Ciri-ciri
Pemikiran Filsafat
Menurut
Clarence I.Lewis seorang ahli logika mengatakan bahwa filsafat itu sesungguhnya
suatu proses refleksi dari bekerjanya akal.[1]
Sedangkan sisi yang terkandung dalam proses refleksi adalah berbagai kegiatan/
problema kehidupan manusia. Tidak semua kegiatan atau berbagai problema
kehidupan tersebut dikatakan sampai pada derajat pemikiran filsafat, tetapi
dalam kegiatan atau problem yang terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai
derajat pemikiran filsafat adalah sebagai berikut.
1.
Sangat umum atau
universal
Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan sangat
umum, dan tingkat keumumannya sangat tinggi[2] (the question tend to be very of general
problem of the highest degree of generality), karena pemikiran filsafat
tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus, akan tetapi bersangkutan dengan
konsep-konsep yang sifatnya umum, misalnya tentang manusia, tentang keadilan,
tentang kebebasan, dan lainnya.
2.
Tidak faktual
Kata lain tidak factual adalah spekulatif, yang
artinya filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai suatu dengan
tidak berdasarkan pada bukti. Hal ini sebagai suatu hal yang melampaui tapal
batas dari fakta-fakta pengetahuan ilmiah. Jawaban yang didapat dari
dugaan-dugaan tersebut sifatnya juga spekulatif. Hal ini bukan berarti
pemikiran filsafat tidak ilmiah, akan tetapi pemikiran filsafat tidak termasuk
dalam lingkup kewenangan ilmu khusus.
3.
Bersangkutan
dengan nilai
C.J Ducasse mengatakan bahwa filsafat merupakan
usaha untuk mencari pengetahuan, berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian.
Yang dibicarakan dalam penilaian adalah tentang yang baik dan buruk, yang
susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai suatu usaha untuk
mempertahankan nilai. Maka selanjutnya, dibentuklah sistem nilai, sehingga
lahirlah apa yang disebutnya sebagai nilai sosial, nilai keagamaan, nilai
budaya, dan lainnya. Selanjutnya, Ducasse menyatakan bahwa tugas filsafat
dewasa ini memberikan patokan-patokan dan membicarakan persoalan-persoalan
moral yang disajikan kepada manusia oleh lingkungan sosialnya.[3]
4.
Berkaitan dengan
arti
Di atas telah dikemukakan bahwa nilai selalu
dipertahankan dan dicari. Sesuatu yang bernilai tentu di dalamnya penuh dengan
arti. Agar para filosof dalam mengungkapkan ide-idenya sarat dengan arti, para
filosof harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bhasa yang tepat
(ilmiah), semua itu berguna untuk menghindari adanya kesalahan/ sesat pikir (fallacy).
5.
Implikatif
Pemikiran filsafat yang baik dan terpilih selalu
mengandung implikasi (akibat logis). Dari implikasi akan mampu melahirkan
pemikiran baru sehingga akan tejadi proses pemikiran yang dinamis: dari tesis
ke anti tesis kemudian sintesis, dan seterusnya … sehingga tiada
habis-habisnya. Pola pemikiran yang implikatif (dialektis) akan dapat
menyuburkan intelektual.
Sumber
: Asmoro Achmadi. (2009). Filsafat Umum.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hlm. 9.
[1] C.I.Lewis, dalam Mind and the World-Order: Outline of a
Theory of Knowledge: 1929, hal ini telah menjadi metode reflektif, yaitu
merumuskan tugas apa yang dari permulaan merupakan kreasi dan milik manusia
sendiri. Sifat dasar metode refleksi ialah empiris, analitis, dan juga rasional
dalam hal bahwa ia mengakui pengalaman sebagai bahan filsafat. Lihat The Liang
Gie, op.cit., hlm. 26.
[2] Herbert Spencer juga mengatakan
bahwa filsafat masih tepat untuk dipertahankan sebagai nama bagi pengetahuan
mengenai generalitasbyang tingkatnya paling tinggi. Ini secara diam0diam
dikuatkan oleh tercakupnya Tuhan, alam, dan manusia dalam lingkupnya. Lihat The
Liang Gie, op.cit., hlm. 10.
[3] Curt John Ducasse dalam bukunya,
Philosophy as a Science (1941),
sebagaimana dikutip The Liang Gie, op.cit., hlm. 11 dan 67, menyatakan: Kata
“nilai” dalam etika tradisional diartikan sebagai baik dan buruk. Secara luas
“nilai” adalah cita-cita dan cita-cita yang mutlak terkenal dalam filsafat: hal
yang benar, hal yang baik, hal yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar