yang sesuai, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau
ruangan kelas yang mudah ditata untuk itu. Sebagai dampak pembelajaran adalah
pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan, penelituan yang berdisiplin,
proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam.
6. Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique)
Teknik Mengklarifikasi Nilai (Value Clarification Technique) atau
sering disebut VCT merupakan teknik pembelajaran untuk membantu peserta didik
dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam mengahadapi
persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam
diri peserta didik.[9]
Tujuan menggunakan VCT yaitu:
a.
Mengetahui dan mengukur tingkat
kesadaran peserta didik tentang suatu nilai, sehingga dapat dijadikan sebagai
dasar pijak menentukan target nilai yang akan dicapai.
b.
Menanamkan kesadaran peserta didik
tentang nilai-nilai yang dimiliki baik tingkat maupun sifat yang positif maupun
yang negative untuk selanjutnya ditanamkan kearah peningkatan dan pencapaian
target nilai.
c.
Menanamkan nilai-nilai tertentu kepada
pesera didik melalui cara yang rasional (logis) dan diterima peserta didik,
sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik peserta didik sebagai
proses kesadaran moral bukan kewajiban moral.
d.
Melatih peserta didik dalam
menerima-menilai nilai dirinya dan posisi nilai orang lain, menerima serta
mengambil keputusan terhadap suatu persolan yang berhubungan dengan
pergaulannya dan kehidupan sehari-hari.[10]
7. Pendekatan
Sains-Teknologi-Masyarakat (S-T-M)
Pendekatan S-T-S dikembangkan sebagai
sebuah pendekatan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berkaitan langsung
dengan lingkungan nyata dengan cara melibatkan peran aktif peserta didik dalam
mencari informasi untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan
sehariannya. Perkembangan sains dan teknologi sering kali menimbulkan dampak
dalam proses perubahan masyarakat.[11]
Dengan digunakannya S-T-S dalam pembelajaran IPS akan dibangun suatu dimensi
baru dalam pembaharuan pendidikan IPS terutama dapat menekankan segi pragmatis
yaitu mengungkapkan hal-hal yang berguna dan berhubungan langsung dengan aspek
kehidupan peserta didik.
Program-program S-T-S pada umumnya
memiliki karakteristik atau ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Identifikasi masalah-masalah setempat
yang memiliki kepentingan dan dampak.
b.
Perpanjangan belajar di luar kelas dan
sekolah.
c.
Fokus kepada dampak sains dan teknologi
terhadap peserta didik.
d.
Identifikasi bagaimana sains teknologi
berdampak di masa depan.
e.
Kebebasan atau otonomi dalam proses
belajar dll.
8. Model Portofolio
Teori belajar yang mendasari
pembelajaran portofolio adalah teori belajar konstruktivisme, yang ada
prinsipnya menggambarkan bahwa peserta didik membentuk atau membangun
pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya. Portofolio sebagai model
pembelajaran merupakan usaha guru agar peserta didik memiliki kemampuan untuk
mengungkapkan dan mengekspresikan dirinya sebagai individu maupun kelompok.
Pembelajaran berbasis portofolio memungkinkan peserta didik untuk:[12]
a.
Berlatih memadukan antara konsep yang
diperoleh dari penjelasan guru atau dari buku/bacaan dengan penerapannnya dalam
kehidupan sehari-hari.
b.
Peserta didik diberi kesempatan untuk
mencari informasi di luar kelas baik informasi yang sifatnya benda/bacaan,
penglihatan (objek langsung, TV/radio/internet) maupun orang/pakar/tokoh.
c.
Membuat alternatif untuk mengatasi
topic/objek yang dibahas.
d.
Membuat suatu keputusan (sesuai
kemampuannya) yang berkaitan dengan konsep yang telah dipelajarinya, dengan
mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dimasyarakat.
e.
Merumuskan langkah yang akan dilakukan
untuk mengatasi masalah dan mencegah timbulnya masalah yang berkaitan dengan
topik yang dibahas.
9. Pembelajaran Kontekstual
Penerapan pembelajaran kontekstual di
kelas melibatkan tujuh utama pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat
belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan
penilaian sebenarnya (authentic assessment).[13]
Tahap-tahap dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual pada tingkat sekolah
adalah sebagai berikut:
a.
Mengkaji materi yang akan diajarkan pada
peserta didik dengan memilih yang kontekstual dan dapat dikaitkan dengan
hal-hal yang aktual.
b.
Mengkaji konteks kehidupan peserta didik
sehari-hari dengan cermat sebagai upaya untuk memahami konteks kehidupan
peserta didik.
c.
Memilih materi pelajaran yang dapat dikaitkan
dengan konteks kehidupan peserta didik.
d.
Menyusun persiapan kegiatan pembelajaran
yang telah memasukkan konteks kehidupan di dalam materi yang akan diajarkan.
e.
Melaksanakan kegiatan pembelajaran
kontekstual dengan mendorong peserta didik untuk mengaitkan materi yang
dipelajari dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya.
f.
Melakukan pemilaian sebenarnya terhadap
hasil belajar peserta didik, di mana hasil penilaian tersebut digunakan untuk
bahan perbaikan atau penyempurnaan persiapan dan melaksanakan kegiatan
pembelajaran selanjutnya.
10. Model Inkuiri Sosial
Model menghubungkan istilah inkuiri
dengan pengembangan kemampuan peserta didik untuk menemukan dan merefleksikan
sifat kehidupan sosial, terutama sebagai latihan hidup sendiri dan langsung
dalam masyarakat. Guru berperan sebagai reflector dan pembimbing yaitu
memberikan bantuan kepada peserta didik dalam menjelaskan kedudukan mereka
dalam proses belajarnya. Terdapat tiga cirri pokok dalam model pembelajaran
iinkuiri sosial, yaitu:
a.
Adanya aspek-aspek sosial dalam kelas
yang dapat menumbuhkan tercipatanya suatu diskusi kelas.
b.
Adanya penetapan hipotesis sebagai arah
dalam pemecahan masalah.
c.
Mempergunakan fakta sebagai pengujian
hipotesis.
11. Model Pembelajaran Pengambilan
Keputusan
Pada uraian berikut ini, akan dibahas
model desain pembelajaran pengambilan keputusan (decision making) yang dikhususkan untuk pembelajaran IPS.
Apa dan mengapa model pembelajaran
pengambilan keputusan?
Makna konsep pengambilan keputusan (decision making) berkaitan dengan
kemampuan berpikir tentang alternatif pilihan yang tersedia, menimbang fakta
dan bukti yang ada, mempertimbangkan tentang nilai pribadi dan masyarakat.
Apabila seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan tersebut maka kemungkinan
jawaban yang muncul adalah pilihan yang tepat atau tidak tepat.
Banks mengatakan bahwa kemampuan
seseorang dalam pengambilan keputusan tidaklah muncul dengan sendirinya.
Pengambilan keputusan adalah suatu keterampilan yang harus dibina dan
dilatihkan. Bertitik tolak dari asumsi bahwa keterampilan pengambilan keputusan
(decision-making-skills) dapat dibina
dan dilatihkan pada siswa maka model pembelajaran ini merupaka alternatif bagi
para guru dan calon guru untuk membina profresionalisme dalam proses
belajar-mengajar. Savage dan Armstrong (1996) mengemukakan langkah-langkah
proses pengambilan keputusan sebagai alternatif model pembelajaran dalam IPS
sebagai berikut:
1.
Mengidentifikasi persoalan dasar atau
masalah;
2.
Mengemukakan jawaban-jawaban alternatif;
3.
Menggambarkan bukti yang mendukung
setiap alternatif;
4.
Mengidentifikasi nilai-nilai yang
dinyatakan dalam setiap alternatif;
5.
Menggambarkan kemungkinan akibat setiap
pilihan alternatif;
6.
Membuat pilihan dari berbagai
alternatif;
7.
Menggambarkan bukti dan nilai yang
dipertimbangkan dalam membuat pilihan.
Selain Savage dan Armstrong, Banks
(1990) mengemukakan pula urutan langkah atau prosedur dalam pengembangan
keterampilan pengambilan keputusan dengan komponen esensial sebagai syaratnya.
Menurut Banks, sedikitnya ada dua syarat untuk melaksanakan model pembelajaran
pengambilan keputusan: (1) pengetahuan sosial; dan (2) metode atau cara
mencapai pengetahuan.
Demikian sejumlah model pembelajaran
IPS yang dapat diterapkan oleh para guru di kelas. Namun untuk melaksanakannya,
guru dapat memodifikasi model-model tersebut setelah ada penyesuaian konteks
lingkungan dan kondisi serta kebutuhan peserta didik
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Model pembelajaran diartikan sebagai
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam pengorganisasian
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Model pembelajaran
berfungsi sebagai pedoman untuk para perancang pembelajaran dan para pendidik
dalam merencanakan atau melaksanakan aktivitas pembelajaran. Model pembelajaran
yang sesuai dengan model pembelajaran IPS adalah model pembelajaran yang
berlandaskan pendekatan paradigma konstruktivisme yaitu pembelajaran yang
berdasarkan pada partisipasi aktif peserta didik dalam memecahkan masalah dan
berpikir kritis. Model-model pembelajaran IPS berlandaskan paradigm
konstruktivisme diantaranya yaitu: Model Reasoning
and Problem Solving, Model Inquiry Training, Model Problem-Based Instruction, Model
Pembelajaran Perubahan Konseptual, Model Group
Investigation, Model Pembelajaran VCT, Pendekatan S-T-M atau S-T-S, Model
Portofolio, Pembelajaran Kontekstual, Model Inkuiri Sosial.
3.2 Saran
Sebagai calon tenaga pendidik terutama
bagi guru pemula maka akan dibuat bingung mengenai strategi dan model
pembelajaran efektif untuk dipakai peserta didik. Maka dari itu tugas seorang
guru harus mempunyai keterampilan dalam memilih model pembelajaran yang tepat
bagi peserta didik. sehingga proses belajar mengajar akan lebih menarik dan
siswa belajar akan lebih antusias, tidak merasa bosan dan mampu mengubah
persepsi siswa terhadap mata pelajaran IPS akan lebih positif dan akan lebih
menyenangkan karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran
IPS.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
Huriah Rachmah, M.Pd. (2014). Pengembangan
Profesi Pendidikan IPS. Bandung: Alfabeta.
Dr.
Sapriya, M.Ed. (2009). Pendidikan IPS.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dr.
Rudy Gunawan, M.Pd. (2011). Pendidikan
IPS filosofi, Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Alfabeta.
[1]
Depdiknas, 2006, hal. 35.
[2]
Fajar, 2009, hal. 108.
[3]
Budimansyah, Suparlan, & Meirawan, 2010, hal. 6.
[4]
Hermawan, 2006, hal. 3.
[5]
Sumiati & Asra, 2007, hal. 92.
[6] Sudjana, 2000, hal. 85-86.
[7] Rosalin, 2008a, hal. 78.
[8] Hermawan, 2006, hal. 27.
[9] Menurut Sanjaya dalam
(Taniredja, Faridli, & Harmianto, 2011, hal. 87)
[10] Taniredja, Faridli, &
Harmianto, 2011, hal. 88.
[11] Fajar, 2009, hal. 34.
[12] Fajar, 2009, hal. 45.
[13] Sumiati & Asra, 2007, hal.
14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar