MAKALAH KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Kurikulum dapat diartikan dengan beragam variasi. Ada yang memandangnya secara
sempit, yaitu kurikulum sebagai kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar. Ada
yang mengartikannya secara luas, meliputi semua pengalaman yang diperoleh siswa
karena pengarahan, bimbingan dan tanggung jawab sekolah. Kurikulum juga
diartikan sebagai dokumen tertulis dari suatu rencana atau program pendidikan,
dan juga sebagai pelaksanaan dari rencana yang sudah direncanakan. Tidak semua
yang ada dalam kurikulum tertulis, kemungkinan dilaksanakan dikelas. Kurikulum dapat mencangkup lingkup yang
sangat luas, yaitu sebagai program pengajaran suatu mata pelajaran untuk
beberapa macam mata pelajaran. Apakah dalam lingkup yang luas atau sempit,
kurikulum membentuk desain yang menggambarkan pola organisasi dari
komponen-komponen kurikulum den gan perlengkapan penunjangnya.
2.
Rumusan Masalah
A. Apa
pengertian kurikulum?
B. Apa
saja dimensi-dimensi kurikulum?
C. Dan
apa saja komponen-komponen kurikulum?
3.
Tujuan
Makalah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca, dan pembaca dapat memahami apa
yang dimaksud dengan komponen kurikulum dan mengetahui komponen-komponen
penyusun kurikulu serta dimensi-dimensi kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KURIKULUM
Secara etimologis, istilah kurikulum berasal
adari bahsa yunai, yaitu curir yang
artinya “pelari” dan curere yang
berarti “tempat
berpaci”. Istilah kurikulum berasal dari
dunia olah raga, terutama dalam bidang atlentik pada zaman romawi kuno di
Yunani. Dalam bahasa Perancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier yang berarti berlari. Kurikulum
berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start
sampai dengan garis finish untuk memperoleh mendali atau penghargaan. Jarak
yang harus ditempuh tersebut kemudian diubah menjadi program sekolah dan semua
orang yang terlibat didalamnya.
Gerakan kurikulum modern sebenarnya sudah ada
di Amerika sejak tahun 1950-an. Ketika itu, B. Othanel Smith, W.O. Stanley dan
J.Harlan Shores memandang kurikulum sebagai
a sequence of potential
experiences set up in the school for the pupose of disciplining children and
youth in group ways of thinking and acting. Pengertian ini menunjukan
kurikulum bukan hanya mata pelajaran, tetapi juga pengalaman-pengalaman
potensial yang dapat diberikan kepada peserta didik. Selanjutnya J. Galen
Saylor dan William M. Alexander mengemukakan bahwa the curriculum is the sun total of school’s efforts to influence
learning, whether in the classroom, on the playground, or out of the school.
Pengertian ini lebih luas lagi dari pengertian sebelumnya. Kurikulum tidak
hanya mata pelajaran dan pengalaman melainkan semua upaya sekolah untuk
mempengaruhi peserta didik belajar, baik dikelas, dihalaman sekolah atau diluar
sekolah.
Pengertian
kurikulum secara modern adalah semua kegiatan dan pengalaman petensial
(isi/materi) yang telah disusun secara ilmiah, baik yang terjadi didalam kelas,
di halaman sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan
pendidikan. Sedangkan menurut UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
B.
DIMENSI-DIMENSI KURIKULUM
William
H.Schubert (1986), merinci pengertian kurikulum dalam berbagai dimensi, yaitu
“kurikulum sebagai content atau subject
matter, kurikulum sebagai program
planned activities, kurikulum sebagai intended
learning outcomes, kurikulum sebagai cultural
reproduction, kurikulum sebagai experience,
kurikulum sebagai discrete tasks and
concepts, kurikulum sebagai agenda for
social reconstruction, dan kurikulum
sebagai currere”.
S.Hamid
Hasan (1988), berpendapat bahwa ada empat dimensi kurikulum yang saling
berhubungan, yaitu “ kurikulum sebagai suatau ide atau konsepsi, kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan
kurikulum sebagai suatu hasil belajar”. Selanjutnya Nana Sy. Sukmadinata (2005)
meninjau kurikulum dari tiga dimensi, yaitu “ kurikulum sebagai ilmu, kurikulum
sebagai sistem, dan kurikulum sebagai rencana”.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada
enam dimensi kurikulum, yaitu :
1.
Kurikulum Sebagai Suatu Ide
Ide
atau konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu berubah mengikutip
perkembangan zaman, minat dan kebutuhan peserta didik, tuntutan masyarakat,
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ide atau gagasan tentang kurikulum hanya ada
dalam pemikiran seseorang yang terlibat dalam proses pendidikan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, seperti kepala dinas pendidikan, pengawas,
kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua. Ketika orang berpikir
tentang tujuan sekolah, materi yang harus disampaikan kepada peserta didik,
kegiatan yang dilakukan oleh guru, orang tua, dan peserta didik, objek
evaluasi, maka itulah dimensi kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi. Paling
tidak itulah konsep kurikulum menurut mereka. Ide atau konsepsi kurikulum
setiap orang tentu berbeda, sekalipun orang-orang tersebut berada dalam satu
keluarga. Perbedaan ide dari orang-orang tersebut sangat penting untuk
dianalisis bahkan dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.
Dimensi
kurikulum sebagai suatu ide, biasanya dijadikan langkah awal pengembangan kurikulum,
yaitu ketika melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak ide-ide yang
berkembang dalam studi tersebut, maka akan dipilih dan ditentukan ide-ide mana
yang dianggap paling kreatif, inovatif, dan konstruktif sesuai dengan visi-misi
dan tujuan pendidikan nasional. Pemilihan ide-ide tersebut pada akhirnya akan
dipilih dalam sebuah pertemuan konsultatif berdasarkan tingkat pengambilan
keputusan yang tinggi. Di Indoonesia, pengambilan keputusan yang tertinggi
adalah Menteri Pendidikan Nasional. Beliau juga sebagai penentu kebijakan
kurikulum yang berlaku secara nasional. Mengingat pengaruhnya yang begitu kuat
dan besar, sera memiliki kedudukan yang startegis, maka tim pengembang
kurikulum biasanya akan mengacu pada ide atau konsep kurikulum menurut menteri
tersebut. Selanjutnya, ide-ide MENDIKNAS dituangkan dalam sebuah kebijakan umu
sampai menjadi dimensi kurikulum sebagai rencana.
2.
Kurikulum Sebagai Suatu Rencana Tertulis
Dimensi
kurikulum sebagai rencana biasanya dituangkan dalam suatu dokumen tertulis.
Dimensi ini menjadi banyak perhatian orang, karena wujudnya dapat dilihat,
mudah dibaca dan dianalisis. Dimensi kurikulum ini pada dasarnya merupakan
realitas dari dimensi kurikulum sebagai ide. Aspek-aspek penting yang perlu
dibahas, antara lain : mengembangkan tujuan dan kompetensi, struktur kurikulum,
kegiatan dan pengalaman belajar, organisasi
kurikulum, manajemen kurikulum, hasil belajar, dan sistem evaluasi. Kurikulum
sebagai suatu ide harus mengikuti pola dan ketentuan-ketentuan kurikulum
sedagai rencana banyak mengalami kesulitan, karena ide-ide yang ingin
disampaikan terlalu umum dan banyak yang tidak dimengerti oleh para pelaksana
kurikulum.
3.
Kurikulum Sebagai Suatu Kegiatan
Kurikulum
dalam dimensi ini merupakan kurikulum yang sesungguhnya terjadi dilapangan (real curriculum). Peserta didik mungkin
saja memikirkan kurikulum sebagai ide, tetapi apa yang dialaminya merupakan
kurikulum sebagai kenyataan. Anatara ide dan pengalaman mungkin sejalan, tetapi
mungkin juga tidak. Banyak ahli kurikulum yang masih mempertentangkan dimensi
ini, dalam arti apakah suatu kegiatan termasuk kurikulum atau bukan. Misalnya ,
MacDonald (1965), Johnson (1971), Popham dan Baker (1970), Inlow (1973), dan
Beauchamp (1975) tidak menganggap suatu kegiatan sebagai kurikulum. Bagi
Beauchamp, Kurikulum adalah a written
document yang masuk dalam dimensi rencana, sedangkan ahli lainnya melihat
kurikulum hanya sebagai hasil belajar. Meskipun demikian, banyak juga ahli
kurikulum lain yang mengatakan suatu kegiatan atau proses termasuk kurikulum,
seperti Frost dan Rowland (1969), Zais (1976), Egan (1978), Hunkins (1980),
Tanner and Tanner (1980), serta Schubert (1986).
Kurikulum
harus dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Jika suatu kegiatan tidak
termasuk kurikulum berarti semua kegiatan di sekolah atau di luar sekolah
(seperti program pelatihan profesi, kuliah kerja nyata, dan lain-lain) tidak
termasuk kurikulum. Dengan demikian, hasil belajar peserta didik di sekolah
maupun diluar sekolah merupakan refleksi dan realisasi dari dimensi kurikulum
sebagai rencaana tertulis. Apa yang dilakukan peserta didik dikelas juga
merupakan implementasi kurikulum. Artinya, antara kurikulum sebagai ide dengan
kurikulum sebagai kegiatan (proses) merupakan suatu rangkaian yang
berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh. Tidak ada alasan untuk mengatakan
dimensi kurikulum sebagai suatu kegiatan bukan merupakan kurikulum, karena
semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan bagian dari
kurikulum.
4.
Kurikulum Sebagai Hasil belajar
Hasil
belajar adalah kurikulum, tetapi kurikulum bukan hasil dari belajar. Pernyataan ini perlu dipahami sejak awal,
karena banyak orang tahu bahwa hasil belajar merupakan bagian dari kurikulum,
tetapi kurikulum bukan hanya hasil belajar. Banyak juga orang tidak tahu bahwa
pengertian kurikulum dapat dilihat dari dimensi hasil belajar, karena memang
tidak dirumuskan secara formal. Begitu juga ketika dilakukan evaluasi secara
formal tentang kurikulum, pada umumnya orang selalu mengaitkannya dengan hasil
belajar. Sekalipun, evaluasi kurikulum sebenar jauh lebih luas dari pada
penilaian hasil belajar. Artinya, hasil belajar bukan satu-satunya objek
evaluasi kurikulum. Meskipun demikian, hasil belajar dapat dijadikan sebagai
salah satu dimensi pengertian kurikulum. Evaluasi kurikulum ditunjukan untuk
mengetahui efektivitas dan efisiensi kurikulum, sedangkan fungsinya adalah
untuk memperbaiki, menyerpurnakan atau mengganti kurikulum dalam dimensi
sebagai rencana.
Hasil
belajar sebagai bagian dari kurikulum
terdiri atas berbagai domain, seperti
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Secara teoritis, domain
hasil belajar tersebut dapat dipisahkan, tetapi secara praktis domain tersebut
harus bersatu. Hasil belajar juga banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor,
diantaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan lingkungan.
Kurikulum sebagai hasil belajar merupakan kelanjutan dan dipengaruhi oleh
kurikulum sebagai kegiatan serta kurikulum sebagai ide. Menurut Zainal Arifin
(2009) hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu “ sebagai indikator
kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik, sebagai
lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dalam inovasi
pendidikan, sebagai indikator inter dan ekster dari suatu institusi pendidikan,
dan dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan) peserta didik”.
5.
Kurikulum Sebagai Suatu Disiplin Ilmu
Sebagai
suatu disiplin ilmu, berarti kurikulum memiliki konsep, prinsip, prosedur,
asumsi, dan teori yang dapat dianalisis dan dipelajari oleh pakar kurikulum,
peneliti kurikulum, guru atau calon guru, kepala sekolah, pengawas atau tenaga
kependidikan lainnya yang ingin mempelajari tentang kurikulum. Di Indonesia,
pada tingkat sekolah menengah pertama pernah ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG),
Sekolah Guru Atas, Pendidikan Guru Agama (PGA) dan lain-lain. Pada tingkat
Universitas ada juga program studi pengembangan kurikulum, baik dijenjang S.1
(Sarjana), S.2 (Magister), maupun S.3 (Doktor). Semua peserta didiknya wajib
mempelajari tentang kurikulum. Tujuan kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu
adalah untuk mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum.
6.
Kurikulum Sebagai Suatu Sistem
Sistem berasal dari bahasa Latin (systema) dan bahasa Yunani (sustema) adalah suatu kesatuan yang
terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran
informasi, materi atau energi untuk mencapai tujuan.
Sistem
kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan, sistem
persekolahan, dan sistem masyarakat.
Suatu sistem kurikulum di sekolah merupakan sistem tentang kurikulum apa
yang akan disusun dan bagaimana kurikulum itu dilaksanakan. Lebih jauh lagi
dapat dikatakan bahwa sistem kurikulum mencakup tahap-tahap pengembangan
kurikulum itu sendiri, mulai dari perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum,
evaluasi kurikulum, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Kurikulum sebagai
suatu sistem juga menggambarkan tentang komponen-komponen kurikulum.
Kurikulum dapat dikatakan sebagai suatu sistem, mengapa? Karena kurikulum memiliki tujuan
yang satu dan memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan satu dengan yang
lainnya seperti sistem. Sistem adalah suatu kesatuan sejumlah elemen
(objek, manusia, kegiatan, informasi, dsb) yang terkait dalam proses atau
struktur dan dianggap berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam mencapai
satu tujuan.
Jika pengertian di atas dipadukan, maka sangat mungkin
dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan suatu sistem, karena ada sejumlah
komponen dalam terbentuknya kurikulum yang saling berkaitan dan terikat, dan
memiliki tujuan yang utuh. Jika suatu sistem kurikulum dapat di analogikan
dengan organisme manusia yang memiliki susunan anatomi tubuh tertentu.
C.
KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM
1.
Komponen Kurikulum
Sebelum melaksanakan kegiatan
pengembangan kurikulum, seorang pengembang terlebih dahulu mengenal komponen
atau elemen atau unsur kurikulum. Seperti yang dikemukakan Tyler (1950 dalam
Taba, 1962 : 422) bahwa “it is important
as a part of a comprehensive theory or organization to indicate just what kinds
of elements will serve statisfactorily as organizing elements. And in a given
curriculum it is important to identify the particular element that shall be
used.” Dari pernyataan Tyler tersebut, tampak pentingnya mengenal komponen
atau elemen atau unsur kurikulum. Herrick (1950 dalam Taba, 1962 : 425)
mengemukakan 4 (empat) elemen, yakni : tujuan (objectives), mata pelajaran (subject
matter), metode dan organisasi (method
and organization), dan evaluasi (evaluation).
Sedangkan ahli yang lain mengemukakan bahwa kurikulum terdiri dari 4 (empat)
komponen dasar: (1) aims, goals, and objective, (2) content,
(3) learning activities, dan (4) evaluations (Zais, 1976 : 292). Nana Sy.
Sukmadinata (1988 : 110) mengemukakan empat komponen dari anatomi tubuh
kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau sistem
penyampaian, serta evaluasi. Berdasarkan uraian tetntang komponen-komponen
kurikulum sebelumnya, yakni komponen kurikulum yang terdiri dari: tujuan, materi/pengalaman
belajar, organisasi, dan evaluasi.
a.
Tujuan.
Tujuan sebagai sebuah komponen kurikulum merupakan
kekuatan-kekuatan fundamental yang peka sekali, karena hasil kurikulum yang
diinginkan tidak hanya sangat mempengaruhi bentuk kurikulum, tetapi memberikan
arah dan fokus untuk seluruh program pendidikan (Zais, 1976 : 297). Apa yang
diutarakan oleh Zais mengenai pentingnya tujuan adalah benar adanya, karena
tidak ada satu pun aspek-aspek pendidikan yang lain bertentangan dengan tujuan.
Dalam kenyataannya, aspek-aspek pendidikan selalu mempertanyakan tentang tujuan
kurikulum di Indonesia. Hierarki vertikal tujuan kurikulum di Indonesia, paling
tinggi adalah tujuan kurikuler, dan tujuan pengajaran. Tujuan pendidikan
nasional merupakan tujuan tertinggi yang bersumber pada falsafah bangsa
(Pancasila) dan kebutuhan masyarakat tertuang dalam GBHN dan UU-SPN. Tujuan
kelembangaan (tujuan institusional) merupakan tujuan yang menjabarkan tentang
tujuan nasional bersumber pada tujuan tiap jenjang pendidikan dalam UU-SPN,
karakteristik lembaga, dan kebutuhan masyarakat. Tujuan kurikuler atau tujuan
mata pelajaran/ bidang studi dijabarkan dari tujuan kelembagaan, bersumber pada
karakteristik mata pelajaran/ bidang studi, dan kebutuhan masyarakat. Tujuan
yang terbawah dari hierarki tujuan kurikulum di Indonesia adalah tujuan
pengajaran, yakni suatu tujuan yang menjabarkan suatu tujuan kurikuler dan
bersumber pada karakteristik mata pelajaran/bidang studi dan karakteristik
siswa.
Tujuan pengajaran terbagi menjadi dua
macam, yakni Tujuan Umum Pengajaran (TUP) dan Tujuan Khusus Pengajaran (TKP).
Apabila dikaji lebih lanjut akan kita temukan bahwa dalam perumusannya, tujuan
tersusun hierarki vertikal dari yang tertinggi ke yang terendah dan sebaliknya,
untuk pencapaiannnya secara hierarki vertikal dari tujuan terendah ke tujuan
yang lebih tinggi. Untuk memperjelas uraian, berikut merupakan sistematika
hierarki tujuan kurikulum di Indonesia.
Jenjang
Tujuan
|
Dokumen
|
Penanggung
Jawab
|
Tujuan
Pendidikan
|
UU
SPN & GBHN
|
Menteri
Dikbud
|
Tujuan
Kelembangaan
|
Kurikulum
Tiap Lembaga
|
Kepala
Sekolah
|
Tujuan
Kurikuler
|
G
B P P
|
Guru mata pelajaran/bidang studi/kelas
|
Tujuan
Pengajaran
|
GBPP
& Rancangan Pembelajaran
|
Guru mata pelajaran/bidang studi/kelas
|
Tabel 8.1 :
Sistematika Hierarki Tujuan Kurikulum di Indonesia
Hierarki
tujuan kurikulum secara vertikal di Indonesia seperti terurai sebelumnya,
tersurat sampai dengan Kurikulum yang Disempurnakan (KYD) SD/SLTP/SLTA tahun
1984/1985 atau 1985/1986. Hierarki tujuan kurikulum secara vertikal tersebut
dapat saja berkembang atau dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan zaman.
Pengembangan
hierarki kurikulum secara vertikal di Indonesia tertampak dalam draft kurikulum
tahun1994/1995. Hierarki tujuan kurikulum vertikal yang tersurat dalam draft
kurikulum 1994/1995 tersebut diawali dari tujuan pendidikan nasional, kemudian
tujuan kelembagaan, tujuan kurikuler, tujuan bidang studi, tujuan kelas, dan
tujuan catur wulan, serta tujuan pengajaran. Secara garis besar hierarki tujuan
kurikulum dalam draft kurikulum 1994/1995 tersebut, ditunjukan untuk lebih
mempertajam hierarki tujuan kurikulum. Adanya hierarki tujuan kurikulum yang
lebih tajam diharapkan dapat memudahkan guru menjabarkannya.
Dalam
kurikulum suatu sekolah telah terkandung tujuan-tujuan pendidikan yang ingin
dicapai melalui sekolah yang berangkutan. Ada dua jenis tujuan yang terkandung
dalam kurikulum.
v
Tujuan
yang ingin dicapai secara keseluruhan
Selaku
lembaga pendidikan, setiap sekolah mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan-tujuan tersebut biasanya digambarkan dalam bentuk pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang kita harapkan dimiliki murid setelah mereka menyelesaikan
seluruh program dari sekolah tersebut.
Tujuan
dari sekolah kita namakan sebagai tujuan Intitusional atau tujuan
lembaga, misalnya tujuan SD, tujuan SMP, tujuan SMA dsb. Atas dasar inilah
kemudian ditetapkan bidang-bidang studi atau bidaang pengajaran yang akan
diajarkan pada sekolah yang bersangkutan.
v
Tujuan
yang ingin dicapai bidang studi
Tujuan
ini juga digambarkan dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap yang kita
harapkan dimiliki murid setelah mereka mempelajari suatu bidang studi tertentu
dari lembaga sekolah tertentu.
b.
Materi/pengalaman belajar.
Hal
yang merupakan fungsi khusus dari kurikulum pendidikan formal adalah memilih
dan menyusun isi (komponen kedua dari kurikulum) supaya keinginan tujuan
kurikulum dapat dicapai dengan cara yang paling efektif dan supaya pengetahuan
paing penting yang diinginkan pada jalurnya dapat disajikan secara efektif
(Zais, 1976 : 322). Selain itu untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah
ditentukan diperlukan bahan ajaran (Nana Sy. Sukmadinata, 1988 :114). Namun
demikian sebenarnya tidak cukup hanya isi/bahan ajaran saja yang dipikirkan
dalam kegiatan pengembangan kurikulum, lebih dari itu adalah pengalaman belajar
yang mampu mendukung pencapaian tujuan secara lebih efektif. Hal ini berarti
kita memandang kurikulum sebagai suatu
rencana untuk belajar, dan tujuan menentukan belajar apa yang penting,
maka kurikulum secara pasti mencakup seleksi dan organisasi isi/materi dan
pengalaman belajar (Taba 1962 : 266). Isi atau materi kurikulum adalah semua
pengetahuan keterampilan, nilai-nilai, dan sikap yang terorganisasi dalam mata
pelajaran/bidang studi. Sedangkan pengalaman belajar dapat diartikan sebagai kegiatan belajar atau tentang bagaimana disiplin berpikir dalam suatu
disipli ilmu. Dengan demikian jelaslah bahwa baik materi/isi kurikulum dan
pengalaman belajar dapat kita lihat pada pernyataan Taba (1962 : 263) berikut
ini : “selecting the content, with
accompanying learning experiences, is one of the two central decision in
curriculum making, and therefore rational method of going about it is a matter
of great content.”
c.
Organisasi.
Perbedaan
antara belajar disekolah dan belajar dalam kehidupan adalah dalam hal
pengorganisasian secara formal di sekolah. Jika kurikulum merupakan suatu
rencana untuk belajar maka isi dan pengalaman belajar membutuhkan
pengorganisasian sedemikian rupa sehingga berguna bagi tujuan-tujuan pendidikan (Taba, 1962 :
290). Berdasarkan pendapat Taba tersebut, jelas bahwa materi dan pengalaman
belajar dalam kurikulum diorganisasikan bahwa untuk mengefektifkan pencapaian
tujuan. Namun demikian, perlu kita sadari bahwa pengorganisasian kurikulum
merupakan kegiatan yang sulit dan kompleks. Sukar dan kompleksnya
pengorganisasian kurikulu dikarenakan kegiatan tersebut bertalian dengan
aplikasi semua pengethauan yang ada tentang pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik, dan maslaah proses pembelajaran (Sumantri, 1988 : 23).
Masalah-masalah utama organisasi kurikulum berkisar pada ruang lingkup (scope), sekuensi, kontinuitas, dan
integrasi.
d.
Evaluasi.
Evaluasi merupakan komponen keempat kurikulum,
mungkin merupakan aspek kegiatan pendidikan yang dipandang paling kecil (Zais,
1976 : 369). Evaluasi ditunjukan untuk melakukan terevaluasi terhadap belajar
siswa (hasil dan proses belajar siswa) maupun keefektifan kurikulum dan
pembelajaran. Lebih lanjut Zais (1976 : 378) mengemukakan evaluasi kurikulum
secara luas merupakan suatu isaha sangat besar yang kompleks yang menantang
untuk mengkodifikasi dari proses salah satu dari istilah sekuensi atau
komponen-komponen. Evaluasi kurikulum secara luas tidak hanya menulis dokumen yang
tertulis, tetapi yang lebih penting adalah komponen kurikulum yang diterapkan
sebagai bahan-bahan fungsional dari kejadian-kejadian yang meliputi interaksi
siswa, guru, dan material. Adapun peran evaluasi dalam kurikulum secara
keseluruhan, baik evaluasi belajar siswa, maupun keefektifan kurikulum dan
pembelajaran, dapat digunakan sebagai landasan pembangunan kurikulum. Dari
uraian tentang evaluasi ini, jelaslah bahwa evaluasi bukanlah komponen atau
kegiatan pendidikan yang kecil sebagai komponen kegiatan kurikulum evaluasi
merupakan bagian integral dari kurikulum. Kehiatan evaluasi akan memberikan
informasi dan data tentang perkembangan siswa maupun keefektifan kurikulum dan
pembelajaran, sehingga dapat dibuat keputusan-keputusan pembelajaran dan pendidikan
secara tepat.
Demikianlah
uraian tentang empat komponen kurikulum yang saling terkait satu dengan yang
lain, guru terlibat dan berperan dalam menyelaraskan empat komponen kurikulum
tersebut. Keselarasan antara empat komponen tersebut akan dapat dihasilkan
melalui pengembangan kurikulum yang memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum.
2.
Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Ada berbagai prinsip pengembangan
kurikulum yang merupakan kaidah yang menjiwai kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum
dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang di dalam kehidupan
sehari-hari atau menciptakan prinsip-prinsip baru. Sebab itu, selalu mungkin
terjadi suatu kurikulum menggunakan prinsip-prinsip berbeda dengan yang
digunakan kurikulum lain (Depdikbud, 1982 : 27). Berbagai prinsip pengembangan
kurikulum tersebut antaranya: prinsip berorientasi pada tujuan, prinsip
relevansi, prinsip efisiensi, prinsip efektivitas, prinsip fleksibiltas,
prinsip integritas, prinsip kontinuitas, prinsip sinkronisasi, prinsip
objektivitas, prinsip demokrasi, prinsip praktis (Depdikbud, 1982 : 27-28; Nana
Sy. Sukmadinata, 1988 : 167-168). Dari berbagai prinsip pengembangan kurikulum
tersebut, tia diantaranya yakni prinsip relevansi, prinsip kontinuitas, dan prinsip
fleksibilitas akan diuraikan berikut ini.
a.
Prinsip Relevansi.
Apabila
pengembang kurikulum melaksanakan pengembangan kurikulum dengan memilih
jabaran. Komponen-komponen agak sesuai (relevan) dengan berbagai tuntutan, maka
pada saat itu ia sedang menerapkan prinsip relevansi pengembangan kurikulum.
Relevansi berarti sesuai antara komponen, tujuan, isi/pengalaman belajar.
Organisasi dan evaluasi kurikulum dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat
baik dalam pemenuhan tenaga kerja maupun warga masyarakat yang di idealkan Nana
Sy. Sukmadinata (1988 : 167-168). Membedakan relevansi menjadi dua macam, yakni
relevansi keluar maksudnya tujuan, isi dan proses belajar yang tercakup dalam
kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat.
Sedangkan relevansi ke dalam yaitu terjadi relevansi di antara
komponen-komponen kurikulum, tujuan, isi, proses penyampaian dan evaluasi.
b.
Prinsip Kontinuitas.
Komponen
kurikulum yakni tujuan, isi atau pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi
dikembangkan secara bersinambungan. Prinsip kontinuitas atau berkesinambungan
hendaki pengembangan kurikulum yang berkesinambungan secara vertikal dan
berkesinambungan secara horizontal. Berkesinambungan secara vertikal (bertahap
atau berjenjang) dalam artian jenjang pendidikan yang satu dengan yang lebih
tinggi dikembangkan kurikulumnya secara berkesinambungan tanpa ada jarak
diantara keduanya, dari tujuan pembelajaran sampai ke tujuan pendidikan
nasional juga berkesinambungan, demikian pula komponen yang lain.
Berkesinambungan secara vertikal menuntut adanya kerja sama antara pengembangan
kurikulum jenjang pendidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, dan jenjang
pendidikan tinggi (Nana Sy. Sukmadinata, 1988 : 168). Sedangkan
berkesinambungan horizontal (berkelanjutan) dapat diartikan pengembangan
kurikulum jenjang pendidikan dan tingkat atau kelas yang sama tidak
terputus-putus dan merupakan pengembangan yang terpadu.
c.
Prinsip Fleksibilitas.
Para
pengembang kurikulum harus menyadari bahwa kurikulum harus mampu disesuaikan
dengan situasi dan kondisi setempat dan waktu yang selalu berkembang tanpa
merombak tujuan pendidikan yang harus dicapai (Depdikbud, 1982 : 27). Selain
itu, perlu disadari juga bahwa kurikulum dimaksudkan untuk mempersiapkan anak untuk
kehidupan sekarang yang akan datang, disini dan ditempat lain, bagi anak yang
memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda (Nana Sy. Sukmadinata, 1988
: 168). Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa prinsip fleksibilitas menuntut
adanya keluwesan dalam mengembangkan kurikulum tanpa mengorbankan tujuan yang
hendak dicapai. Namun demikian, keluwesan jangan diartikan bahwa kurikulum
dapat diubah kapan saja keluwesan harus diterjemahkan sebagai kelenturan
melakukan penyesuaian-penyesuaian kurikulum dengan setiap situasi dan kondisi
yang selalu berubah.
Apabila
kita mengkaji komponen-komponen kurikulum dan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum keduanya saling terkait satu sama lain. Pengembangan kurikulum dengan
sendirinya berkenaan dengan komponen-komponen kurikulum dan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum sekaligus. Penguasaan tentang komponen-komponen
kurikulum dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dipersyaratkan bagi setiap
pengembang kurikulum.
Adapun
komponen-komponen kurikulum pada prinsipnya terdiri dari empat macam komponen
yaitu; tujuan, materi, metode dan evaluasi.
a.
Komponen Tujuan
Komponen
tujuan adalah komponen kurikulum yang menjadi target atau salah satu sasaran
yang harus dicapai dari melaksanakan suatu kurikulum. Kompenen ini sangat
penting karena melalui tujuan, melaui proses dan evaluasi dapat dikendalikan
untuk mencapai tujuan kurikulum dimaksud. Tujuan kurikulum dapat
dispesifikasikan kedalam tujuan pembelajaran umum yaitu berupa tujuan yang
dicapai untuk satu semester, atau tujuan pembelajaran khusus yang menjadi
terget pada setiapkali tatap muka. Dalam konteks kurikulum berbasis kompetensi
tujuan pembelajaran umum disebut dengan istilah standar kompetensi. Sedangkan
untuk tujuan pembelajaran pembelajaran khusus digunakan istilah kompetensi
dasar. Pencapaian komponen tujuan kurikulum akan menjadi sangat penting karena
pencapaian komponen tujuan ini berakibat langsung terhadap pencapaian
tujuan-tujuan pendidikan selanjutnya.
b.
Komponen Materi
Komponen
materi adalah komponen yang didesain untuk mencapai komponen tujuan. Yang
dimaksud dengan komponen materi adalah bahan-bahan kajian yang terdiri dari
ilmu pengetahuan, nilai, pengalaman dan keterampilan yang dikembangkan ke dalam
proses pembelajaran dengan mencapai komponen tujuan komponen materi harus
dikembangkan untuk mencapai komponen tujuan, oleh karena itu komponen tujuan
dengan komponen materi atau dengan komponen-komponen lainnya haruslah dilihat
dari sudut hubungan yang fungsional. Huungan fungsional dalam konteks ini adalah
hubungan yang didasarkan atas fungsi masing-masing komponen kurikulum, sehingga
jika salah satu komponen tidak berfungsi maka dengan sendirinya mengakibatkan
komponen yang lain menjadi tidak berfungsi. Karena itu komponen materi (isi)
harus benar-benar dilihat kesesuainnya dengan pencapaian tujuan kurikulum.
c.
Komponen Metode
Komponen
metode dapat dibagi ke dalam dua bagian yang dikenal dengan komponen metode
dalam pengertian luas dan komponen metode dalam pengertian sempit. Komponen
metode dalam pengertian luas berarti metode tidak hanya sekedar metode
mengajar, seperti metode ceramah, tanya jawab dan sebagainya. Dalam pengertian
seperti ini metode diartikan dalam arti sempit, yaitu berupa penggunaan salah
satu cara dalam mengajar atau belajar. Sedangkan metode dalam arti luas
dipersoalkan misalkan mengenai bagaimana membangun nilai, pengetahuan,
pengalaman dan keterampilan pada diri anak. Dari pengertian luas seperti ini
komponen metode kurikulum dapat mencakup persoalan-persoalan yang integral dari
berbagai persoalan seperti cara penyampaian guru, cara memimpin sekolah, cara
karyawan bekerja dan cara-cara lain yang saling terkait yang dilakukan oleh SDM
sekolah atau oleh penguasa yang semuanya berpengaruh terhadap pembangunan
nilai-nilai dari semua materi pelajaran yang dianjurkan guru kepada siswa.
Komponen
metode dikatakan juga komponen proses karena metode berada pada proses.
Komponen ini tidak kalah pentingnya dengan komponen lain, karena komponen
metode akan menjawab bagaimana proses kurikulum yang ditempuh dapat
mentransformasikan berbagai macam nilai ke dalam diri anak. Yang jelas bahwa
komponen metode harus terjamin mutunya karena dari proses yang baik akan
menghasilkan sesuatu yang baik. Untuk membuat siswa bermutu jelas tidak bisa
dilakukan dengan mudah seperti semudah membalik telapak tangan. Untuk membuat
siswa bermutu jelaslah membutuhkan waktu, media dan proses yang bermutu pula.
d.
Komponen Evaluasi
Komponen
evaluasi adalah komponen kurikulum yang dapat diperbandingkan seperti halnya
penjaga gawang dalam permainan sepak bola. Komponen evaluasi harus benar-benar
difungsikan karena perannya seperti goal keeper jika dalam permainan sepak bola
penjaga gawang tidak berfungsi, maka tendangan yang mengarah ke gawang dengan
sendirinya menghasilkan goal, akibatnya pemain-pemain yang lain dari
kesebelasan itu menjadi lemah daya tempurnya (impotens). Jika dihubungkan dengan evaluasi maka fungsi evaluasi
itu sendiri adalah untuk mengukur berhasil atau tidaknya pelaksanaan kurikulum.
Memfungsikan evaluasi berarti melakukan seleksi terhadap siapa yang berhak
untuk diluluskan dan siapa yang belum berhak di luluskan. Mengingat bahwa
kegiatan pembelajaran adalah kegiatan yang sudah di desain dan dilaksanakan
untuk mencapai target tertentu, maka evaluasi harus didasarkan atas pencapaian
target kurikulum. Karena itu siswa yang dapat mencapai targetlah yang berhak
untuk diluluskan, sedangkan siswa yang tidak mencapai target (perilaku yang
diharapkan) tidak berhak untuk diluluskan.
Dilihat dari fungsi dan urgensi evaluasi demikian, kita melihat
kenyataannya dunia pendidikan kita telah melakukan pelanggaran terhadap komponen kurikulum yang sangat bersifat
prinsip. Dari sudut komponen evaluasi misalnya, berapa banyak guru yang
mengajarkan suatu mata pelajaran yang sesuia dengan latar belakang pendidikan
guru dan ditunjang pula oleh media dan sarana belajar yang memadai serta murid
yang normal justru meluluhkan siswa sementara siswa sendiri belum menguasai
prilaku yang diharapkan dari komponen tujuan kurikulum. Keadaan sperti ini
dalam bahasa agama disebutkan bahwa pendidikan kita telah diselimuti oleh
kedzaliman-kedzaliaman atau penghianatan-penghianatan oleh pihak-pihak tertentu
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan. Hal nini lambat laun akan membuat
praktek-praktek pendidikan yang tidak benar sekarang melahirkan manusia-manusia
yang fasik dan dzalim. Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hal ini
jelas membuat “negara dalam bahaya” karena tidak didinding oleh SDM yang
bermoral dan akademik.
Sementara Soemanto (1982) mengemukakan ada 4 komponen
kurikulum, yaitu:
1.
Objective
(tujuan)
2.
Knowledges
(isi atau materi)
3.
School
learning experiences (interaksi belajar mengajar di sekolah) dan
4.
Evaluation
(penilaian). Pendapat tersebut diikuti oleh Nasution (1988), Fuaduddin dan
Karya (1992), serta Nana Sudjana (1991: 21). Walaupun istilah komponen yang
dikemukakan berbeda, namun pada intinya sama yakni:
·
Tujuan
·
Isi
dan struktur kurikulum
·
Strategi
pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar), dan
·
Evaluasi
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Komponen adalah bagian yang integral dan fungsional
yang tidak dapat dipisahkan dari suatu sistem kurikulum karena komponen itu
sendiri mempunyai peranan dalam pembentukan sistem kurikulum. Kurikulum mempunyai beberapa dimensi yaitu kurikulum
sebagai suatau ide, rencana tertulis, hasil dari belajar, kegiatan dan sebagai
disiplin ilmu dan sebagai suatu sistem. Komponen kurikulum memiliki beberapa
komponen yaitu diantaranya tujuan, materi atau pengalaman belajar, organisasi
dan evaluasi.
Kurikulum dapat
dikatakan sebagai suatu sistem,
mengapa? Karena kurikulum memiliki tujuan yang satu dan memiliki
komponen-komponen yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya seperti
sistem. Sistem adalah suatu kesatuan sejumlah elemen (objek, manusia,
kegiatan, informasi, dsb) yang terkait dalam proses atau struktur dan dianggap
berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam mencapai satu tujuan.
Jika pengertian di atas dipadukan, maka sangat mungkin
dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan suatu sistem, karena ada sejumlah
komponen dalam terbentuknya kurikulum yang saling berkaitan dan terikat, dan
memiliki tujuan yang utuh. Jika suatu sistem kurikulum dapat di analogikan
dengan organisme manusia yang memiliki susunan anatomi tubuh tertentu.
B.
SARAN
Pembuatan
makalah ini untuk menambahkan wawasan tentang komponen-komponen kurikulum.
Penulisan makalah ini di buat hanya agar dapat menjadi wawasan sekilas dan
tambahan tentang komponen-komponen kurikulum. Penulis berharap makalah ini
dapat menjadi pengetahuan bagi para pembaca dalam memahami kurikulum yang
dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin Zainal,(2011), Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum,
Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Dimyati,
Mudjiono, (2010), Belajar dan
Pembelajaran, Jakarta : PT Rineka
Cipta
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
BalasHapus-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!