MOTIVASI BELAJAR
PESERTA DIDIK
1.
Motivasi
Motivasi
(motivation) melibatkan proses yang
memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku
yang termotivasi adalah perilaku yang mengandung energi, memiliki arah, dan
dapat dipertahankan.
Perspektif Atas Motivasi
Perspektif psikologis yang berbeda
menjelaskan motivasi dalam cara berbeda. Marilah kita menjelajahi empat
perspektif ini: ilmu perilaku, humanistis, kognitif, dan sosial,
1. Perspektif
Ilmu Perilaku
Perspektif Ilmu Perilaku menekankan
penghargaan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi
seorang siswa. Intensif (incentives) adalah stimulus atau kejadian positif atau
negatif yang dapat memotivasi perilaku seorang siswa. Intensif yang digunakan
guru di kelas termasuk nilai numerik dan nilai huruf, yang memberikan umpan
balik mengenai kualitas kerja siswa, serta tanda centang atau bintang untuk
menyelesaikan pekerjaan secara kompeten. Inisiatif lainnya termasuk memberikan
pengakuan kepada sisa. Sebagai contoh: dengan memamerkan hasil kerja mereka,
member mereka sertifikat prestasi, menempatkan mereka pada daftar nama
kehormatan, dan secara verbal menyebutkan pencapaian mereka.
Jenis
intensif lainnya berfokus untuk
mengizinkan siswa melakukan sesuatu yang istimewa seperti bermain game computer atau mengikuti perjalanan
kunjungan lapangan, sebagai penghargaan untuk kerja yang bagus.
2. Perspektif
Humanistis (humanistic perspective)
Menekankan
kapasitas siswa untuk pertumbuhan pribadi, kebebasan untuk memilih nasib mereka
sendiri, dan kualitas-kualitas positif (seperti bersikap sensitif terhadap
orang lain). Menurut hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) Maslow,
kebutuhan individu harus dipuaskan dalam urutan berikut
· Fisilogis:
lapar, aus, tidur.
· Rasa aman:
memastikan kelangsungan hidup, seperti perlindungan dari perang dan criminal.
· Cinta dan rasa memiliki:
keamanan, afeksi, dan perhatian dari orang lain.
· Harga diri:
merasa senang terhadap diri sendiri.
· Aktualisasi diri:
mewujudkan potensi diri.
3. Perspektif
Kognitif
Menurut
perspektif kognitif mengenai motivasi, pemikkiran siswa mengarahkan motivasi
mereka. Dalam tahun-tahun terakhir, telah terjadi peningkatan ketertarikan
dalam perspektif kognitif atas motivasi (Meece, Anderman, & Anderman, 2006;
Oka, 2005; Pintrich & Schuck, 2002; Weiner, 2005; Wigfield, Byrnes, &
Eccles, 2006). Minat ini berfokus pada gagasan-gagasan seperti motivasi
internal siswa untuk berprestasi, atribusi mereka (persepsi mengenai penyebab
keberhasilan atau kegagalan, khususnya persepsi bahwa usaha merupakan faktor
penting dalam prestasi), dan keyakinan bahwa mereka dapat mengontrol lingkungannya
secara efektif.
Perspektif
kognitif tentang motivasi cocok dengan gagasan R. W. White (1959), yang
mengajukan konsep motivasi kompetensi (competence motivation), gagasan
bahwa orang termotivasi untuk menangani lingkungan mereka secara efektif,
menguasai dunia mereka, dan memproses informasi secara efisien. Whute
mengatakan bahwa orang melakukan hal-hal ini karena mereka termotivasi secara
internal untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungan. Konsep motivasi
kompetensi menjelaskan mengapa manusia termotivasi untuk mencapai inovasi
ilmiah dan teknologi.
4. Perspektif
Sosial
Apakah
Anda merupakan orang yang sering termotivasi untuk berada di sekeliling
orang-orang? Ataukah Anda lebih suka tinggal di rumah dan membaca sebuah buku? Kebutuhan akan afiliasi atau hubungan adalah motif untuk
terhubung secara aman dengan orang lain. Hal ini termasuk membangun,
mempertahankan, serta memulihkan hubungan pribadi yang hangat dan akrab.
Kebutuhan siswa akan afiliasi atau hubungan tercermin dalam motivasi mereka
untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya, sahabat mereka, kasih
sayang mereka kepada orang tuanya, dan keinginan mereka untuk mempunyai
hubungan positif dengan guru mereka.
Salah
satu faktor penting dalam motivasi dan prestasi belajar siswa adalah persepsi
mereka tentang hubungan positif mereka dengan para guru (McCombs, 2001; McCombs
&Quiat, 2001).
2.
Proses Untuk Berprestasi
Ø Motivasi Ekstrinsik dan Intrinsik
Motivasi ekstrinsik
adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (sebuah cara untuk
mencapai suatu tujuan). Motivasi
Intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi hal itu
sendiri (sebuah tujuan itu sendiri). Sebagai contoh motivasi Ekstrinsik yaitu
seorang siwa akan belajar dengan keras dengan tujuan untuk mendapatkan nilai
ujian yang bagus dimata pelajaran tersebut. Sedangkan contoh dari motivasi
intrinsik yaitu seorang siswa dapat belajar dengan keras untuk sebuah ujian karna
ia menyukai mata pelajaran tersebut.
Sehingga yang
menjadi perbedaan di sini adalah jika motivasi ekstrinsik lebih mengutamakan
pada sebuah tujuan yang mana suka atau tidaknya mata pelajaran tersebut
mengharuskan dia untuk mendapatkan hasil ujian yang baik. Berbeda halnya dengan
motivasi intrinsik yang lebih merujguk kepada kesenangan atau minat siswa
terhadap suatu mata pelajaran sehingga jiwanya termotivasi untuk mendapatkan hasil
nilai yang maksimal terhadap suatu mata pelajaran yang ia sukai dibandingkan dengan
mata pelajaran lain.
Sehingga secara keseluruhan, sebagian
besar ahli rekomendasikan bahwa guru seharusnya mencipkan suana kelas di mana
agar siswa dapat termotivasi secara intrinsic untuk belajar. Salah saru
pandangan dari motivasi intrinsik menekankan karakteristik determinasi
dirinya.dengan memberikan siswa sejumlah pilihan dan memberikan kesempatan bagi
tanggung jawab personal, dapat meningkatkan motivasi intrinsic.
Ø Atribusi
Teori atribusi mengatakan individu
termotivasi untuk mengungkapkan penyebab yang mendasari perilaku dalam usaha
untuk memahami perilaku. Weiner mengidentifikasi tiga dimesi dari penyebab
atribusi: (1) lokus, (2) stabilitas, dan (3) kemampuan mengendalikan. Kombinasi
dari dimensi-dimensi ini menghasilkan penjelasan berbeda atas kegagalan dan
keberhasilan.
Beberapa
dari penyebab keberhasilan dan kegagalan yang paling sering disimpulkan adalah
kemampuan, usaha, kemudahan atau kesulitan tugas, keberuntungan, suasana hati,
dan bantuan atau gangguan dari orang lain.
Lalu apa saja strategi yang dapat
digunakan guru dalam membantu siswa meningkatkan cara mereka berurusan dengan
atribusi mereka? Psikolog pendidikan sering merekomendasikan untuk memberi
siswa serangkaian pengalaman prestasi yang terencana di mana pemodelan,
informasi mengenai strategi, praktik dan umpan balik diguankan untuk membantu
mereka (1) berkonsentrasi pada tugas yang ditangani daripada mengkhawatirkan
kegagalan; (2) mengatasi kegagalan dengan mempelajari hal-hal terdahulu yang
telah mereka lakukan untuk menemukan kesalahan mereka atau dengan menganalisis
masalahnya untuk menemukan pendekatan yang lain; dan (3) menghubungkan
kegagalan mereka terhadap kurangnya usaha daripada kurangnya kemampuan
(Boekaerts, 2006; Brophy, 2004; Dweck & Elliot, 1983).
Saat
ini, strateginya adalah tidak untuk memaparkan kepada siswa tentang jenis
pembelajaran yang mengarahkan mereka untuk menangani tugas dengan mudah dan
mendemontrasikan keberhasilan. Tetapi, sebagai gantinya, memaparkan kepada
mereka tentang jenis pembelajaran di mana siswa harus berjuang untuk mengatasi
kesalahan sebelum akhirnya berhasil (Brophy, 2004). Dengan cara ini, siswa
belajar untuk menangani frustasi, bertahan dalam kesulitan, dan secara
konstruktif menangani kegagalan.
Sehingga
ketika siswa gagal atau mendapatkan nilai buruk pada ujian atau tugas, merek
menghubungkan hasil tersebut dengan penyebab-penyebab tertentu. Penjelasan
tersebut mencerminkan delapan kombinasi dari tiga kategori utama atribusi
Weiner.
Ø Mastery Motivation
Orientasi kemampuan menguasai sesuatu
( mastery motivation) berfokus pada
tugas daripada kemampuan, melibatan efek positif, dan meliputi strategi
berorientasi solusi. Orientasi pada rasa putus asa berfokus pada
ketidakmampuan, menghubungkan kesulitan pada kurangnya kemampuan, dan
menampilkan efe negatif (seperti kebosanan atau kecemasan). Orientasi kinerja
adalah mementingkan hasil prestasi daripada proses prestasi.
Ø Efikasi Diri
Efikasi diri adalah keyakinan bahwa
seseorang dapat menguasai situasi dan memberikan hasil positif. Bandura
menekankan bahwa efikasi diri adalah sebuah faktor penting yang menentukan
apakah siswa akan berprestasi. Guru dengan efikasi diri rendah menjadi
terperosok dalam masalah kelas. Dengan menetapkan tujuan yang spesifik,
bersifat proksimal (jangka pendek), dan menantang dapat menguntungkan efikasi
diri dan prestasi siswa.
Ø Penetapan Tujuan, Perencanaan, dan
Pemantauan Diri
Dweck dan Nicholls mendefinisikan
tujuan dalam pengertian fokus yang secara dekat terkait prestasi definisi atas
sukses. Menjadi seorang perencana yag baik dapat membantu siswa mengelola waktu
s-carecara efektif, menetapkan prioritas, dan terorganisasi. Dengan memberikan
kesempatan untuk mengembangkan keterampilan manajemen waktu mungkin akan member
manfaat apad pembelajaran dan prestasi mereka. Pemantauan diri adalahut sebuah
aspek kunci dari pembelajaran dan prestasi.
Ø Ekspetasi
Ekspektasi siswa untuk sukses dan
nilai yang mereka tempatkan pada apa yang ingin mereka capai mempengaruhi
motivasi mereka. Kombinasi ari ekspektasi dan nilai telah mejadi fokus dari
sejumlah motadel motivasi prestasi. Ekspektasi guru dapat mempunyai pengaruh yang
kuat pada motivasi dan prestasi siswa. Guru sering kali mempunyai ekspektasi yang
lebih tinggi untuk siswa-siswa dengan kemampuan tinggi dibandingkan untuk
siswa-siswa dengan kemampuan rendah. Hal yang penting bagi guru adalah untuk
memonitor ekspektasi mereka dan mempunyai ekspektasi tinggi untuk semua siswa.
3.
Siswa Dengan Masalah Prestasi
Merekomendasikan
cara-cara untuk membantu siswa dengan masalah prestasi
Ø Siswa
yang Berprestasi Rendah dan Mempunyai Ekspektasi Keberhasilan Rendah
Siswa dengan kemampuan rendah serta
ekspektasi keberhasilan rendah sering membutuhkan dorongan dan dukungan, tetapi
perlu diingatkan pula bahwa kemajuan dapat diterima hanya jika disertai dengan
usaha yang keras. Seorang siswa dengan sindrom kegagalan (yang mempunyai ekspektasi
sukses rendah dan mudah menyerah) kemungkinan akan mendapatkan manfaat dari metode
pelatihan kognitif seperti pelatihan efikasi, pelatihan atribusi, dan pelatihan
strategi.
Ø Siswa
yang Melindungi Nilai Diri Mereka dengan Menghindari Kegagalan
Siswa yang termotivasi untuk
melindungi nilai diri dan menghindari kegagalan sering kali terlibat dalam satu
atau lebih strategi tidak efektif berikut: nonkinerja, prokastinasi, atau
penetapan tujuan yang tidak terjangkau. Siswa-siswa ini lebih membutuhkan
bimbingan dalam menetapkan tujuan yang menantang, tetapi realistis, membutuhkan
dikuatkannya hubungan antara usaha mereka dan nilai diri serta mendapatkan
manfaat dari mengembangkan keyakinan positif mengenai kemampuan mereka.
Ø Siswa
yang Melakukan Prokastinasi
Prokastinasi memiliki banyak bentuk,
termasuk mengabaikan tugas dengan harapan tugas tersebut akan pergi, meremehkan
jumlah kerja yang dibutuhkan suatu tugas, menghabiskan waktu berjam-jam pada
aktivitas yang mengalihkan perhatian, mensubstitusi aktivitas yang bernilai,
tetapi mempunyai prioritas yang lebih rendah, dan lainnya. Strategi untuk
membantu siswa mengatasi prokastinasi termasuk mengakui bahwa mereka mempunyai
masalah prokastinasi, mendorong mereka untuk mengidentifikasi ilai-nilai dan
tjuan mereka, membantu mereka mengelola waktu secara lebih efektif, membuat
mereka membagi tugas ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, serta mengajar
mereka untuk menggunakan strategi ilmu perilaku dan kognitif.
Ø Siswa
yang Perfeksionis
Berpikir perfeksionis adalah bahwa
kesalahan tidak dapat diterima dan standar tertinggi kinerja selalu harus
tercapai. Perfeksionis rentan terkena sejumlah maslah kesehatan fisik dan
mental. Guru dapat membantu siswa dengan kecenderungan perfeksionis dengan
meminta mereka membuat daftar keuntungan dan kerugian dari uasaha menjadi
sempurna, membimbing siswa menjadi sadar atas sifat kritis diri dari pemikiran
“semua-atau-tidak-sama-sekali”, membantu mereka menjadi lebih ralistis mengenai
apa yang dapat mereka capai, mendorong mereka untuk menetapkan batasan waktu p
daripadda proyek mereka, dan membantu mereka belajar menerima kritik.
Ø Siswa
dengan Kecemasan Tinggi
Kecemasan adalah sebuah perasaan tidak
menyenangkan akan ketakutan dan kekhawatiran yang tidak begitu jelas. Kecemasan
tinggi dapat dihasilkan dari ekspektasi orang tua yang tidak realistis.
Kecemasan siswa meningkat seiring bertambah tuanya usia mereka serta menghadapi
lebih banyak evaluasi, perbandingan sosial, dan kegagalan (bagi sejumlah
siswa). Program kognitif yang menggantikan pemikiran siswa yang merusak diri
dengan pemikiran yang lebih positif dan konstruktif terbukti lebih efektif
dibandingkan program relaksasi dalam
membawa manfaat pada prestasi siswa.
Ø Siswa
yang Tidak Tertarik atau Terasing
Strategi untuk membantu siswa yang
tidak berminat atau terasing meliputi pembentukan hubungan positif dengan
siswa, membuat sekolah lebih menarik secara intinsik, menggunakan stratgi
pengajaran untuk membuat pekerjaan akademis lebih menyenangkan, dan
mempertimbangkan penggunaan mentor dalam komunitas atau siswa yang lebih tua
sebagai pribadi pendukung bagi siswa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin
Syah. 2009 (Cet. 3). Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Salemba Humatika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar