Minggu, 25 Desember 2016

Konsep dan Realitas Wujud Mulla Sadra



Konsep dan Realitas Wujud Mulla Sadra

            Menurut Mulla Sadra wujud merupakan penyelidikan dalam bidang metafisika. Dalam hal ini bahasan pokok dari metafisika adalah Wujud Mutlak. Karena ketinggian dan keluasan bidang ilmu ini, maka konsep mengenai wujud, mesti jelas dengan sendirinya, demi mengetahui konsep wujud sebagaimana adanya. Karena jika tidak demikian, maka konsep tersebut tidak akan masuk kepada syarat dari kajian metafisika.
            Konsekuensi dari ‘pendekatan’ tersebut adalah: wujud niscaya tak terdefiniskan. Maksudnya, sebagaimana diketahui bersama bahwa definisi membutuhkan genus dan differentia. Selain itu dalam pola definisi, sesuatu yang ingin diketahui mesti mensyaratkan sesuatu yang diketahui sebelumnya. Maka dari itu, pertama, wujud tak memiliki genus dan differentia karena konsep mengenai wujud merupakan definisi yang begitu universal; kedua, apakah ada sesuatu yang begitu jelasnya selain wujud? Padahal wujud itu sendiri merupakan suatu konsep yang paling mendasar dan paling jelas, sehingga tak memerlukan sesuatu yang lain untuk menjelaskannya, bahkan sesuatu yang lain terjelaskan oleh wujud. Jadi sia-sialah pendefinisian terhadap wujud.
            Namun disisi lain, penyelidikan mengenai konsep wujud tidak berhenti setelah kita mengetahui bahwa wujud merupakan sesuatu yang tak bisa didefinisikan. Karena bagi Mulla Sadra, pikiran kita belum memahami sepenuhnya megenai konsep ini, maka sisi yang belum dipahami dengan cara menganalisis makna wujud dalam terminologi yang lebih jelas dan membangkitkan pikiran terhadapnya.
            Bagi Sadra, wujud merupakan ‘sesuatu’ yang menyifati segala sesuatu. Oleh karena itu bisa dijabarkan bahwa di dalam setiap maujud terdapat wujud, namun di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan dari segi kuat dan lemahnya, dahulu dan kemudiannya, serta sempurna dan tidaksempurnanya. Namun disisi lain, lanjut Sadra, wujud merupakan sesuatu yang unik, hal ini tercermin dari teori tasykik al-wujud. Wujud, oleh karenanya, memiliki dua karakteristik fundamental: pertama, bahwa segala sesuatu itu sama dari segi wujudnya; kedua, namun tidak ada entitas yang sama dalam ‘keberadaannya’, sehingga dalam konteks ini wujud memiliki status ontologis yang berbeda-beda.
            Pertanyaan muncul disini, apakah wujud merupakan suatu abstraksi mental? Sadra memiliki posisi yang bersebrangan dengan pertanyaan tersebut. Maksudnya, bagi Sadra wujud merupakan realitas konkret, sedangkan mahiyah bersifat mental. Argumentasi yang diajukan Mulla Sadra ialah: memang pada kenyataannya wujud yang berada di dalam pikiran itu merupakan fenomena mental (untuk sementara kita gunakan bahasa seperti ini untuk memudahkan), namun fenomena wujud yang berada pada pikiran sama sekali tidak mewakili wujud di dalam realitas eksternal, karena wujud—sebagaimana diakui Sadra—yang dipahami oleh pikiran akan memeroleh bentuk wujud yang berbeda (dengan realitas eksternal). Karena setiap yang bersifat mental pastilah mahiyah yang tetap. Untuk lebih mudahnya: esensi dari wujud itu sendiri berada pada realitas eksternal, bukan secara mental, maka wujud tidak bisa ‘ada’ di dalam pikiran.
            Kita sudah menyebutkan di awal-awal tulisan mengenai karakteristik dari wujud. Sebagaimana disepakati, wujud merupakan suatu yang universal, namun keuniversalan wujud berbeda dengan universalitas genus. Sadra menjelaskan, bahwa pemahaman umum mengenai wujud tak pernah bisa ditangkap, karena ia (baca: wujud) sekaligus bersifat partikular. Maka ia disebut: kulli bil takhassus (universalitas yang dikhususkan). Kondisi ini merupakan suatu keniscayaan, karena jika tidak, maka wujud akan menjadi suatu konsep abstrak yang kosong, dan suatu yang umum tak bisa menggambarkan esensi wujud. Sebagai penguat argumentasi bahwa wujud merupakan universalitas yang dikhususkan adalah, bahwa pada faktanya setiap yang ada merupakan suatu individu yang unik, yang tak bisa digambarkan dengan mahiyyah. Sebab, mahiyyah memiliki karakteristik umum yang dimiliki oleh seluruh individu tersebut. Hal ini disebabkan karena wujud memiliki sifat yang berbeda-beda, sedangkan mahiyyah itu bersifat statis dan sama pada setiap individu, ditambah kemunculan mahiyyah dalam pikiran karena mahiyyah sendiri memiliki bagian-bagian wujud. Maka menjadi jelaslah, bahwa wujud yang ada dalam pikiran sama sekali tidak mewakili wujud di dalam realitas eksternal yang bersifat individual. Bahkan wujud konseptual bisa disebut sebagai bagian dari suatu mahiyyah, karena mahiyyah itu sendiri pada nyatanya hanyalah bersifat mental dan berciri-ciri universal.
            Persoalan lain dari wujud adalah, bagaimana sesuatu yang partikuar menjadi universal? Bagi Sadra, wujud yang hakiki merupakan suatu prinsip pengindividuan, yang diekspresikan sebagai partikularisasi wujud. Persoalan ini dijabarkan dalam teori tasykik al-wujud. Perlu diketahui, bahwa wujud memiliki prinsip gerak. Gerakan yang muncul pada wujud bermula dari wujud yang terbatas dan kurang sempurna, menuju wujud yang lebih sempurna. Dan hal ini pun terjadi pada wujud hakiki, karena ia bersifat dinamis, sehingga akibatnya bahwa pada setiap saat wujud berubah menjadi bentuk wujud yang baru. Wujud yang lebih tinggi bermula dari wujud yang rendah, tapi wujud yang rendah ini ditopang oleh wujud yang tinggi.
            Wujud yang ‘paling’ tinggi adalah wujud Absolut, atau dalam kata lain Tuhan. Wujud Absolut adalah wujud hakiki yang murni, dan tidak tunduk pada pengetahuan konseptual, sehingga Tuhan tak bisa dipahami secara konseptual. Ketika gerakan pada wujud terjadi sebagai proses gradasi (tasykik), universalitas wujud berkurang sampai ia mencapai suatu wujud yang tunggal yang tidak tunduk pada universalitas. Tapi disisi lain Sadra menyebutkan bahwa wujud pun bisa tunduk pada universalitas, dalam catatan, di dalam bentuk wujud yang lebih rendah. Wujud hakiki sebagaimana telah disebutkan di atas adalah wujud partikular. Dan wujud partikular ini tunduk pada universalitas, sebagaimana fakta bahwa aspek-aspek tersebut merupakan objek dari persepsi indrawi dan bisa dialami. Ketika wujud yang partikular mencapai bentuknya yang lebih tinggi, maka wujud yang lebih rendah menjadi objek pengalaman indrawi. Maka dari itu wujud yang lebih rendah, pikiran mengonseptualisasikan individu, dan menghasilkan pandangan umum yang disebut mahiyyah. Tetapi, karena Tuhan bukan merupakan objek universalitas, maka ia tidak memiliki mahiyyah.
            Sebagai penutup dari pembahasan ini, perlu diketahui bahwa realitas wujud tak bisa ditangkap oleh pikiran manusia, namun Ia hanya bisa dijangkau oleh intuisi mistis, dalam artian subjek kemanusiaan lebur dengan Subjek ketuhanan. Cara menjangkau Realtias wujud ini hanya bisa dialami oleh orang-orang tertentu, baik setelah melatih konsentrasi atau karena bawaan sejak lahir. Dan perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa tidak semua orang dapat mengalami hal ini.

Sumber Buku : Dr. Syaifan Nur, M.A.. 2002. Filsafat Wujud Mulla Sadra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar