MAKALAH PERUBAHAN BUDAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan
selalu melanda semua bangsa dan negara di dunia demikian pula tidak terkecuali
melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas permasalahan dan tingkat
permasalahan itu berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan
Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di
masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini bisa dikatakan lebih
tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negera maju lainnya.
Bagaimanapun masalah yang dihadapi, masyarakat dan
kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kondisi
kehilangan kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap
tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun
pergantian generasi.
Ada sejumlah
kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat
Indonesia. Secara umum ada dua kekuatan yang menyebabkan
timbulnya
perubahan
sosial, hal yang pertama adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri
(internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan
rekayasa setempat. Hal kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external
factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara
langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta
perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan
sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka
Seberapa cepat atau lambatnya
perkembangan sosial budaya yang melanda, dan faktor apapun penyebabnya, setiap
perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap
masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra
itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi
sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.
Ada
dua orang antroplog terkemuka yaitu Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa Cultural Determinims berarti segala sesuatu yang
terdapat didalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu.[1]
1.2 Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
latar belakang makalah, kebudayaan diatas bahwasanya didalam kebudayaan
terdapat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia yaitu
Cultural Lag, Cultural Survival, Cultural Conflik dan Cultural Shock serta pengaruhnya
terhadap kehidupan manusia Indonesia.
1.3 Rumusan Masalah
a. Apa
saja yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa kebudayaan?
b. Faktor-faktor
apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa kebudayaan ?
c. Bagaimana
cara kita sebagai manusia dalam menyikapi masalah terkait peristiwa-peristiwa
kebudayaan?
1.4 Tujuan
Pembuatan Makalah
a. Untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Antropologi.
b. Mendeskripsikan
perkembangan kebudayaan di Indonesia.
c. Mendeskripsikan
peristiwa-peritiwa kebudayaan yang terjadi dikehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan
Kebudayaan Indonesia
Berbicara tentang kebudayaan Indonesia
yang ada dibayangan kita adalah sebuah budaya yang sangat
beraneka ragam. Bagaimana tidak, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar
di dunia, hal inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki kebudayaan yang
beraneka ragam.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi
tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu
masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada
anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan
melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam
bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang
dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai
suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan
anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang
berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya
sama.
Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
bangsa merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia. Indonesia
sendiri sebagai Negara kepulauan dikenal dengan keberagaman budayanya, yang
mana keanekaragaman itulah menunjukkan betapa pentingnya aspek kebudayaan bagi
suatu Negara. Karena jelas bahwa kebudayaan
adalah suatu identitas dan jati diri bagi suatu bangsa dan Negara.
Kebudayaan
Indonesia bukanlah suatu yang padu dan bulat, tetapi adalah suatu yang terjadi
dari berbagai unsur-unsur suku bangsa. Di daerah Indonesia yang sangat luas
terdapat bermacam macam kebudayaan, yang satu berbeda dari yang lain disebabkan
oleh perjalanan yang berbeda.
Sebagaimana
diketahui, bahwa unsur sejarah yang menentukan perkembangan kebudayaan
Indonesia itu terbagi menjadi lima lapisan yaitu, (1) kebudayaan Indonesia
asli, (2) Kebudayaan India, (3) Kebudayaan Islam, (4) Kebudayaan Modern, (5)
Kebudayaan Bhineka Tunggal Ika.[2]
2.2 Teori-teori Perubahan Sosial
Para ahli filsafat, sejarah, ekonomi,
dan sosiologi telah mencoba untuk merumuskan prinsip-prinsip atau hukum-hukum
perubahan-perubahan sosial. Banyak yang berpendapat bahwa kecenderungan
terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan segaja wajar yang timbul dari
pergaulan hidup manusia.
Pitirim A. Sorokin berpendapat bahwa
segenap usaha untuk mengemukakan adanya suatu kecenderungan yang tertentu dan
tetap dalam perubahan-perubahan sosial tidak akan berhasil baik. Dia meragukan
kebenaran akan adanya lingkaran-lingkaran perubahan sosial tersebut. Akan
tetapi, perubahan-perubahan tetap ada yang paling penting adalah lingkaran
terjadinya gejala-gejala sosial harus dipelajari karena dengan adanya jalan
tersebut barulah akan dapat diperoleh suatu generalisasi.[3]
2.3
Hubungan
antara Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan
Kingsley Davis berpendapat bahwa
perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan.[4]
Perubahan dalam kebudayaan mencangkup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam
bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Sebagai contoh dikemukakannya
perubahan pada logat bahasa Aria setelah terpisah dari induknya. Akan tetapi,
perubahan tersebut tidak memengaruhi organisasi sosial masyarakatnya.
Perubahan-perubahan tersebut lebih merupakan perubahan kebudayaan ketimbang
perubahan sosial.
Perubahan sosial dan perubahan budaya
sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari, acap kali tidak mudah untuk
menetukan garis pemisah antara perubahan sosial dan kebudayaan. Hal itu
disebabkan tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan sebaliknya
tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu masyarakat. Hal
itu mengakibatkan bahwa garis pemisah di dalam kenyataan hidup antara perubahan
sosial dan kebudayaan lebih sukar lagi untuk ditegaskan. Biasanya antara kedua
gejala itu dapat ditemukan hubungan timbale balik sebagai sebab dan akibat.
2.4 Beberapa Bentuk Perubahan Sosial
dan Kebudayaan
Perubahan sosial dan kebudayaan dapat
dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Perubahan
Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan-perubahan yang memerlukan
waktu lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan
lambat dinamakan dengan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan
sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi
karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru, yang timbul
sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut
tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah
masyarakat yang bersangkutan.[5]
Sementara
itu, perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat
dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dalam kehidupan masyarakat
(yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan “revolusi”. Misalnya
revolusi industri di Inggris, dimana perubahan-perubahan terjadi dari tahap
produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi mengggunakan mesin.
2. Perubahan
Kecil dan Perubahan Besar
Agak sulit untuk merumuskan
masing-masing pengertian tersebut di atas karena batas-batas pembedaannya
sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan
kecil merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada unsure-unsur struktur
sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.[6]
Kepadatan
penduduk di pulai Jawa, misalnya, telah melahirkan berbagai perubahan dengan
pengaruh yang besar. Areal tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit;
pengangguran tersamar kian tampak di desa-desa. Mereka tidak mempunyai tanah
menjadi buruh tani dan banyak wanita serta anak-anak yang menjadi “buruh”
potong padi pada waktu panen. Sejalan dengan itu, terjadi pula proses
individualisasi milik tanah. Hak-hak ulayat desa semakin luntur karena areal
tanah tidak seimbang dengan kepadatan penduduk.
Timbullah
bermacam-macam lembaga hubungan kerja, lembaga gadai tanah, lembaga bagi hasil
dan seterusnya, yang pada pokoknya bertujuan untuk mengambil manfaat yang
sebesar mungkin dari sebidang tanah yang tidak begitu luas. Warga masyarakat
hanya hidup sedikit di atas standar minimal. Keadaan atas sistem sosial yang
demikian oleh Clifford Geertz disebut shared poverty.[7]
2.5
Perubahan
yang Dikehendaki (Intended-Change) atau Perubahan yang Direncanakan (Planned-Change)
dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki (Unintended-Change) atau Perubahan yang
Tidak Direncanakan (Unplanned-Change)
Perubahan yang dikehendaki atau
direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang lebih direncanakan
terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam
masyarakat.[8]
Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di bawah
pengendalian serta pengawasan agent of
change tersebut.[9]
Cara-cara memengaruhi masyarakat dengan sistem yang terartur dan direncanakan
terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (social
engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (social planning).[10]
Perubahan sosial yang tidak dikehendaki
atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa
dikehendaki, berlangsung d luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat
menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.
Mungkin suatu perubahan yang tidak dikehendaki sangat diharapkan dan diterima
oleh masyarakat. Bahkan para agent of
change yang merencanakan perubahan-perubahan yang dikehendaki telah
diperhitungkan terjadinya perubahan-perubahan yang tidak terduga (dikehendaki)
di bidang-bidang lain. Pada umumnya sulit untuk mengadakan ramalan tentang
terjadinya perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki. Karena proses tersebut
biasanya tidak hanya merupakan akibat dari suatu gejala sosial saja, tetapi
dari berbagai gejala sosial sekaligus.
2.6
Faktor-faktor
yang Menyebabkan Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
mungkin ada sumber sebab-sebab tersebut yang terletak di dalam masyarakat itu
sendiri dan ada yang letaknya di luar.[11]
Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai
berikut.
1. Bertambah
atau Berkurangnya Penduduk
Berkurangnya penduduk mungkin
disebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari daerah ke daerah
lain (misalnya transmigrasi). Perpindahan penduduk menimbukan kekosongan,
misalnya dalam bidang pembagian kerja dan stratifiksi sosial, yang memengaruhi
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Perpindahan penduduk telah berlangsung
berates-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal itu sejajar dengan bertambah
banyaknya manusia penduduk bumi ini. Pada masyarakat-masyarakat yang mata
pencaharian utamanya berburu, perpindahan sering kali dilakukan, yang
tergantung dari persediaan hewan-hewan buruannya. Apabila hewan-hewan tersebut
habis, mereka akan berpindah ke tempat-tempat lainnya seperti manusia purba.
2. Penemuan-penemuan
Baru
Suatu proses sosial dan kebudayaan
yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak teralu lama
disebut dengan inovasi atau innovation.[12]
Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat
dibedakan dalam pengertian-pengertian discovery
dan invention. Discovery adalah penemuan unsur kebudayan yang baru, baik berupa
alat, ataupun yang berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau
serangkaian ciptaan para individu.
Misalnya
penemuan mobil, kereta api, dan jalan kereta api, telepon, dan sebagainya
menyebabkan tumbuhnya lebih banyak pusat kehidupan di daerah pinggiran kota
yang dinamakan suburb.
Proses penerimaan perubahan berbagai
faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu unsur kebudayaan baru
diantaranya:
a. Terbiasanya
masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan
orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.
b. Jika
pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan
oleh nilai agama, dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang
ada, maka penerimaan unsur baru itu mengalami kelambatan dan harus disensor
dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan ajaran agama yang berlaku.
c. Corak
struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan
baru. Misalnya, sistem otoriter akan sukar menerima unsur kebudayaan baru.
d. Suatu
unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang
baru tersebut.
e. Apabila
unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan
mudah dibuktikan kegunaannnya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
3. Pertentangan
(Conflict) Masyarakat
Umumnya masyarakat tradisional di
Indonesia bersifat kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingn
masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui, tetapi mempunyai fungsi
sosial. Tidak jarang timbul pertentangan atara kepentingan individu dengan
kepentingan kelompoknya, yang dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan
perubahan-perubahan.
Contoh:
Perubahan yang disebabkan Konflik
Pada
masyarakat Batak dengan sistem kekeluargaan patrilineal murni,[13]
terdapat adat istiadat bahwa apabila suami meninggal, keturunannya berada di
bawah kekuasaan keluarga almarhum. Dengan terjadinya proses individualisasi
terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi penyimpangan.
Anak-anak tetap tinggal pada ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan
keluarga almarhum suaminya telah putus karena meninggalnya suami. Keadaan
tersebut membawa perubahan besar pada peranan keluarga batih dan juga pada
kedudukan wanita, yang selama ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila
dibandingkan dengan laki-laki.[14]
4. Terjadinya
Pemberontakan atau Revolusi
Revolusi yang meletus pada Oktober
1917 di Rusia telah menyulut terjadinya perubahan-perubahan besar pada Negara
Rusia yang mula-mula mempunyai bentuk kerajaan absolute berubah menjadi
dictator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Segenap lembaga
kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai keluarga batih, mengalami
perubahan-perubahan yang mendasar.
Suatu perubahan sosial dan kebudayan
dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu
sendiri, antara lain sebagai berikut.
a. Sebab-sebab
yang Berasal dari Lingkungan Alam Fisik yang Ada di Sekitar Manusia
b. Peperangan
c. Pengaruh
Kebudayaan Masyarakat Lain
2.7
Proses-proses
Perubahan Sosial dan Kebudayaan
1. Penyesuaian
Masyarakat Terhadap Perubahan Antarbudaya
Masyarakat
dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat
dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan
masyarakat yang lainnya. Terjadinya perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
beberapa hal:
a. Sebab-sebab
yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan jumlah
dan komposisi penduduk.
b. Sebab-sebab
perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang
hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan
kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
Perubahan
sosial dan perubahan kebudayaan berbeda. Dalam perubahan sosial terjadi
perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain sistem
status, hubungan-hubungan di dalam keluarga sistem politik, dan kekuasaan,
serta persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan ialah
perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga
atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain aturan-aturan,
norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan, juga teknologi,
selera, rasa keindahan (kesenian), dan bahasa. Walaupun perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua perubahan itu tak akan
mencapai suatu pengertian yang benar tanpa mengaitkan keduanya.
Keserasian
atau harmoni dalam masyarakat (social
equilibrium) merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat.
Dengan keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling
mengisi.[15]
Dalam keadaan demikian, individu secara spikologis merasakan akan adanya
ketentraman, karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma dan
nilai-nilai.
Ada
kalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan secara bersamaan
mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh juga pada
warga masyarakat. Apabila ketidakserasian dapat dipulihkan kembali setelah
terjadi suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan penyesuaian (adjustment). Bila sebaliknya terjadi
maka dinamakan ketidakpenyusuaian social (maladjustment)
yang mungkin mengakibatkan terjadinya anomie.
Suatu perbedaan dapat diadakan antara
penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan penyesuaian dari individu
yang ada dalam masyarakat tersebut.[16]
Yang
pertama menunjuk pada keadaan, dimana masyarakat berhasil menyesuaikan
lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial
dan kebudayaan. Sedangkan yang kedua menunjuk pada usaha-usaha individu untuk
menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telh diubah atau diganti
agar terhindar dari disorganisasi psikologis.
2.8
Saluran-saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Saluran-saluran perubahan social dan
kebudayaan (avenue or channel of change) merupakan
saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya
saluran-saluran tersebut adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam bidang
pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi, dan seterusnya. Lembaga
kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu
waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat cenderung untuk menjadi
saluran utama perubahan social dan kebudayaan.
2.9
Peristiwa-peristiwa
Perubahan Kebudayaan
1. Ketidakserasian
Perubahan-perubahan dan Ketertinggalan Budaya (Cultural lag)[17]
Cultural lag adalah perbedaan antara
taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan masyarakat. Pada masyarakat
yang sedang mengalami perubahan, tidak selalu perubahan-perubahan pada
unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan mengalami kelainan yang seimbang. Ada
unsur-unsur yang dengan cepat berubah. Akan tetapi ada pula unsur-unsur yang
sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan kebendaan lebih berubah
daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Misalnya, suatu suatu perubahan dalam
cara bertani, tidak begitu berpengaruh terhadap tari-tarian tradisional. Akan
tetapi sistem pendidikan anak-anak mempunyai hubungan yang erat dengan
dipekerjakannya tenaga-tenaga wanita pada industri. Apabila dalam hal ini
terjadi ketidakserasian, maka kemungkinan akan terjadi kegoyahan dalam hubungan
antara unsur-unsur tersebut diatas, sehingga keserasian masyarakat terganggu.
Suatu
teori yang terkenal didalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat
adalah teori ketertinggalan budaya (cultural lag) dari William F. Ogburn.[18]:
Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu
sama cepatnya dalam keseluruhannya seperti diuraikan sebelumnya, akan tetapi
ada bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat, dinamakan cultural lag (artinya ketertinggalan
kebudayaan). Juga suatu ketertinggalan (lag)
terjadi apabila laju perubahan dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan
(mungkin juga lebih) yang mempunyai korelasi, tidak sebanding, sehingga unsur
yang satu tertinggal oleh unsur lainnya. Perubahan itu bisa berupa discovery (penemuan), invention (ciptaan baru), dan diffusion (difusi, peleburan dari
ciptaan lama dengan baru).
Suatu contoh dapat dikemukakan
mengenai tenaga listrik antara tahun 1963-1966 di Jakarta, dibandingkan dengan
kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya. Keadaan listrik di kota
Jakarta sangat dibawah norma-norma persyaratan listrik bagi kota-kota besar,
dan dari hal itu dapat dapat pula dinilai norma-norma kesejahteraan masyarakat
Jakarta ini. Listrik di Jakarta hanya lebih melayani 100.000 langganan atau
500.000 penduduk, yang berarti lebih kurang hanya 13% dari seluruh penduduk
Jakarta, atau satu dianta delapan keluarga. Keadaan perlistrikan yang
sebenarnya di Jakarta adalah sebagai berikut:[19]
Tahun
jumlah jumlah Beban
Beban Jatah
penduduk langganan terpasang (Kw) puncak
yg dicapai watt
1963 3.200.000 90.000 74.000 45.000 23
1966 3.800.000 100.000 82.000 60.000 22
Adanya cultural lag disini adalah
karena tidak sesuainya penyediaan dengan pemakaian tenaga listrik dan juga
karena terlalu cepatnya perkembangan penduduk Jakarta, apabila dibandingkan
dengan kecepatan pertumbuhan penyediaan listrik. Keadaan tersebut mengakibatkan
terjadinya ketidakwajaran, misalnya pencurian listrik yang menyebabkan para
knsumen yang benar-benar berlangganan dirugikan.
Pengertian
ketertinggalan dapat digunakan paling sedikit dalam dua arti,[20]
petama sebagai jangka waktu antara terjadi dan diterimanya penemuan baru.
Ketertinggalan yang
mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dengan perkembangan teknologi yang
sangat pesat. Hal ini dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang
berkembang seperti indonesia ini.
Suatu contoh nyata adalah
penggunaan Komputer yang merupakan salah satu hasil perkembangan teknologi di
negara-negara maju. Penggunaan alat tersebut harus disertai oleh
peralatan-peralatan khusus seperti untuk memperbaikinya apabila rusak. Aliran
listrik harus mempunya ketegangan tertentu, konstan dan seterusnya. Ini belum
semuanya tersedia, misalnya aliran listrik yang konstan. Hal itu dapat
memacetkan computer atau kalau rusak untuk memperbaikinya belum tentu tersedia
alat dan ahli yang cukup.
Tidak
mudah memang untuk mengatasi persoalan demikian, paling tidak alam pikiran
manusia harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran
tradisional kea lam pikiran yang modern. Alam pikiran modern ditandai oleh
beberapa hal, misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta
terbuka pula bagi perubahan dan pembaharuan. Tekanan dalam hal ini bukanlah
terletak pada keahlian dan kemampuan jasmaniah belaka, tetapi pada suatu jiwa
yang terbuka. Alam pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya
saja yang langsung, akan tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar
itu. Yaitu berpikir dengan luas. Di sini pendidikan memperoleh posisi
menentukan; semakin terdidik seseorang semakin terbuka dan semakin luar daya
pikirnya. Dia harus menyadari bahwa ada pendapat-pendapat lain dan sikap-sikap
lain yang mengelilingi dirinya. Kondisi lain yang juga harus diperhatikan
adalah bahwa alam pikiran modern lebih berorintasi pada keadaan sekarang serta
keadaan-keadaan mendatang daripada terhadap keadan-keadaan yang telah lau; dan
sehubungan dengan itu dia harus mengadakan perencanaan (planning) untuk hari kedepannya.
Kiranya
seseorang dengan alam pikiran modern yakin bahwa manusia dapat belajar untuk
memanfaatkan dan menguasai alam sekelilingnya, daripada bersikap pasrah atau
pasif. Seorang juga yakin bahwa keadaan-keadaan dapat diperhitungkan, artinya
bahwa orang-orang lain serta lembaga-lembaga lain dapat diandalkan dalam
memenuhi kewajiban-kewajiban dan tanggung jawabnya. Dia tidak setuju pada
pendapat bahwa segala sesuatu dapat ditentukan oleh nasib atau oleh watak dan
sifat-sifat yang khusus dari orang-orang tertentu. Sehubungan dengan itu timbul
kesadaran akan harga diri orang-orang lain, sehingga dia menaruh keseganan
terhadap mereka. Kemudian, dia lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan
teknologi walaupun dengan cara-cara sederhana sekalipun. Hal itu menimbulkan
keyakinan kepadanya bahwa penghargaan sebagai balas jasa, diberikan kepada
mereka yang betul-betul telah berjasa dan tidak atas dasar kekayaan atau
kekuasaan yang dimilikinya. Itu semuanya terutama dapat dicapai dengan
pendidikan supaya orang dapat berpikir secara ilmiah. Cara berpikir secara
ilmiah herus melembaga dalam diri manusia, terutama pada masyarakat-masyarakat
yang sedang berkembang, agar terhindar dari terjadinya ketertinggalan budaya.[21]
2. Cultural
Shock (guncangan kebudayaan)
Istilah
ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa
yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan
ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam
penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan
karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang
pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik.
Misalnya, adalah peristiwa kebudayaan dimana masyarakat
melakukan perpindahan dari Negara satu ke Negara lain. Tetapi terjadi perbedaan
budaya yang jauh antar Negara tadi dan membuat masyarakat bingung untuk
berdaptasi. Keadaan ini lebih dipengaruhi dengan perbedaan mendapat beasiswa di
Perancis. Tetapi di Perancis, mereka lebih suka menggunakan Bahasa Ibu mereka.
Keadaan ini jelas akan membuat keadaan orang Indonesia mengalami Cultural Shock
dimana dia akan kebigungan dengan bahasa yang tidak biasa dia dengar selama ini
dan seperti yang kita ketahui, bahwa Bahasa Perancis jika tidak terbiasa
mendengarnya pasti akan sulit untuk memahaminya.
Ada
empat tahap yang membentuk siklus culture
shock:
a. Tahap
inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru
yang menarik.
b. Tahap
krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock
c. Tahap
kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai.
d.
Tahap penyesuaian diri; sekarang orang
tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kondisi
yang baru itu, rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.
Penyesuaian
diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai factor, diantaranya factor intern
dan factor ekstern. Faktor intern ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skills).[22]
Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang,
yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan,
“orang macam apa dia?” jawabannya: emosional, pemberani, bertanggung jawab,
senang bergaul dan seterusnya. Orang yang senang bergaul biasanya akan lebih
mudah menyesuaikan diri.
Kecakapan
atau skills menyangkut segala sesuatu
yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti
bahasa, adat-istiadat, tata karma, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi
politik, dan sebagainya.
Selain
kedua faktor ini, juga sikap (attitude)
seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Yang dimaksud
dengan sikap di sini adalah kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui
pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana
seseorang menanggapi segala macam objek atau situasi yang dihadapinya.[23]
Contoh-contoh sikap: terus terang, berprasangka baik atau buruk, curiga,
optimis, pesimis, skeptis, ekstrem, moderatm toleran, tepa sliro, dan sebagainya. Orang-orang yang bersikap terus terang
dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri.
Faktor
ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya adalah:
1. Besar-kecilnya
perbedaan antara kebudayaan tempt asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang
dimasukinya.
2. Pekerjaan
yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir
dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
3. Suasana
lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah
seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan
yang tertutup.
C. Cultural survival
Istilah
ini ada sangkut pautnya dengan cultural
lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak
mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa
konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan
fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata
hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat
dipergunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
1. Suatu
jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimanya penemuan baru
tadi.
2. Adanya
perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran
modern.
Terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang
membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan
hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang
memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan
menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural
lag. Misalnya sebagai
berikut, seorang pria menggunakan mantel yang memiliki ekor dan dulunya itu
digunakan untuk berkuda, tetapi masih saja budaya itu digunakan untuk membuat
mantel dalam pernikahan. Inilah yang dimaksud dengan cultural survival.
D. Pertentangan kebudayaan (cultural
conflict)
Pertentangan kebudayaan ini muncul
sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung
antarkebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik kebudayaan adalah keyakinan-keyakinan
yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Konflik
ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan
anggota-anggota kebudayaan yang lain. Dapat dicontohkan dengan adanya pro dan kontra atas
terjadinya perbudakan di Amerika. Hasil dari pro dan kontra tadi adalah perang
saudara di amerika.
3.0 Barat dan Timur di Antara
Kebudayaan Nasional
Hampir
sepanjang sejarah, kontak antara Timur dengan Barat lebih berwujud konflik,
disharmoni, persaingan, atau perang dibanding konsensus nilai atau saling
mengerti. Meskipun teknologi dan komunikasi sudah demikian modern dan
canggihnya, tetap saja ketidaktahuan di antara Barat dan Timur menyelimuti
pengetahuan kebudayaan dan nilai spiritual yang dimiliki. Demikian pula adanya
orientalisme (ilmu ketimuran atau ilmu tentang dunia Timur) tidak membantu
terjadinya harmoni antara Barat dan Timur. Justru sebaliknya, banyak orientalis
(ahli Barat yang mempelajari Timur) tidak memberikan gambaran objektif, bahkan
banyak penelitian orientalis yang digunakan dalam rangka memperkuat penetrasi
politik Barat. Khusus umat Islam Indonesia dengan orientalis Snouck Hurgronje
merupakan contoh yang jelas tentang adanya disharmoni di antara Barat dan
Timur.
Terjadinya
disharmoni di antara Barat dan Timur disebabkan oleh pikiran Barat tentang
Timur yang penuh dengan bayangan negatif yang stereotipe dan prasangka. Akibat
demikian, alam pikiran barat dengan Timur tidak pernah bertemu. Dalam pikiran
Timur, Barat digambarkan sebagai materialisme kapitalisme, rasionalisme,
dinamisme, saintisme, positivisme, sekularisme, dan lain-lain. Sebaliknya
pikiran Barat membayangkan Timur sebagai kemiskinan, kobodohan, statis,
fatalis, kontemplasi, dan lain-lain. Tebtu saja kalau bayangan pikiran Barat
dan Timur digambarkan demikian, maka Barat dan Timur terdapat sikap yang
berlawanan, yang pada gilirannya akan terwujud konflik, disharmoni, persaingan,
atau perang.
Untuk
membuktikan apakah betul bahwa antara Barat dan Timur terjadi sikap yang
berlawanan, kita perlu menelusuri masing-masing watak dan pemikiran tersebut.
1.
Nilai
Budaya Barat
Barat
dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga
hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Firasat Barat
telah dipusatkan kepada wujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan
mempunyai dasar empiris yang kuat. Demikian pula dalam tradisi agama Barat,
dunia empiris memiliki arti (Harold, Merylin, dan Richard, 1979). Pada zaman
sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional di dunia Barat unggul,
sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan
mundur.
Barat
dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan
hidup sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan
makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat
tradisional dan pemahaman agama muncul sebagai suatu sistemik ide-ide abstrak
tanpa hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas
dasar hidup dan pikiran orang semakin berkurang karena Barat mengunggulkan cara
berpikir analitis rasional, yakni filsafat positivism, maka mereka menganggap
pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai suatu yang
subjektif dan tidak bermutu. Apa yang tidak rasional diserahkan pada daya
pembayangan para sastrawan, sehingga karya sastra bukan saja pantulan hidup,
melainkan juga merupakan norma kehidupan (Theo Huijbers, 1986). Kalau begitu,
apa yang menjadi dasar nilai-nilai di Barat? Menutut To Thi Anh (1975) ada tiga
nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat, yakni martabat manusia,
kebebasan, dan teknologi.
Dalam
tradisi humanistik ditekankan bahwa setiap manusia harus memilih untuk dirinya
tentang kebenaran dan kebaikan. Akibatnya gerakan sekularisme pemikiran semakin
berkembang dan diperluas ke bidang estetika, moral, dan agama. Agama yang
dikalangan Timur merupakan sumber nilai, di Barat dicampakan. Barat menganggap
kebajikan agama tidak ada bedanya dengan kebajikan kodrati manusia. Barat ingin
membangun agama baru yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebab
agama (di Barat) mengalami kemunduran melalui tekanan mentalitas ilmiah. Di
Barat kepuasan diperoleh melalui usaha-usaha atau perhatian terhadap benda,
kenikmatan dan keselarasan di dunia. Usha-usaha ini dengan sendirinya dapat
menimbulkan kondisi kehidupan yang penuh dengan persaingan masyarakat dalam
mencapai kehidupan, terkadang dapat menimbulkan kekacauan.
Tentang
kebebasan di Barat cukup menarik untuk diamati. Semua orang Timur menganggap
bahwa Barat itu negara kebebasan, segala sesuatunya serba mungkin terjadi. Hal
ini mulai dari sosialisasi anak, yang dibiarkan untuk membentuk dirinya sendiri
dan mengembangkan bakatnya sendiri. Spontanitas lebih dihargai dan individu
bebas dari tekanan dan campur tangan orang lain. Akhirnya kebebasan itu
diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, kebudayan, dan
ekonomi. Tradisi kebebasan ini menimbulkan rasa percaya diri dan kemampuan
serta menghilangkan perbedaan status sosial.
Teknologi
Barat membikin kagum dan iri bangsa Timur. Tidak sedikit negara Timur yang
menjadi korban “penjajahan” teknologi Barat karena rasa kagum ini. Filsafat
berdiri di atas kaki sendiri tidak tahan terhadap godaan dan tantangan
teknologi Barat sehingga tunduk kepada teknologi. Hasil teknologi Barat melebihi
kebutuhan manusia, bahkan mengganggu kepentingan manusia karena terlalu cepat
sampai ke depan (Alfin Topler menyebutnya future
shock). Cepatnya teknologi di Barat sulit diikuti imajinasi sehingga banyak
benda yang cepat dimusiumkan. Di Barat tidak sedikit manusia yang dikuasai oleh
perubahan teknologi sehingga menimbulkan dampak kehilangan arah, hilang
kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadap nilai-nilai dan iman. Timbul
kecemasan, tekanan hidup, acuh tak acuh, dan terganggu kesehatan mental.
Akibatnya, teknologi yang tadinya meningkatkan nilai eksistenssi manusia,
secara serempak juga merendahkan martabat manusia. Yang menjadi ukuran dalam
budaya teknologi sekarang adalah teknologi kultur orang, kuantitas (produksi
yang melimpah), kultur buatan (artificial), control menyeluruh (kemahakuasaan
sistem).
Di
Barat lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains
dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkembang dalam pengetahuan
deskriptif dan spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya
kepada realitas dan nilai waktu menyebabkan perkembangan yang pesat dalam
filsafat profesi pengonsepan evolusi kreatif serta kemajuan. Dengan demikian,
waktu mempunyai peran dalam keselamatan manusia. Manusia dengan alam menurut
konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal
ini tertulis dalam kat-kata: menaklukan luar Angkasa, menaklukan alam dan hutan
rimba. Kata-kata tersebut dibuktikan oleh problema yang dihadapi Barat seperti
polusi udara dan air. Pendek kata, Barat memiliki persepsi yang berbeda
terhadap pengetahuan, keinginan, watak, proses waktu, dan sikap terhadap alam.
2.
Nilai
Budaya Tmur
Nilai
budaya Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia
Timur. Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi
seluruh eksistensinya. Berpikir secara Timur tidak bertujuan menunjang
usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab
manusia Timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Inti kepribadian
manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan
hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan.
Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.
Nilai budaya yang dipengaruhi oleh ajaran
Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur bersifat kontemplatif, tertuju
kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir kontemplatif dipandang
sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih menekankan segi
dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai sesuatu
yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin
mengendalikan diri, sederhana, dan tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan
diri dari dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam
dunia benda, tidak dengan memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencari
kesenangan bagi dirinya. Aka tetapi, yang baik itu diperoleh melalui pencarian
zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya.
Di
Timur dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberikan kehidupan, member
makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh
hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan
dunia, bagi dunia Timur cukup kuat. Ide keselamatan ini besar pengaruhnya dalam
membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh
ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui melalui meditasi,
tirakat (ascetic), dan mistik.
Dalam
hal menegakan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide
abstrak atau simbolik pun dapat terwujud konkret dalam praktek kehidupannya.
Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi
mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur
memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran yang konkret, simbolik, dan
kebijaksanaan.
Sikap
orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri
dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmonisasi dengan alam
karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Kalu alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang
harmonis terkadang muncul ekspresi konkret dalam bentuk hubungan mistik manusia
dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang tertinggi datang dari alam, seperti
“nrimo” kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan, belajar dari
pengalaman, menyatukan diri,. Terkadang nilai spiritual yang dalam itu membuat
sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, mengdindar untuk membangun dunia,
hisup sederhana dan dekat dengan kehidupan alamiah. Ringkasnya, Dunia Timur
menginginkan kakayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenag tentram, menyatu diri,
fatalisme, pasivitas, dan menarik diri.
3.
Reaksi
dan Sikap Budaya Timur
Pribadi
dalam dunia Timur keadaan partisipasi yang tidak individual. Martabat pribadi
dibentuk dalam proses kompromi sosial, tidak dibiarkan seseorang “mengurus
dirinya sendiri”. Pembentukan pribadi pola Barat adalah sebaliknya dari pola
Timur, yaitu ketidakbergantungan, individualisme, mengasingkan diri, sehingga
sering timbul segi negatifnya, yaitu kesepian dan rasa tertekan.
Dalam
realitas perkembangan kemanusiaan dan kemasyarakatan di Timur yang dirasakan
sekarang, tersembunyi suatu krisis dan guncangan kebudayaan yang hebat. Hal ini
sudah demikian mengeras sifatnya dan tak terelakan sehingga bangsa Timur ingin
memperlihatkan cirri khas budayanya dan sekaligus member corak pergaulan dunia,
sebab kebudayaan nilai tidak menghendaki adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta keberhasilan pengembangan penalaran yang disertai dengan wajah
angkuh, bengis, dan kejam. Oleh karena itu, adanya krisis ini menimbulkan
kesadaran untuk mempertahankan kembali relevensi nilai-nilai yang terkandung
dalam kebudayaan Timur. Menurut Alfian (1985: 36) ada tiga pola atau corak
reaksi dalam menghadapi tantangan kebudayaan Barat, yaitu:
a.
Corak
reaksi yang menerima dan merangkul bulat-bulat kebudayaan Barat. Corak ini
menganggap kebudayaan Timur (sendiri) sudah tidak relevan lagi untuk menhadapi
kondisi sekarang, hanya kebudayaan Barat yang unggul dan mampu melahirkan
manusia yang berkualitas.
b.
Corak
reaksi yang sama sekali anti kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan
Barat hanya melahirkan manusia buas dan kejam, dan kebudayaan Timur yang lebih
unggul.
c.
Corak
reaksi yang berusaha melihat pembenturan kebudayaan Timur dengan Barat secara
realitis dan kritis. Krisis yang mengguncangkan tidak menyebabkan hilangnya
keseimbangan atau hanya memilih salah satu kebudayaan seperti digambarkan dalam
pola reaksinya. Corak reaksi ini berusaha mengambil jarak dan menilai secara
jujur keunggulan kebudayaan Barat dan kelemahan kebudayaan Timur, sekaligus
mempertahankan relevansi nilai-nilai kebudayaannya.
Melihat
kenyataan yang dihadapi bangsa Timur, yang menjadi strategi kebudayaan nasional
mungkin hanya corak reaksi ketiga, yaitu usaha mengadakan sintesis antara nilai
budaya Barat dan nilai budaya Timur, atau perpaduan keduanya secara selektif.
4.
Rumusan
Tentang Kebudayaan Nasional Indonesia
Kita menyadari
bahwa kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudaan dan bahasa
sehingga, demi integrasi nasional, kita mempunyai rumusan Bhinneka Tunggal Ika
yang artinya Bhinna = pecah, Ika = itu, dan Tunggal = satu, sehingga Bhinna Ika
Tunggal Ika artinya “terpecah itu satu”.
Kita bangga
dengan rumusan tersebut, tetapi kita prihatin dengan aneka warna masalah yang
timbul akibat aneka warna bangsa kita. Dan yang paling pokok dalam pembicaraan
ini adalah masalah kebudayaan nasional Indonesia. Selain perbedaan di dalam
pengertian kebudayaan nasionalnya sendiri, juga hal ini menyangkut masalah
cita-cita suatu bangsa yang akan menentukan masa depannya.
Tidak jarang
sifat ke-bhinneka-an bangsa kita sampai pada konflik tingkat nasional yang
menyebabkan terganggunya integrasi nasional sebagai cita-cita bangsa. Demikian
pula masalah kebudayaan menyangkut kepribadian nasional dan langsung mengenai
identitas suatu bangsa. Dan logikanya proses pembangunan manusia dan masyarakat
tidak dapat melepaskan diri dari unsure kebudayaan. Manusia dan masyarakat
tidak akan berhasil dalam pembangunan dirinya kalau selalu sadar terhadap
pengaruh kebudayaan yang tak mungkin dapat ditolaknya.
Berdasarkan
berbagai pertimbangan di atas, kita perlu menelusuri kebudayaan nasional
Indonesia. Pembicaraan kebudayaan nasional dimulai sejak tahun 1936 ketika
diselenggarakan polemik kebudayaan antara Sultan Takdir Alisjahbana c.s. di satu pihak (sebagai wakil
Golongan Indonesia Moeda) dan Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, serta Dr. Sutomo
dipihak lain. Polemic ini lengkapnya ada dalam buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Poestaka pada tahun
1948.
Rumusan
tentang kebudayaan nasional itu dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu:
1.
Ke-Indonesiaan
sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, mulai dari adat, seni, dan lain-lain.
Yang belum ada ialah nasion Indonesia. Jadi, yang perlu diusahakan oleh bangsa
Indonesia dalam membangun kebudayaan nasionalnya ialah bagaimana memperbaharui
kebudayaan sehingga sesuai dengan kebangsaan Indonesia. Jalan yang harus
ditempuh ialah perluasan dasar kebudayaan Indonesia dengan cara memesrakan
(menyerapkan, memadukan) materialisme, intelektualisme, dan individualisme
(Barat) dengan spritualisme, perasaan, dan kolektivisme (Timur). Aliran pertama
ini dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara c.s.
2.
Aliran
yang dipelopori oleh SSultan Takdir Alisjahbana menghendaki penciptaan
kebudayaan nasional Indonesia banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Barat yang
dinamis. Kebudyaan nasional yang baru itu dengan sendirinya mencerminkan pula
watak dan kepribadian bangsa Indonesia yang berbeda dengan watak dan
kepribadian sebelumnya (masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia).
Kalau
diperhatikan dengan seksama, sebenarnya kedua aliran tersebut menghendaki
adanya peranan kebudayaan Barat dalam kebudayaan nasional, hanya dalam hal
peranannya yang berbeda. Aliran pertama – Ki Hajar Dewantara c.s.- menghendaki perluasan dasar asas
Barat. Bukan perubahan, melainkan perluasan dengan asas Barat. Kebudayaan
nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus mementingkan kerokhanian,
perasaan, gotong royong, bertentangan dengan kebudayaan Barat yang mementingkan
materi, intelektualisme, dan individualism. Orang Indonesia tidak boleh
melupakan sejarah dan kebudayaannya, sebab dengan mempelajari sejarah dan
kebudayaan di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan
Indonesia harus berakar pada kebudayaan pra-Indonesia.
Aliran
kedua Sultan Takdir Alisjahbana c.s.
menghendaki semangat Barat yang kreatif dalam segala lapangan kehidupan
masyarakat dan kebudayaan Indonesia, semangat menundukan alam untuk kepentingan
manusia. Semangat Barat yang dinamis pada hakikatnya bersaudara dengan semangat
Indonesia. Jadi, diperlukan perubahan mental dari yang statis kepada yang
dinamis untuk membangun kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional
menurut Sultan Takdir Alisjahbana baru muncul pada permulaan abad ke-20 oleh
generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangatan ke-Indonesiaan.
Kebudayaan Indonesia merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru
sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan Barat yang
universal. Unsur kebudayaan Barat tersebut adalah teknologi, orientasi ekonomi,
keterampilan berorganisasi secara luas, dan ilmu pengetahuan. Orang Indonesia
harus mempertajam akalnya dan mengambil alih dinamisme dari Barat.
Pendapat
lain yang tidak mengikutsertakan unsur Barat adalah pendapat Harsya Bachtiar.
Harsya mengatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia di dalam masyarakat
Indonesia yang merdeka haruslah suatu kebudayaan “yang baru sama sekali”,
bersih dari kebudayaan feodalis dan atau sisa-sisanya, maupun dari ciri-ciri
arkais sekuisme atau macam-macam etnosentrisme lainnya.
Koentjaraningrat
berpendapat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi
ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga
ke zaman yang sekarang karena kebudayaan perlu member kemampuan bangsa
Indonesia untuk menghadapi peradaban dunia masa kini. Konsep Koentjaraningrat
tentang kebudayaan nasional bersifat operasional, yaitu berorientasi pada
warisan nenek moyang dari zama kejayaan dan pada zaman sekarang, yaitu zaman
modern (Barat). Dalam pemikiran ini tercermin adanya sintesis antara Barat dan
Timur, warisan dari zaman keemasan nenek moyang artinya sealiran dengan
pemikiran Ki Hajar Dewantara c.s.
Karena
Indonesia mempunyai landasan Ideologi Pancasila, maka ditinjau dari perspektif
fungsional, pancasila akan diuji karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
akan menentukan orientasi tujuan sosio-politik serta serta kebudayaan pada
tingkat makro, akan menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan
nasional. Pancasila dalam hal ini tidak hanya menjadi determinasi bagi
kehidupan moral bangsa, tetapi memiliki fungsi teologis (teori) akan memberikan
paying ideologis bagi berbagai unsur masyarakat.
Pancasila
dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang meliputi eksistensi
manusia Indonesia, dapat berfungsi sebagai etos kebudayaan nasional. Pancasila
sebagai etos kebudayaan Indonesia harus direalisasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini, pancasila berfungsi sebagai kebudayaan normatif
yang akan menjelma berupa personalisasi. Personalisasi tersebut merupakan
kebudayaan nasional yang meliputi konsep kepribadian nasional dan identitas
nasional.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan
selalu melanda semua bangsa dan negara di dunia demikian pula tidak terkecuali
melanda masyarakat Indonesia.
Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan oleh Munandar (1987) dibagi atas:
cultural lag, cultural survival, cultural conflict dan cultural shock. Fenomena
ini tidak lain diakibatkan oleh dua faktor yang berasal dari dalam dan faktor
yang berasal dari luar, faktor dari dalam yaitu bertambahnya atau berkurangnya
penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat,
terjadinya pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
Sedangkan faktor dari luarnya yaitu sebab-sebab yang berasal dari lingkungan
fisik yang ada di sekitar manusia, peperangan dengan negara lain, serta
pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Walaupun perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua perubahan itu tidak akan mencapai
suatu pengertian yang benar tanpa mengaitkan keduanya.
3.2
Saran
Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan
kebudayaan yang terbentuk dari berbagai macam kebudayaan suku dan agama
sehingga banyak tantangan yang selalu merongrong keutuhan budaya itu tapi
dengan semangat kebhinekaan sampai sekarang masih eksis dalam terpaan zaman.
Kewajiban kita sebagai anak bangsa untuk tetap mempertahankannya budaya itu
menuju bangsa yang abadi, luhur, makmur dan bermartabat. Penulis juga menyarankan kepada seluruh lapisan masyarakat
terutama anak muda untuk menyaring seluruh kebudayaan asing yang masuk ke
budaya Indonesia, dalam hal ini kita perlu bersifat bijak dengan seksama dan
cermat dalam menghadapinya agar jika suatu saat nanti kita mengahapi
peristiwa-peristiwa kebudayaan kita tidak mengalami guncangan yang dapat
mengganggu psikologis sehingga kita dapat menerimanya dengan bersifat terbuka
sesuai dengan tuntutan zaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Jacobus Ranjabar, S.H., M.Si., Sistem Sosial Budaya Indonesia suatu
pengantar, Bandung: CV. Alfabeta, 2013
M. Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial Rekontruksi Normalitas Relasi
Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem, Jakarta: Institut Pembelajaran
Gelar Hidup [IPGH], 2014
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Prof. Dr. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka
Cipta, 2009
Dr. M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Pengantar ke Arah Ilmu
Sosial Budaya Dasar/ISBD/Social Culture, Bandung: PT. Refika Aditama, 2012
Dr. Esti Ismawati, M.Pd., Ilmu
Sosial Budaya Dasar, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012
[1] Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi edisi pertama, Yayasan Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, halaman 115.
[2] St. Takdir Alisjahbana, 1982: 7
dan seterusnya.
[3]
Pitirim A. Sorokin, Comtemporary Sociological Theories, (New
York: Harper and Brothers, 1928), hlm. 739.
[4]
Kingsley Davis, op.cit.,
hlm. 622-623
[5]
Paul Bohannan: Social
Anthropology (New York: Holt Rinehart and Winston etc 1963), hlm. 360 dan
seterusnya.
[6]
Wilbert E. Moore, op.cit.,
hlm. 72 dan seterusnya.
[7]
Clifford Geertz, The Social
Context of Economic Change: An Indonesian Case Study, mimeographed paper, MIT,
Cambridge Mass, 1956, hlm. 13. Bacalah juga W.F Wetheim, East-West Parallels,
W. van Hoege, the Hague, 1964, hlm. 217.
[8]
Selo Soemardjan, op.cit.,
hlm. 381 dan seterusnya
[9]
Ibid., hlm. 380, 381.
[10]
Henry Pratt Fairchild and
100 authorities, Dictionary of Sociology
and Related Science, Littlefield, Adams & Co, Ames-lowa, 1976, hlm. 282
dan 288: bandingkanlah dengan William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, op.cit.,
hlm. 757 dan seterusnya.
[11]
Selo Soemardjan dan
Soelaeman Soemardi, op.cit., hlm. 489. Mac Iver dan Page dalam bukunya Society, an introductory analysis, menyebutkan
lingkungan alam fisik, faktor teknologi dan faktor kebudayaan sebagai penyebab
perubahan-perubahan. Lihat hlm. 509, 531, 542, 574 dari buku tersebut.
[12]
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta:
Penerbit Universitas, 1965), hlm. 135 dan seterusnya.
[13]
Artinya, penghubung garis
keturunan laki-laki belaka.
[14]
R. Soepomo, De verhouding van individu en
gemeenschap in het adatrecht, rede uitgesproken bij de aanvaarding van het
ambt van buitengewoon hoogleraar in het adatrecht aan de Rechtshogeschool the
Batavia op. 31 Maret 1941, J.B. Wolters Gronigren, Batavia, 1941, hlm. 20.
[15]
Selo Soemardjan, op.cit., halaman 383
[16] Ibid., halaman 384
[17] Ogburn dan Nimkoff, op.cit.,
halaman 728 dan seterusnya.
[18] Juga sering disebut sebagai social-lag
[19] Dikutip dari Master Plan DKI
Jaya 1965-1985, Lampiran 4: Prasarana
listrik
[20] Ogburn dan Nimkoff,
op.cit..halaman 732 dan seterusnya.
[21] Bacalah “The Modernizaion of
Man” oleh Alex Inkeles, dalam Modernization:
The dynamics of growth, Myron Weiner,
(ed)., Voice of America Forum Lectures, Cambridge-Mass, 1966 halaman 151-163
[22] Menurut Brislin tahun 1981
[23] Menurut Alport
Tidak ada komentar:
Posting Komentar