Konsep “Kebudayaan” dalam Sistem
Perundangan
Sistem
perundangan kebudayaan mengacu pada produk perundangan yang memanfaatkan
warisan budaya sebagai objek hokum. Sebagai contoh, UU tentang cagar budaya,
peratura daerah tentang kebudayaan, hingga rencana pemerintah membuat
undang-undang kebudayaan. Lahirnya sebuah system perundangan Undang-Undang
haruslah didahului oleh sebuah kajian teoritis yang dinamakan dengan Naskah
Akademik. Kajian tersebut terdiri atas penjelasan ilmiah yang memiliki
legitimasi dari teori dan mendapatkan pembuktian secara empiris.
Sebagai
hasil akhir rancangan tersebut adalah “sebagai alat pemersatu di atas
keanekaragaman budaya”. Pemersatu itu jelas merupakan perwujudan ideologis yang
dibangun bangsa ini sejak 1945. Bila dilihat secara teoritis, kebudayaan dalam
konsepsi RUU Kebudayaan didefinisikan sebagai “Perwujudan dan Keseluruhan hasil
cipta, rasa, dan karsa manusia dalam rangka perkembangan keperibadian manusia
dengan segala hubungannya, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa,
hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.” Hal itu harus
selaras dengan konsep-konsep yang pernah dikembangkan dalam disiplin ilmu
antropologi klasik oleh Koentjaraningrat.
Bersadarkan
skema berpikir di atas, maka RUU Kebudayaan itu kemudia mengambil unsur-unsur
yang dianggap relevan dengan perkembangan mutakhir. Dalam hal bentuk, RUU
mengambil empat unsur saja, yakni (1) bahasa, (2) seni, (3) ilmu pengetahuan,
(4) adat istiadat, dan (5) cagar budaya. Masing-masing unsur tersebut memiliki
implikasi bagi pemerintah terhadap pembentukan institusi-institusi sosial.
Sumber Buku : Dr. Saifur Rohman, M.Hum, M.Si
dan Agus Wibowo, M.Pd. 2016. Filsafat
Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar