Minggu, 25 Desember 2016

Motivasi Belajar Peserta Didik



MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK

1.             Motivasi
Motivasi (motivation) melibatkan proses yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Dengan demikian, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang mengandung energi, memiliki arah, dan dapat dipertahankan.
Perspektif Atas Motivasi
          Perspektif psikologis yang berbeda menjelaskan motivasi dalam cara berbeda. Marilah kita menjelajahi empat perspektif ini: ilmu perilaku, humanistis, kognitif, dan sosial,
1.    Perspektif Ilmu Perilaku
            Perspektif Ilmu Perilaku menekankan penghargaan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi seorang siswa. Intensif (incentives) adalah stimulus atau kejadian positif atau negatif yang dapat memotivasi perilaku seorang siswa. Intensif yang digunakan guru di kelas termasuk nilai numerik dan nilai huruf, yang memberikan umpan balik mengenai kualitas kerja siswa, serta tanda centang atau bintang untuk menyelesaikan pekerjaan secara kompeten. Inisiatif lainnya termasuk memberikan pengakuan kepada sisa. Sebagai contoh: dengan memamerkan hasil kerja mereka, member mereka sertifikat prestasi, menempatkan mereka pada daftar nama kehormatan, dan secara verbal menyebutkan pencapaian mereka.
Jenis intensif lainnya  berfokus untuk mengizinkan siswa melakukan sesuatu yang istimewa seperti bermain game computer atau mengikuti perjalanan kunjungan lapangan, sebagai penghargaan untuk kerja yang bagus.
2.    Perspektif Humanistis (humanistic perspective)
Menekankan kapasitas siswa untuk pertumbuhan pribadi, kebebasan untuk memilih nasib mereka sendiri, dan kualitas-kualitas positif (seperti bersikap sensitif terhadap orang lain). Menurut hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) Maslow, kebutuhan individu harus dipuaskan dalam urutan berikut
·      Fisilogis: lapar, aus, tidur.
·      Rasa aman: memastikan kelangsungan hidup, seperti perlindungan dari perang dan criminal.
·      Cinta dan rasa memiliki: keamanan, afeksi, dan perhatian dari orang lain.
·      Harga diri: merasa senang terhadap diri sendiri.
·      Aktualisasi diri: mewujudkan potensi diri.
3.    Perspektif Kognitif
Menurut perspektif kognitif mengenai motivasi, pemikkiran siswa mengarahkan motivasi mereka. Dalam tahun-tahun terakhir, telah terjadi peningkatan ketertarikan dalam perspektif kognitif atas motivasi (Meece, Anderman, & Anderman, 2006; Oka, 2005; Pintrich & Schuck, 2002; Weiner, 2005; Wigfield, Byrnes, & Eccles, 2006). Minat ini berfokus pada gagasan-gagasan seperti motivasi internal siswa untuk berprestasi, atribusi mereka (persepsi mengenai penyebab keberhasilan atau kegagalan, khususnya persepsi bahwa usaha merupakan faktor penting dalam prestasi), dan keyakinan bahwa mereka dapat mengontrol lingkungannya secara efektif.
Perspektif kognitif tentang motivasi cocok dengan gagasan R. W. White (1959), yang mengajukan konsep motivasi kompetensi (competence motivation), gagasan bahwa orang termotivasi untuk menangani lingkungan mereka secara efektif, menguasai dunia mereka, dan memproses informasi secara efisien. Whute mengatakan bahwa orang melakukan hal-hal ini karena mereka termotivasi secara internal untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungan. Konsep motivasi kompetensi menjelaskan mengapa manusia termotivasi untuk mencapai inovasi ilmiah dan teknologi.
4.    Perspektif Sosial
Apakah Anda merupakan orang yang sering termotivasi untuk berada di sekeliling orang-orang? Ataukah Anda lebih suka tinggal di rumah dan membaca sebuah buku? Kebutuhan akan afiliasi atau hubungan adalah motif untuk terhubung secara aman dengan orang lain. Hal ini termasuk membangun, mempertahankan, serta memulihkan hubungan pribadi yang hangat dan akrab. Kebutuhan siswa akan afiliasi atau hubungan tercermin dalam motivasi mereka untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya, sahabat mereka, kasih sayang mereka kepada orang tuanya, dan keinginan mereka untuk mempunyai hubungan positif dengan guru mereka.
Salah satu faktor penting dalam motivasi dan prestasi belajar siswa adalah persepsi mereka tentang hubungan positif mereka dengan para guru (McCombs, 2001; McCombs &Quiat, 2001).

2.             Proses Untuk Berprestasi


 










                                                                                                                                 
Ø   Motivasi Ekstrinsik dan Intrinsik
          Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (sebuah cara untuk mencapai suatu tujuan). Motivasi Intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi hal itu sendiri (sebuah tujuan itu sendiri). Sebagai contoh motivasi Ekstrinsik yaitu seorang siwa akan belajar dengan keras dengan tujuan untuk mendapatkan nilai ujian yang bagus dimata pelajaran tersebut. Sedangkan contoh dari motivasi intrinsik yaitu seorang siswa dapat belajar dengan keras untuk sebuah ujian karna ia menyukai mata pelajaran tersebut.
          Sehingga yang menjadi perbedaan di sini adalah jika motivasi ekstrinsik lebih mengutamakan pada sebuah tujuan yang mana suka atau tidaknya mata pelajaran tersebut mengharuskan dia untuk mendapatkan hasil ujian yang baik. Berbeda halnya dengan motivasi intrinsik yang lebih merujguk kepada kesenangan atau minat siswa terhadap suatu mata pelajaran sehingga jiwanya termotivasi untuk mendapatkan hasil nilai yang maksimal terhadap suatu mata pelajaran yang ia sukai dibandingkan dengan mata pelajaran lain.
Sehingga secara keseluruhan, sebagian besar ahli rekomendasikan bahwa guru seharusnya mencipkan suana kelas di mana agar siswa dapat termotivasi secara intrinsic untuk belajar. Salah saru pandangan dari motivasi intrinsik menekankan karakteristik determinasi dirinya.dengan memberikan siswa sejumlah pilihan dan memberikan kesempatan bagi tanggung jawab personal, dapat meningkatkan motivasi intrinsic.
Ø   Atribusi
          Teori atribusi mengatakan individu termotivasi untuk mengungkapkan penyebab yang mendasari perilaku dalam usaha untuk memahami perilaku. Weiner mengidentifikasi tiga dimesi dari penyebab atribusi: (1) lokus, (2) stabilitas, dan (3) kemampuan mengendalikan. Kombinasi dari dimensi-dimensi ini menghasilkan penjelasan berbeda atas kegagalan dan keberhasilan.
Beberapa dari penyebab keberhasilan dan kegagalan yang paling sering disimpulkan adalah kemampuan, usaha, kemudahan atau kesulitan tugas, keberuntungan, suasana hati, dan bantuan atau gangguan dari orang lain.
          Lalu apa saja strategi yang dapat digunakan guru dalam membantu siswa meningkatkan cara mereka berurusan dengan atribusi mereka? Psikolog pendidikan sering merekomendasikan untuk memberi siswa serangkaian pengalaman prestasi yang terencana di mana pemodelan, informasi mengenai strategi, praktik dan umpan balik diguankan untuk membantu mereka (1) berkonsentrasi pada tugas yang ditangani daripada mengkhawatirkan kegagalan; (2) mengatasi kegagalan dengan mempelajari hal-hal terdahulu yang telah mereka lakukan untuk menemukan kesalahan mereka atau dengan menganalisis masalahnya untuk menemukan pendekatan yang lain; dan (3) menghubungkan kegagalan mereka terhadap kurangnya usaha daripada kurangnya kemampuan (Boekaerts, 2006; Brophy, 2004; Dweck & Elliot, 1983).
Saat ini, strateginya adalah tidak untuk memaparkan kepada siswa tentang jenis pembelajaran yang mengarahkan mereka untuk menangani tugas dengan mudah dan mendemontrasikan keberhasilan. Tetapi, sebagai gantinya, memaparkan kepada mereka tentang jenis pembelajaran di mana siswa harus berjuang untuk mengatasi kesalahan sebelum akhirnya berhasil (Brophy, 2004). Dengan cara ini, siswa belajar untuk menangani frustasi, bertahan dalam kesulitan, dan secara konstruktif menangani kegagalan.
Sehingga ketika siswa gagal atau mendapatkan nilai buruk pada ujian atau tugas, merek menghubungkan hasil tersebut dengan penyebab-penyebab tertentu. Penjelasan tersebut mencerminkan delapan kombinasi dari tiga kategori utama atribusi Weiner.
Ø   Mastery Motivation
          Orientasi kemampuan menguasai sesuatu ( mastery motivation) berfokus pada tugas daripada kemampuan, melibatan efek positif, dan meliputi strategi berorientasi solusi. Orientasi pada rasa putus asa berfokus pada ketidakmampuan, menghubungkan kesulitan pada kurangnya kemampuan, dan menampilkan efe negatif (seperti kebosanan atau kecemasan). Orientasi kinerja adalah mementingkan hasil prestasi daripada proses prestasi.
Ø   Efikasi Diri
          Efikasi diri adalah keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan memberikan hasil positif. Bandura menekankan bahwa efikasi diri adalah sebuah faktor penting yang menentukan apakah siswa akan berprestasi. Guru dengan efikasi diri rendah menjadi terperosok dalam masalah kelas. Dengan menetapkan tujuan yang spesifik, bersifat proksimal (jangka pendek), dan menantang dapat menguntungkan efikasi diri dan prestasi siswa.
Ø   Penetapan Tujuan, Perencanaan, dan Pemantauan Diri
          Dweck dan Nicholls mendefinisikan tujuan dalam pengertian fokus yang secara dekat terkait prestasi definisi atas sukses. Menjadi seorang perencana yag baik dapat membantu siswa mengelola waktu s-carecara efektif, menetapkan prioritas, dan terorganisasi. Dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan manajemen waktu mungkin akan member manfaat apad pembelajaran dan prestasi mereka. Pemantauan diri adalahut sebuah aspek kunci dari pembelajaran dan prestasi.
Ø   Ekspetasi
          Ekspektasi siswa untuk sukses dan nilai yang mereka tempatkan pada apa yang ingin mereka capai mempengaruhi motivasi mereka. Kombinasi ari ekspektasi dan nilai telah mejadi fokus dari sejumlah motadel motivasi prestasi. Ekspektasi guru dapat mempunyai pengaruh yang kuat pada motivasi dan prestasi siswa. Guru sering kali mempunyai ekspektasi yang lebih tinggi untuk siswa-siswa dengan kemampuan tinggi dibandingkan untuk siswa-siswa dengan kemampuan rendah. Hal yang penting bagi guru adalah untuk memonitor ekspektasi mereka dan mempunyai ekspektasi tinggi untuk semua siswa.

3.             Siswa Dengan Masalah Prestasi
Merekomendasikan cara-cara untuk membantu siswa dengan masalah prestasi
Ø Siswa yang Berprestasi Rendah dan Mempunyai Ekspektasi Keberhasilan Rendah
          Siswa dengan kemampuan rendah serta ekspektasi keberhasilan rendah sering membutuhkan dorongan dan dukungan, tetapi perlu diingatkan pula bahwa kemajuan dapat diterima hanya jika disertai dengan usaha yang keras. Seorang siswa dengan sindrom kegagalan (yang mempunyai ekspektasi sukses rendah dan mudah menyerah) kemungkinan akan mendapatkan manfaat dari metode pelatihan kognitif seperti pelatihan efikasi, pelatihan atribusi, dan pelatihan strategi.
Ø Siswa yang Melindungi Nilai Diri Mereka dengan Menghindari Kegagalan
          Siswa yang termotivasi untuk melindungi nilai diri dan menghindari kegagalan sering kali terlibat dalam satu atau lebih strategi tidak efektif berikut: nonkinerja, prokastinasi, atau penetapan tujuan yang tidak terjangkau. Siswa-siswa ini lebih membutuhkan bimbingan dalam menetapkan tujuan yang menantang, tetapi realistis, membutuhkan dikuatkannya hubungan antara usaha mereka dan nilai diri serta mendapatkan manfaat dari mengembangkan keyakinan positif mengenai kemampuan mereka.
Ø Siswa yang Melakukan Prokastinasi
          Prokastinasi memiliki banyak bentuk, termasuk mengabaikan tugas dengan harapan tugas tersebut akan pergi, meremehkan jumlah kerja yang dibutuhkan suatu tugas, menghabiskan waktu berjam-jam pada aktivitas yang mengalihkan perhatian, mensubstitusi aktivitas yang bernilai, tetapi mempunyai prioritas yang lebih rendah, dan lainnya. Strategi untuk membantu siswa mengatasi prokastinasi termasuk mengakui bahwa mereka mempunyai masalah prokastinasi, mendorong mereka untuk mengidentifikasi ilai-nilai dan tjuan mereka, membantu mereka mengelola waktu secara lebih efektif, membuat mereka membagi tugas ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, serta mengajar mereka untuk menggunakan strategi ilmu perilaku dan kognitif.
Ø Siswa yang Perfeksionis
          Berpikir perfeksionis adalah bahwa kesalahan tidak dapat diterima dan standar tertinggi kinerja selalu harus tercapai. Perfeksionis rentan terkena sejumlah maslah kesehatan fisik dan mental. Guru dapat membantu siswa dengan kecenderungan perfeksionis dengan meminta mereka membuat daftar keuntungan dan kerugian dari uasaha menjadi sempurna, membimbing siswa menjadi sadar atas sifat kritis diri dari pemikiran “semua-atau-tidak-sama-sekali”, membantu mereka menjadi lebih ralistis mengenai apa yang dapat mereka capai, mendorong mereka untuk menetapkan batasan waktu p daripadda proyek mereka, dan membantu mereka belajar menerima kritik.
Ø Siswa dengan Kecemasan Tinggi
          Kecemasan adalah sebuah perasaan tidak menyenangkan akan ketakutan dan kekhawatiran yang tidak begitu jelas. Kecemasan tinggi dapat dihasilkan dari ekspektasi orang tua yang tidak realistis. Kecemasan siswa meningkat seiring bertambah tuanya usia mereka serta menghadapi lebih banyak evaluasi, perbandingan sosial, dan kegagalan (bagi sejumlah siswa). Program kognitif yang menggantikan pemikiran siswa yang merusak diri dengan pemikiran yang lebih positif dan konstruktif terbukti lebih efektif dibandingkan program relaksasi  dalam membawa manfaat pada prestasi siswa.
Ø Siswa yang Tidak Tertarik atau Terasing
          Strategi untuk membantu siswa yang tidak berminat atau terasing meliputi pembentukan hubungan positif dengan siswa, membuat sekolah lebih menarik secara intinsik, menggunakan stratgi pengajaran untuk membuat pekerjaan akademis lebih menyenangkan, dan mempertimbangkan penggunaan mentor dalam komunitas atau siswa yang lebih tua sebagai pribadi pendukung bagi siswa tersebut.






DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin Syah. 2009 (Cet. 3). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humatika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar