Peristiwa-peristiwa
Perubahan Kebudayaan
1. Ketidakserasian
Perubahan-perubahan dan Ketertinggalan Budaya (Cultural lag)[1]
Cultural lag adalah perbedaan antara
taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan masyarakat. Pada masyarakat
yang sedang mengalami perubahan, tidak selalu perubahan-perubahan pada
unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan mengalami kelainan yang seimbang. Ada
unsur-unsur yang dengan cepat berubah. Akan tetapi ada pula unsur-unsur yang
sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan kebendaan lebih berubah
daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Misalnya, suatu suatu perubahan dalam
cara bertani, tidak begitu berpengaruh terhadap tari-tarian tradisional. Akan
tetapi sistem pendidikan anak-anak mempunyai hubungan yang erat dengan
dipekerjakannya tenaga-tenaga wanita pada industri. Apabila dalam hal ini
terjadi ketidakserasian, maka kemungkinan akan terjadi kegoyahan dalam hubungan
antara unsur-unsur tersebut diatas, sehingga keserasian masyarakat terganggu.
Suatu
teori yang terkenal didalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat
adalah teori ketertinggalan budaya (cultural lag) dari William F. Ogburn.[2]:
Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu
sama cepatnya dalam keseluruhannya seperti diuraikan sebelumnya, akan tetapi
ada bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat, dinamakan cultural lag (artinya ketertinggalan
kebudayaan). Juga suatu ketertinggalan (lag)
terjadi apabila laju perubahan dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan
(mungkin juga lebih) yang mempunyai korelasi, tidak sebanding, sehingga unsur
yang satu tertinggal oleh unsur lainnya. Perubahan itu bisa berupa discovery (penemuan), invention (ciptaan baru), dan diffusion (difusi, peleburan dari
ciptaan lama dengan baru).
Suatu contoh dapat dikemukakan
mengenai tenaga listrik antara tahun 1963-1966 di Jakarta, dibandingkan dengan
kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya. Keadaan listrik di kota
Jakarta sangat dibawah norma-norma persyaratan listrik bagi kota-kota besar,
dan dari hal itu dapat dapat pula dinilai norma-norma kesejahteraan masyarakat
Jakarta ini. Listrik di Jakarta hanya lebih melayani 100.000 langganan atau
500.000 penduduk, yang berarti lebih kurang hanya 13% dari seluruh penduduk
Jakarta, atau satu dianta delapan keluarga. Keadaan perlistrikan yang
sebenarnya di Jakarta adalah sebagai berikut:[3]
Tahun
jumlah jumlah Beban
Beban Jatah
penduduk langganan terpasang (Kw) puncak
yg dicapai watt
1963 3.200.000 90.000 74.000 45.000 23
1966 3.800.000 100.000 82.000 60.000 22
Adanya cultural lag disini adalah
karena tidak sesuainya penyediaan dengan pemakaian tenaga listrik dan juga
karena terlalu cepatnya perkembangan penduduk Jakarta, apabila dibandingkan
dengan kecepatan pertumbuhan penyediaan listrik. Keadaan tersebut mengakibatkan
terjadinya ketidakwajaran, misalnya pencurian listrik yang menyebabkan para
knsumen yang benar-benar berlangganan dirugikan.
Pengertian ketertinggalan dapat
digunakan paling sedikit dalam dua arti,[4]
petama sebagai jangka waktu antara terjadi dan diterimanya penemuan baru.
Ketertinggalan yang
mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dengan perkembangan teknologi yang
sangat pesat. Hal ini dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang
berkembang seperti indonesia ini.
Suatu contoh nyata adalah
penggunaan Komputer yang merupakan salah satu hasil perkembangan teknologi di
negara-negara maju. Penggunaan alat tersebut harus disertai oleh
peralatan-peralatan khusus seperti untuk memperbaikinya apabila rusak. Aliran
listrik harus mempunya ketegangan tertentu, konstan dan seterusnya. Ini belum
semuanya tersedia, misalnya aliran listrik yang konstan. Hal itu dapat
memacetkan computer atau kalau rusak untuk memperbaikinya belum tentu tersedia
alat dan ahli yang cukup.
Tidak mudah memang untuk mengatasi
persoalan demikian, paling tidak alam pikiran manusia harus mengalami perubahan
terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran tradisional kea lam pikiran yang
modern. Alam pikiran modern ditandai oleh beberapa hal, misalnya sifatnya yang
terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagi perubahan dan
pembaharuan. Tekanan dalam hal ini bukanlah terletak pada keahlian dan
kemampuan jasmaniah belaka, tetapi pada suatu jiwa yang terbuka. Alam pikiran
modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya saja yang langsung, akan
tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar itu. Yaitu berpikir dengan
luas. Di sini pendidikan memperoleh posisi menentukan; semakin terdidik
seseorang semakin terbuka dan semakin luar daya pikirnya. Dia harus menyadari
bahwa ada pendapat-pendapat lain dan sikap-sikap lain yang mengelilingi
dirinya. Kondisi lain yang juga harus diperhatikan adalah bahwa alam pikiran
modern lebih berorintasi pada keadaan sekarang serta keadaan-keadaan mendatang
daripada terhadap keadan-keadaan yang telah lau; dan sehubungan dengan itu dia
harus mengadakan perencanaan (planning)
untuk hari kedepannya.
Kiranya seseorang dengan alam pikiran
modern yakin bahwa manusia dapat belajar untuk memanfaatkan dan menguasai alam
sekelilingnya, daripada bersikap pasrah atau pasif. Seorang juga yakin bahwa
keadaan-keadaan dapat diperhitungkan, artinya bahwa orang-orang lain serta
lembaga-lembaga lain dapat diandalkan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban dan
tanggung jawabnya. Dia tidak setuju pada pendapat bahwa segala sesuatu dapat
ditentukan oleh nasib atau oleh watak dan sifat-sifat yang khusus dari
orang-orang tertentu. Sehubungan dengan itu timbul kesadaran akan harga diri
orang-orang lain, sehingga dia menaruh keseganan terhadap mereka. Kemudian, dia
lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi walaupun dengan cara-cara
sederhana sekalipun. Hal itu menimbulkan keyakinan kepadanya bahwa penghargaan
sebagai balas jasa, diberikan kepada mereka yang betul-betul telah berjasa dan
tidak atas dasar kekayaan atau kekuasaan yang dimilikinya. Itu semuanya
terutama dapat dicapai dengan pendidikan supaya orang dapat berpikir secara
ilmiah. Cara berpikir secara ilmiah herus melembaga dalam diri manusia,
terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang, agar terhindar dari
terjadinya ketertinggalan budaya.[5]
2. Cultural
Shock (guncangan kebudayaan)
Istilah ini pertama kali dikemukakan
oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu
penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu
kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental
yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu
kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang
sudah dikenalnya dengan baik.
Misalnya, adalah peristiwa kebudayaan dimana masyarakat
melakukan perpindahan dari Negara satu ke Negara lain. Tetapi terjadi perbedaan
budaya yang jauh antar Negara tadi dan membuat masyarakat bingung untuk berdaptasi.
Keadaan ini lebih dipengaruhi dengan perbedaan mendapat beasiswa di Perancis.
Tetapi di Perancis, mereka lebih suka menggunakan Bahasa Ibu mereka. Keadaan
ini jelas akan membuat keadaan orang Indonesia mengalami Cultural Shock dimana
dia akan kebigungan dengan bahasa yang tidak biasa dia dengar selama ini dan
seperti yang kita ketahui, bahwa Bahasa Perancis jika tidak terbiasa
mendengarnya pasti akan sulit untuk memahaminya.
Ada empat tahap yang membentuk siklus culture shock:
a. Tahap
inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru
yang menarik.
b. Tahap
krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock
c. Tahap
kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai.
d.
Tahap penyesuaian diri; sekarang orang
tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kondisi
yang baru itu, rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.
Penyesuaian
diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai factor, diantaranya factor intern
dan factor ekstern. Faktor intern ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skills).[6]
Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang,
yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan,
“orang macam apa dia?” jawabannya: emosional, pemberani, bertanggung jawab,
senang bergaul dan seterusnya. Orang yang senang bergaul biasanya akan lebih
mudah menyesuaikan diri.
Kecakapan
atau skills menyangkut segala sesuatu
yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti
bahasa, adat-istiadat, tata karma, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi
politik, dan sebagainya.
Selain
kedua faktor ini, juga sikap (attitude)
seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Yang dimaksud dengan
sikap di sini adalah kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui
pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana
seseorang menanggapi segala macam objek atau situasi yang dihadapinya.[7]
Contoh-contoh sikap: terus terang, berprasangka baik atau buruk, curiga,
optimis, pesimis, skeptis, ekstrem, moderatm toleran, tepa sliro, dan sebagainya. Orang-orang yang bersikap terus terang
dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri.
Faktor
ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya adalah:
1. Besar-kecilnya
perbedaan antara kebudayaan tempt asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang
dimasukinya.
2. Pekerjaan
yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir
dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
3. Suasana
lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah
seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan
yang tertutup.
C. Cultural survival
Istilah
ini ada sangkut pautnya dengan cultural
lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak
mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa
konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan
fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata
hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat
dipergunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
1. Suatu
jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimanya penemuan baru
tadi.
2. Adanya
perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran
modern.
Terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang
membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan
hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang
memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan
menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural
lag. Misalnya sebagai
berikut, seorang pria menggunakan mantel yang memiliki ekor dan dulunya itu
digunakan untuk berkuda, tetapi masih saja budaya itu digunakan untuk membuat
mantel dalam pernikahan. Inilah yang dimaksud dengan cultural survival.
D. Pertentangan kebudayaan (cultural
conflict)
Pertentangan kebudayaan ini muncul
sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung
antarkebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik kebudayaan adalah
keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas
berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang
satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain. Dapat dicontohkan dengan adanya pro
dan kontra atas terjadinya perbudakan di Amerika. Hasil dari pro dan kontra
tadi adalah perang saudara di amerika.
[1] Ogburn dan Nimkoff, op.cit.,
halaman 728 dan seterusnya.
[2] Juga sering disebut sebagai social-lag
[3] Dikutip dari Master Plan DKI
Jaya 1965-1985, Lampiran 4: Prasarana
listrik
[4] Ogburn dan Nimkoff,
op.cit..halaman 732 dan seterusnya.
[5] Bacalah “The Modernizaion of
Man” oleh Alex Inkeles, dalam Modernization:
The dynamics of growth, Myron Weiner,
(ed)., Voice of America Forum Lectures, Cambridge-Mass, 1966 halaman 151-163
[6] Menurut Brislin tahun 1981
[7] Menurut Alport
Tidak ada komentar:
Posting Komentar