Senin, 26 Desember 2016

Peristiwa-peristiwa Perubahan Kebudayaan



Peristiwa-peristiwa Perubahan Kebudayaan

1.    Ketidakserasian Perubahan-perubahan dan Ketertinggalan Budaya (Cultural lag)[1]
          Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan masyarakat. Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, tidak selalu perubahan-perubahan pada unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan mengalami kelainan yang seimbang. Ada unsur-unsur yang dengan cepat berubah. Akan tetapi ada pula unsur-unsur yang sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan kebendaan lebih berubah daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Misalnya, suatu suatu perubahan dalam cara bertani, tidak begitu berpengaruh terhadap tari-tarian tradisional. Akan tetapi sistem pendidikan anak-anak mempunyai hubungan yang erat dengan dipekerjakannya tenaga-tenaga wanita pada industri. Apabila dalam hal ini terjadi ketidakserasian, maka kemungkinan akan terjadi kegoyahan dalam hubungan antara unsur-unsur tersebut diatas, sehingga keserasian masyarakat terganggu.
Suatu teori yang terkenal didalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat adalah teori ketertinggalan budaya (cultural lag) dari William F. Ogburn.[2]: Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu sama cepatnya dalam keseluruhannya seperti diuraikan sebelumnya, akan tetapi ada bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat, dinamakan cultural lag (artinya ketertinggalan kebudayaan). Juga suatu ketertinggalan (lag) terjadi apabila laju perubahan dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan (mungkin juga lebih) yang mempunyai korelasi, tidak sebanding, sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya. Perubahan itu bisa berupa discovery (penemuan), invention (ciptaan baru), dan diffusion (difusi, peleburan dari ciptaan lama dengan baru).
          Suatu contoh dapat dikemukakan mengenai tenaga listrik antara tahun 1963-1966 di Jakarta, dibandingkan dengan kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya. Keadaan listrik di kota Jakarta sangat dibawah norma-norma persyaratan listrik bagi kota-kota besar, dan dari hal itu dapat dapat pula dinilai norma-norma kesejahteraan masyarakat Jakarta ini. Listrik di Jakarta hanya lebih melayani 100.000 langganan atau 500.000 penduduk, yang berarti lebih kurang hanya 13% dari seluruh penduduk Jakarta, atau satu dianta delapan keluarga. Keadaan perlistrikan yang sebenarnya di Jakarta adalah sebagai berikut:[3]

Tahun          jumlah                    jumlah              Beban                          Beban                             Jatah
                      penduduk             langganan         terpasang (Kw)          puncak yg dicapai        watt
 

1963             3.200.000                90.000                   74.000                            45.000                      23
1966             3.800.000                100.000                 82.000                            60.000                      22

          Adanya cultural lag disini adalah karena tidak sesuainya penyediaan dengan pemakaian tenaga listrik dan juga karena terlalu cepatnya perkembangan penduduk Jakarta, apabila dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan penyediaan listrik. Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakwajaran, misalnya pencurian listrik yang menyebabkan para knsumen yang benar-benar berlangganan dirugikan.
          Pengertian ketertinggalan dapat digunakan paling sedikit dalam dua arti,[4] petama sebagai jangka waktu antara terjadi dan diterimanya penemuan baru.
Ketertinggalan yang mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Hal ini dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang seperti indonesia ini.
Suatu contoh nyata adalah penggunaan Komputer yang merupakan salah satu hasil perkembangan teknologi di negara-negara maju. Penggunaan alat tersebut harus disertai oleh peralatan-peralatan khusus seperti untuk memperbaikinya apabila rusak. Aliran listrik harus mempunya ketegangan tertentu, konstan dan seterusnya. Ini belum semuanya tersedia, misalnya aliran listrik yang konstan. Hal itu dapat memacetkan computer atau kalau rusak untuk memperbaikinya belum tentu tersedia alat dan ahli yang cukup.
          Tidak mudah memang untuk mengatasi persoalan demikian, paling tidak alam pikiran manusia harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran tradisional kea lam pikiran yang modern. Alam pikiran modern ditandai oleh beberapa hal, misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagi perubahan dan pembaharuan. Tekanan dalam hal ini bukanlah terletak pada keahlian dan kemampuan jasmaniah belaka, tetapi pada suatu jiwa yang terbuka. Alam pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya saja yang langsung, akan tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar itu. Yaitu berpikir dengan luas. Di sini pendidikan memperoleh posisi menentukan; semakin terdidik seseorang semakin terbuka dan semakin luar daya pikirnya. Dia harus menyadari bahwa ada pendapat-pendapat lain dan sikap-sikap lain yang mengelilingi dirinya. Kondisi lain yang juga harus diperhatikan adalah bahwa alam pikiran modern lebih berorintasi pada keadaan sekarang serta keadaan-keadaan mendatang daripada terhadap keadan-keadaan yang telah lau; dan sehubungan dengan itu dia harus mengadakan perencanaan (planning) untuk hari kedepannya.
          Kiranya seseorang dengan alam pikiran modern yakin bahwa manusia dapat belajar untuk memanfaatkan dan menguasai alam sekelilingnya, daripada bersikap pasrah atau pasif. Seorang juga yakin bahwa keadaan-keadaan dapat diperhitungkan, artinya bahwa orang-orang lain serta lembaga-lembaga lain dapat diandalkan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban dan tanggung jawabnya. Dia tidak setuju pada pendapat bahwa segala sesuatu dapat ditentukan oleh nasib atau oleh watak dan sifat-sifat yang khusus dari orang-orang tertentu. Sehubungan dengan itu timbul kesadaran akan harga diri orang-orang lain, sehingga dia menaruh keseganan terhadap mereka. Kemudian, dia lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi walaupun dengan cara-cara sederhana sekalipun. Hal itu menimbulkan keyakinan kepadanya bahwa penghargaan sebagai balas jasa, diberikan kepada mereka yang betul-betul telah berjasa dan tidak atas dasar kekayaan atau kekuasaan yang dimilikinya. Itu semuanya terutama dapat dicapai dengan pendidikan supaya orang dapat berpikir secara ilmiah. Cara berpikir secara ilmiah herus melembaga dalam diri manusia, terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang, agar terhindar dari terjadinya ketertinggalan budaya.[5]

2.    Cultural Shock (guncangan kebudayaan)
          Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik.
Misalnya, adalah  peristiwa kebudayaan dimana masyarakat melakukan perpindahan dari Negara satu ke Negara lain. Tetapi terjadi perbedaan budaya yang jauh antar Negara tadi dan membuat masyarakat bingung untuk berdaptasi. Keadaan ini lebih dipengaruhi dengan perbedaan mendapat beasiswa di Perancis. Tetapi di Perancis, mereka lebih suka menggunakan Bahasa Ibu mereka. Keadaan ini jelas akan membuat keadaan orang Indonesia mengalami Cultural Shock dimana dia akan kebigungan dengan bahasa yang tidak biasa dia dengar selama ini dan seperti yang kita ketahui, bahwa Bahasa Perancis jika tidak terbiasa mendengarnya pasti akan sulit untuk memahaminya.
          Ada empat tahap yang membentuk siklus culture shock:
a.    Tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru yang menarik.
b.    Tahap krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock
c.    Tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai.
d.    Tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu, rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.
    Penyesuaian diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai factor, diantaranya factor intern dan factor ekstern. Faktor intern ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skills).[6] Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan, “orang macam apa dia?” jawabannya: emosional, pemberani, bertanggung jawab, senang bergaul dan seterusnya. Orang yang senang bergaul biasanya akan lebih mudah menyesuaikan diri.
Kecakapan atau skills menyangkut segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata karma, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi politik, dan sebagainya.
Selain kedua faktor ini, juga sikap (attitude) seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Yang dimaksud dengan sikap di sini adalah kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana seseorang menanggapi segala macam objek atau situasi yang dihadapinya.[7] Contoh-contoh sikap: terus terang, berprasangka baik atau buruk, curiga, optimis, pesimis, skeptis, ekstrem, moderatm toleran, tepa sliro, dan sebagainya. Orang-orang yang bersikap terus terang dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri.
          Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya adalah:
1.    Besar-kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempt asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
2.    Pekerjaan yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
3.    Suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.
C. Cultural survival
    Istilah ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat dipergunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
1.    Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimanya penemuan baru tadi.
2.    Adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern.
          Terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag. Misalnya sebagai berikut, seorang pria menggunakan mantel yang memiliki ekor dan dulunya itu digunakan untuk berkuda, tetapi masih saja budaya itu digunakan untuk membuat mantel dalam pernikahan. Inilah yang dimaksud dengan cultural survival.
D. Pertentangan kebudayaan (cultural conflict)
          Pertentangan kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung antarkebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik kebudayaan adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain. Dapat dicontohkan dengan adanya pro dan kontra atas terjadinya perbudakan di Amerika. Hasil dari pro dan kontra tadi adalah perang saudara di amerika.



[1] Ogburn dan Nimkoff, op.cit., halaman 728 dan seterusnya.
[2] Juga sering disebut sebagai social-lag
[3] Dikutip dari Master Plan DKI Jaya 1965-1985, Lampiran 4: Prasarana listrik
[4] Ogburn dan Nimkoff, op.cit..halaman 732 dan seterusnya.
[5] Bacalah “The Modernizaion of Man” oleh Alex Inkeles, dalam Modernization: The dynamics of growth, Myron Weiner, (ed)., Voice of America Forum Lectures, Cambridge-Mass, 1966 halaman 151-163
[6] Menurut Brislin tahun 1981
[7] Menurut Alport

Tidak ada komentar:

Posting Komentar