Minggu, 25 Desember 2016

Dekonstruksi Pendidikan



Dekonstruksi Pendidikan

            Epistemology selalu dimengerti sebagai upaya manusia melihat dirinya yang menghasilkan pengetahuan. Dari upaya itu, manusia kemudian merumuskan unsur-unsur mendasar yang dijadikan sebagai perangkat manusia untuk mengetahui. Unsure-unsur itu adalah persepsi, nalar, dan intuisi. Pembangunan struktur pengetahuan yang didasarkan pada kaidah-kaidah nalar, terbukti telah jatuh pada pemikiran yang bersifat saintisme. Dalam bahasa gampangnya, saintisme adalah “sok ilmiah”. Oleh karena itu, perlu adanya pemikiran-pemikiran yang mendobrak gagasan sebelumnya.
            Pendobrakan ini tentu saja melalui metode-metode yang beragam. Dalam wacana ilmu-ilmu alam, pendobrakan ini disebut dengan istilah revolusi ilmu pengetahuan. Istilah tersebut digunakan oleh Thomas S Kuhn, ahli filsafat ilmu. Perlu ada patahan-patahan teori untuk temuan-temuan baru. Yang dibutuhkan bukan konvensi, tetapi inkonvensi. Karena itu, metode yang dibutuhkan bukan metode-metode yang sudah pakem, tetapi metode-metode baru yang dirumuskan dengan istilah anything goes, segala metode boleh dipergunakan. Metode tersebut diperkenalkan oleh Paul Feyerabend. Yang dibutuhkan bukanlah menuruti metode yang sudah ada, tetapi justru menentangnya.
            Dalam lapangan ilmu-ilmu humaniora, metode yang digunakan untuk mendobrak konsep-konsep sebelumnya biasa dikenal dengan dekontruksi. Kata ini meru[akan bentukan imbuhan “de” yang berarti merusak, dan “konstruksi” yang berarti bangunan. Arti harfiahnya, merusak bangunan yang sudah dahulu ada. Arti ilmiahnya, dekontruksi berpandangan bahwa konsep-konsep posmodern memiliki banyak kelemahan sehingga perlu dibongkar dan ditata ulang. Misalnya tentang konsep akal sehat yang dianggap sebagai “cara berpikir yang jernih dan terpilah (clara et distincta)”, bukanlah satu-satunya metode berpikir. Sebab, akal sehat justru berasal dari keraguan-keraguan, bahkan berasal dari apa yang disebut Descartes dengan “ilmu dari pucuk-pucuk ketinggian”. Dominasi yang terjadi pada posmodern itu, konon berasal dari konsep ilmu yang berdasarkan diri pada faham logosentrisme, yakni kehadiran “Ada dalam tulisan”, “Yang benar”, “Ada tidak pernah terperangkap di dalam tulisan karena akan selalu luput”.
            Di masa depan, epistemology yang berkembang sekarang ini akan saling berdialog untuk menemukan bentuk-bentuk paling mungkin di antara bentuk lainnya. Epistemology lama runtuh, berganti dengan epistemologi baru. Potensinya sudah bisa dikenali sekarang.


Sumber Buku : Dr. Saifur Rohman, M.Hum, M.Si dan Agus Wibowo, M.Pd. 2016. Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar