Kedudukan Ilmu,
Filsafat, dan Agama
Ilmu,
filsafat, dan agama mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan
manusia. Dikatakan terkait karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang
apabila tidak ada tiga alat dan tenaga utama manusia adalah akal pikir, rasa,
dan keyakinan, sehingga dengan ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai
kebahagiaan bagi dirinya.[1]
Ilmu dan filsafat dapat bergerak dan berkembang berkat akal pikiran manusia.
Juga, agama dapat bergerak dan berkembang berkat adanya keyakinan. Akan tetapi,
ketiga alat dan tenaga utama tersebut tidak dapat berhubungan dengan ilmu,
filsafat, dan agama apabila tidak didorong dan dijalankan oleh kemauan manusia
yang merupakan tenaga tersendiri yang terdapat dalam diri manusia.
Dikatakan
reflektif, karena ilmu, filsafat, dan agama baru dapat dirasakan (diketahui)
faedahnya/manfaatnya dalam kehidupan manusia, apabila ketiganya merefleksi
(lewat proses pantul diri) dalam diri manusia.[2]
Ilmu mendasarkan pada akal pikir lewat pengalaman dan indra, dan filsafat
mendasarkan pada otoritas akal murni secara bebas dalam penyelidikan terhadap
kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan dengan kehidupan manusia. Sedangkan
agama mendasarkan pada konsep-konsep tentang kehidupan dunia, terutama
konsep-konsep tentang moral.
Menurut
Prof. Nasroen, S.H., mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah
berdasarkan pada agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan pada agama dan
filsafat hanya semata-mata berdasarkan atas akal pikir saja,[3]
filsafat tersebut tidak hanya memuat kebenaran objektif karena yang memberikan
penerangan dan putusan adalah akal pikiran. Sementara itu, kesanggupan akal
pikiran terbatas sehingga filsafat yang hanya berdasarkan pada akal pikir
semata-mata akan tidak sanggup member kepuasan bagi manusia, terutama dalam
rangka pemahamannya terhadap Yang Gaib.
Sumber
: Asmoro Achmadi. (2009). Filsafat Umum.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hlm. 17.
[1] Nasroen, Filsafat dan Cara Berfalsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hlm.
39.
[2] J.H. Randall, Brand Blanshard,
R.A. Abelson, J.F. Mora Harold Titus, dan C.H. Kaiser sependapat bahwa seni,
ilmu, filsafat, dan agama (keyakinan) merupakan empat unsur eksistensi manusia,
sehingga manusia dikatakan mempunyai eksistensi (hidup) apabila keempat hal
tersebut berproses dalam budi manusia. Lihat The Liang Gie, op.cit., hlm. 32-46.
[3] Nasroen, op.cit., hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar