Minggu, 25 Desember 2016

Konsep “Kebudayaan” dalam Sistem Perundangan



Konsep “Kebudayaan” dalam Sistem Perundangan

          Sistem perundangan kebudayaan mengacu pada produk perundangan yang memanfaatkan warisan budaya sebagai objek hokum. Sebagai contoh, UU tentang cagar budaya, peratura daerah tentang kebudayaan, hingga rencana pemerintah membuat undang-undang kebudayaan. Lahirnya sebuah system perundangan Undang-Undang haruslah didahului oleh sebuah kajian teoritis yang dinamakan dengan Naskah Akademik. Kajian tersebut terdiri atas penjelasan ilmiah yang memiliki legitimasi dari teori dan mendapatkan pembuktian secara empiris.
          Sebagai hasil akhir rancangan tersebut adalah “sebagai alat pemersatu di atas keanekaragaman budaya”. Pemersatu itu jelas merupakan perwujudan ideologis yang dibangun bangsa ini sejak 1945. Bila dilihat secara teoritis, kebudayaan dalam konsepsi RUU Kebudayaan didefinisikan sebagai “Perwujudan dan Keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam rangka perkembangan keperibadian manusia dengan segala hubungannya, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.” Hal itu harus selaras dengan konsep-konsep yang pernah dikembangkan dalam disiplin ilmu antropologi klasik oleh Koentjaraningrat.
          Bersadarkan skema berpikir di atas, maka RUU Kebudayaan itu kemudia mengambil unsur-unsur yang dianggap relevan dengan perkembangan mutakhir. Dalam hal bentuk, RUU mengambil empat unsur saja, yakni (1) bahasa, (2) seni, (3) ilmu pengetahuan, (4) adat istiadat, dan (5) cagar budaya. Masing-masing unsur tersebut memiliki implikasi bagi pemerintah terhadap pembentukan institusi-institusi sosial.


Sumber Buku : Dr. Saifur Rohman, M.Hum, M.Si dan Agus Wibowo, M.Pd. 2016. Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar