Konsep
dan Realitas Wujud Mulla Sadra
Menurut
Mulla Sadra wujud merupakan penyelidikan dalam bidang metafisika. Dalam
hal ini bahasan pokok dari metafisika adalah Wujud Mutlak. Karena ketinggian
dan keluasan bidang ilmu ini, maka konsep mengenai wujud, mesti jelas dengan
sendirinya, demi mengetahui konsep wujud sebagaimana adanya. Karena jika tidak
demikian, maka konsep tersebut tidak akan masuk kepada syarat dari kajian
metafisika.
Konsekuensi
dari ‘pendekatan’ tersebut adalah: wujud niscaya tak terdefiniskan. Maksudnya,
sebagaimana diketahui bersama bahwa definisi membutuhkan genus dan differentia.
Selain itu dalam pola definisi, sesuatu yang ingin diketahui mesti mensyaratkan
sesuatu yang diketahui sebelumnya. Maka dari itu, pertama, wujud tak
memiliki genus dan differentia karena konsep mengenai wujud
merupakan definisi yang begitu universal; kedua, apakah ada sesuatu yang
begitu jelasnya selain wujud? Padahal wujud itu sendiri merupakan suatu konsep
yang paling mendasar dan paling jelas, sehingga tak memerlukan sesuatu yang
lain untuk menjelaskannya, bahkan sesuatu yang lain terjelaskan oleh wujud.
Jadi sia-sialah pendefinisian terhadap wujud.
Namun
disisi lain, penyelidikan mengenai konsep wujud tidak berhenti setelah kita
mengetahui bahwa wujud merupakan sesuatu yang tak bisa didefinisikan. Karena
bagi Mulla Sadra, pikiran kita belum memahami sepenuhnya megenai konsep ini,
maka sisi yang belum dipahami dengan cara menganalisis makna wujud dalam
terminologi yang lebih jelas dan membangkitkan pikiran terhadapnya.
Bagi Sadra,
wujud merupakan ‘sesuatu’ yang menyifati segala sesuatu. Oleh karena itu bisa
dijabarkan bahwa di dalam setiap maujud terdapat wujud, namun di dalamnya
terdapat perbedaan-perbedaan dari segi kuat dan lemahnya, dahulu dan kemudiannya,
serta sempurna dan tidaksempurnanya. Namun disisi lain, lanjut Sadra, wujud
merupakan sesuatu yang unik, hal ini tercermin dari teori tasykik al-wujud.
Wujud, oleh karenanya, memiliki dua karakteristik fundamental: pertama, bahwa
segala sesuatu itu sama dari segi wujudnya; kedua, namun tidak ada
entitas yang sama dalam ‘keberadaannya’, sehingga dalam konteks ini wujud
memiliki status ontologis yang berbeda-beda.
Pertanyaan
muncul disini, apakah wujud merupakan suatu abstraksi mental? Sadra memiliki
posisi yang bersebrangan dengan pertanyaan tersebut. Maksudnya, bagi Sadra
wujud merupakan realitas konkret, sedangkan mahiyah bersifat mental.
Argumentasi yang diajukan Mulla Sadra ialah: memang pada kenyataannya wujud
yang berada di dalam pikiran itu merupakan fenomena mental (untuk sementara
kita gunakan bahasa seperti ini untuk memudahkan), namun fenomena wujud yang
berada pada pikiran sama sekali tidak mewakili wujud di dalam realitas
eksternal, karena wujud—sebagaimana diakui Sadra—yang dipahami oleh pikiran
akan memeroleh bentuk wujud yang berbeda (dengan realitas eksternal). Karena
setiap yang bersifat mental pastilah mahiyah yang tetap. Untuk lebih mudahnya:
esensi dari wujud itu sendiri berada pada realitas eksternal, bukan secara
mental, maka wujud tidak bisa ‘ada’ di dalam pikiran.
Kita sudah
menyebutkan di awal-awal tulisan mengenai karakteristik dari wujud. Sebagaimana
disepakati, wujud merupakan suatu yang universal, namun keuniversalan wujud
berbeda dengan universalitas genus. Sadra menjelaskan, bahwa pemahaman
umum mengenai wujud tak pernah bisa ditangkap, karena ia (baca: wujud)
sekaligus bersifat partikular. Maka ia disebut: kulli bil takhassus
(universalitas yang dikhususkan). Kondisi ini merupakan suatu keniscayaan,
karena jika tidak, maka wujud akan menjadi suatu konsep abstrak yang kosong,
dan suatu yang umum tak bisa menggambarkan esensi wujud. Sebagai penguat
argumentasi bahwa wujud merupakan universalitas yang dikhususkan adalah, bahwa
pada faktanya setiap yang ada merupakan suatu individu yang unik, yang tak bisa
digambarkan dengan mahiyyah. Sebab, mahiyyah memiliki karakteristik umum yang
dimiliki oleh seluruh individu tersebut. Hal ini disebabkan karena wujud
memiliki sifat yang berbeda-beda, sedangkan mahiyyah itu bersifat statis dan sama
pada setiap individu, ditambah kemunculan mahiyyah dalam pikiran karena
mahiyyah sendiri memiliki bagian-bagian wujud. Maka menjadi jelaslah, bahwa
wujud yang ada dalam pikiran sama sekali tidak mewakili wujud di dalam realitas
eksternal yang bersifat individual. Bahkan wujud konseptual bisa disebut
sebagai bagian dari suatu mahiyyah, karena mahiyyah itu sendiri pada nyatanya
hanyalah bersifat mental dan berciri-ciri universal.
Persoalan
lain dari wujud adalah, bagaimana sesuatu yang partikuar menjadi universal?
Bagi Sadra, wujud yang hakiki merupakan suatu prinsip pengindividuan, yang
diekspresikan sebagai partikularisasi wujud. Persoalan ini dijabarkan dalam
teori tasykik al-wujud. Perlu diketahui, bahwa wujud memiliki prinsip
gerak. Gerakan yang muncul pada wujud bermula dari wujud yang terbatas dan
kurang sempurna, menuju wujud yang lebih sempurna. Dan hal ini pun terjadi pada
wujud hakiki, karena ia bersifat dinamis, sehingga akibatnya bahwa pada setiap
saat wujud berubah menjadi bentuk wujud yang baru. Wujud yang lebih tinggi
bermula dari wujud yang rendah, tapi wujud yang rendah ini ditopang oleh wujud
yang tinggi.
Wujud yang
‘paling’ tinggi adalah wujud Absolut, atau dalam kata lain Tuhan. Wujud Absolut
adalah wujud hakiki yang murni, dan tidak tunduk pada pengetahuan konseptual,
sehingga Tuhan tak bisa dipahami secara konseptual. Ketika gerakan pada wujud
terjadi sebagai proses gradasi (tasykik), universalitas wujud berkurang
sampai ia mencapai suatu wujud yang tunggal yang tidak tunduk pada universalitas.
Tapi disisi lain Sadra menyebutkan bahwa wujud pun bisa tunduk pada
universalitas, dalam catatan, di dalam bentuk wujud yang lebih rendah. Wujud
hakiki sebagaimana telah disebutkan di atas adalah wujud partikular. Dan wujud
partikular ini tunduk pada universalitas, sebagaimana fakta bahwa aspek-aspek
tersebut merupakan objek dari persepsi indrawi dan bisa dialami. Ketika wujud
yang partikular mencapai bentuknya yang lebih tinggi, maka wujud yang lebih
rendah menjadi objek pengalaman indrawi. Maka dari itu wujud yang lebih rendah,
pikiran mengonseptualisasikan individu, dan menghasilkan pandangan umum yang
disebut mahiyyah. Tetapi, karena Tuhan bukan merupakan objek universalitas,
maka ia tidak memiliki mahiyyah.
Sebagai
penutup dari pembahasan ini, perlu diketahui bahwa realitas wujud tak bisa
ditangkap oleh pikiran manusia, namun Ia hanya bisa dijangkau oleh intuisi
mistis, dalam artian subjek kemanusiaan lebur dengan Subjek ketuhanan. Cara
menjangkau Realtias wujud ini hanya bisa dialami oleh orang-orang tertentu,
baik setelah melatih konsentrasi atau karena bawaan sejak lahir. Dan perlu
ditegaskan sekali lagi, bahwa tidak semua orang dapat mengalami hal ini.
Sumber
Buku : Dr. Syaifan Nur, M.A.. 2002. Filsafat
Wujud Mulla Sadra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 150.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar