Minggu, 25 Desember 2016

MAKALAH PERUBAHAN BUDAYA



MAKALAH PERUBAHAN BUDAYA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan selalu melanda semua bangsa dan negara di dunia demikian pula tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas permasalahan dan tingkat permasalahan itu berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan  pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini bisa dikatakan lebih tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negera maju lainnya. Bagaimanapun  masalah yang dihadapi, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kondisi kehilangan kebudayaan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi. Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara umum  ada dua kekuatan  yang  menyebabkan timbulnya perubahan sosial, hal yang pertama adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Hal kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun  persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka
Seberapa cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan faktor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.
Ada dua orang antroplog terkemuka yaitu Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa Cultural Determinims berarti segala sesuatu yang terdapat didalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.[1]

1.2    Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang makalah, kebudayaan diatas bahwasanya didalam kebudayaan terdapat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia yaitu Cultural Lag, Cultural Survival, Cultural Conflik dan Cultural Shock serta pengaruhnya terhadap kehidupan manusia Indonesia.
1.3    Rumusan Masalah
a.    Apa saja yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa kebudayaan?
b.    Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa kebudayaan ?
c.    Bagaimana cara kita sebagai manusia dalam menyikapi masalah terkait peristiwa-peristiwa kebudayaan?
1.4    Tujuan Pembuatan Makalah
a.    Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Antropologi.
b.    Mendeskripsikan perkembangan kebudayaan di Indonesia.
c.    Mendeskripsikan peristiwa-peritiwa kebudayaan yang terjadi dikehidupan manusia.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Kebudayaan Indonesia
Berbicara tentang kebudayaan Indonesia yang ada dibayangan  kita adalah sebuah budaya yang sangat beraneka ragam. Bagaimana tidak, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, hal inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki kebudayaan yang beraneka ragam.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia. Indonesia sendiri sebagai Negara kepulauan dikenal dengan keberagaman budayanya, yang mana keanekaragaman itulah menunjukkan betapa pentingnya aspek kebudayaan bagi suatu  Negara. Karena jelas bahwa kebudayaan adalah suatu identitas dan jati diri bagi suatu bangsa dan Negara.
Kebudayaan Indonesia bukanlah suatu yang padu dan bulat, tetapi adalah suatu yang terjadi dari berbagai unsur-unsur suku bangsa. Di daerah Indonesia yang sangat luas terdapat bermacam macam kebudayaan, yang satu berbeda dari yang lain disebabkan oleh perjalanan yang berbeda.
Sebagaimana diketahui, bahwa unsur sejarah yang menentukan perkembangan kebudayaan Indonesia itu terbagi menjadi lima lapisan yaitu, (1) kebudayaan Indonesia asli, (2) Kebudayaan India, (3) Kebudayaan Islam, (4) Kebudayaan Modern, (5) Kebudayaan Bhineka Tunggal Ika.[2]

2.2  Teori-teori Perubahan Sosial
          Para ahli filsafat, sejarah, ekonomi, dan sosiologi telah mencoba untuk merumuskan prinsip-prinsip atau hukum-hukum perubahan-perubahan sosial. Banyak yang berpendapat bahwa kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan segaja wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.
          Pitirim A. Sorokin berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan adanya suatu kecenderungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan-perubahan sosial tidak akan berhasil baik. Dia meragukan kebenaran akan adanya lingkaran-lingkaran perubahan sosial tersebut. Akan tetapi, perubahan-perubahan tetap ada yang paling penting adalah lingkaran terjadinya gejala-gejala sosial harus dipelajari karena dengan adanya jalan tersebut barulah akan dapat diperoleh suatu generalisasi.[3]

2.3    Hubungan antara Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan
          Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan.[4] Perubahan dalam kebudayaan mencangkup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Sebagai contoh dikemukakannya perubahan pada logat bahasa Aria setelah terpisah dari induknya. Akan tetapi, perubahan tersebut tidak memengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan-perubahan tersebut lebih merupakan perubahan kebudayaan ketimbang perubahan sosial.
          Perubahan sosial dan perubahan budaya sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari, acap kali tidak mudah untuk menetukan garis pemisah antara perubahan sosial dan kebudayaan. Hal itu disebabkan tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu masyarakat. Hal itu mengakibatkan bahwa garis pemisah di dalam kenyataan hidup antara perubahan sosial dan kebudayaan lebih sukar lagi untuk ditegaskan. Biasanya antara kedua gejala itu dapat ditemukan hubungan timbale balik sebagai sebab dan akibat.

2.4  Beberapa Bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan
          Perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut.
1.    Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
          Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama, dan rentetan-rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat dinamakan dengan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.[5]
Sementara itu, perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dalam kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan “revolusi”. Misalnya revolusi industri di Inggris, dimana perubahan-perubahan terjadi dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi mengggunakan mesin.


2.    Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
          Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas karena batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada unsure-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.[6]
Kepadatan penduduk di pulai Jawa, misalnya, telah melahirkan berbagai perubahan dengan pengaruh yang besar. Areal tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit; pengangguran tersamar kian tampak di desa-desa. Mereka tidak mempunyai tanah menjadi buruh tani dan banyak wanita serta anak-anak yang menjadi “buruh” potong padi pada waktu panen. Sejalan dengan itu, terjadi pula proses individualisasi milik tanah. Hak-hak ulayat desa semakin luntur karena areal tanah tidak seimbang dengan kepadatan penduduk.
Timbullah bermacam-macam lembaga hubungan kerja, lembaga gadai tanah, lembaga bagi hasil dan seterusnya, yang pada pokoknya bertujuan untuk mengambil manfaat yang sebesar mungkin dari sebidang tanah yang tidak begitu luas. Warga masyarakat hanya hidup sedikit di atas standar minimal. Keadaan atas sistem sosial yang demikian oleh Clifford Geertz disebut shared poverty.[7]

2.5    Perubahan yang Dikehendaki (Intended-Change) atau Perubahan yang Direncanakan (Planned-Change) dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki (Unintended-Change) atau Perubahan yang Tidak Direncanakan (Unplanned-Change)
          Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang lebih direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat.[8] Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan agent of change tersebut.[9] Cara-cara memengaruhi masyarakat dengan sistem yang terartur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (social engineering) atau sering pula dinamakan perencanaan sosial (social planning).[10]
          Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung d luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Mungkin suatu perubahan yang tidak dikehendaki sangat diharapkan dan diterima oleh masyarakat. Bahkan para agent of change yang merencanakan perubahan-perubahan yang dikehendaki telah diperhitungkan terjadinya perubahan-perubahan yang tidak terduga (dikehendaki) di bidang-bidang lain. Pada umumnya sulit untuk mengadakan ramalan tentang terjadinya perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki. Karena proses tersebut biasanya tidak hanya merupakan akibat dari suatu gejala sosial saja, tetapi dari berbagai gejala sosial sekaligus.

2.6    Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial dan Kebudayaan
          Pada umumnya dapat dikatakan bahwa mungkin ada sumber sebab-sebab tersebut yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya di luar.[11] Sebab-sebab yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut.
1.    Bertambah atau Berkurangnya Penduduk
          Berkurangnya penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari daerah ke daerah lain (misalnya transmigrasi). Perpindahan penduduk menimbukan kekosongan, misalnya dalam bidang pembagian kerja dan stratifiksi sosial, yang memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan. Perpindahan penduduk telah berlangsung berates-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal itu sejajar dengan bertambah banyaknya manusia penduduk bumi ini. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencaharian utamanya berburu, perpindahan sering kali dilakukan, yang tergantung dari persediaan hewan-hewan buruannya. Apabila hewan-hewan tersebut habis, mereka akan berpindah ke tempat-tempat lainnya seperti manusia purba.
2.    Penemuan-penemuan Baru
          Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak teralu lama disebut dengan inovasi atau innovation.[12] Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian discovery dan invention. Discovery adalah penemuan unsur kebudayan yang baru, baik berupa alat, ataupun yang berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu.
Misalnya penemuan mobil, kereta api, dan jalan kereta api, telepon, dan sebagainya menyebabkan tumbuhnya lebih banyak pusat kehidupan di daerah pinggiran kota yang dinamakan suburb.
          Proses penerimaan perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu unsur kebudayaan baru diantaranya:
a.    Terbiasanya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.
b.    Jika pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh nilai agama, dan ajaran ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang ada, maka penerimaan unsur baru itu mengalami kelambatan dan harus disensor dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan ajaran agama yang berlaku.
c.    Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan baru. Misalnya, sistem otoriter akan sukar menerima unsur kebudayaan baru.
d.   Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang baru tersebut.
e.    Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannnya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
3.    Pertentangan (Conflict) Masyarakat
          Umumnya masyarakat tradisional di Indonesia bersifat kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingn masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui, tetapi mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan atara kepentingan individu dengan kepentingan kelompoknya, yang dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan perubahan-perubahan.
Contoh: Perubahan yang disebabkan Konflik
Pada masyarakat Batak dengan sistem kekeluargaan patrilineal murni,[13] terdapat adat istiadat bahwa apabila suami meninggal, keturunannya berada di bawah kekuasaan keluarga almarhum. Dengan terjadinya proses individualisasi terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi penyimpangan. Anak-anak tetap tinggal pada ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan keluarga almarhum suaminya telah putus karena meninggalnya suami. Keadaan tersebut membawa perubahan besar pada peranan keluarga batih dan juga pada kedudukan wanita, yang selama ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila dibandingkan dengan laki-laki.[14]
4.    Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi
          Revolusi yang meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut terjadinya perubahan-perubahan besar pada Negara Rusia yang mula-mula mempunyai bentuk kerajaan absolute berubah menjadi dictator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Segenap lembaga kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai keluarga batih, mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
          Suatu perubahan sosial dan kebudayan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain sebagai berikut.
a.    Sebab-sebab yang Berasal dari Lingkungan Alam Fisik yang Ada di Sekitar Manusia
b.    Peperangan
c.    Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain

2.7    Proses-proses Perubahan Sosial dan Kebudayaan
1.    Penyesuaian Masyarakat Terhadap Perubahan Antarbudaya
          Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan masyarakat yang lainnya. Terjadinya perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal:
a.  Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan jumlah dan komposisi penduduk.
b.    Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
          Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan berbeda. Dalam perubahan sosial terjadi perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial, antara lain sistem status, hubungan-hubungan di dalam keluarga sistem politik, dan kekuasaan, serta persebaran penduduk. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan kebudayaan ialah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain aturan-aturan, norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan, juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian), dan bahasa. Walaupun perubahan sosial dan perubahan kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua perubahan itu tak akan mencapai suatu pengertian yang benar tanpa mengaitkan keduanya.
          Keserasian atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrium) merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Dengan keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi.[15] Dalam keadaan demikian, individu secara spikologis merasakan akan adanya ketentraman, karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai.
          Ada kalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan secara bersamaan mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh juga pada warga masyarakat. Apabila ketidakserasian dapat dipulihkan kembali setelah terjadi suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan penyesuaian (adjustment). Bila sebaliknya terjadi maka dinamakan ketidakpenyusuaian social (maladjustment) yang mungkin mengakibatkan terjadinya anomie.
          Suatu perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat tersebut.[16]
Yang pertama menunjuk pada keadaan, dimana masyarakat berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial dan kebudayaan. Sedangkan yang kedua menunjuk pada usaha-usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telh diubah atau diganti agar terhindar dari disorganisasi psikologis.


2.8 Saluran-saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan
          Saluran-saluran perubahan social dan kebudayaan (avenue or channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi, dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat cenderung untuk menjadi saluran utama perubahan social dan kebudayaan.

2.9    Peristiwa-peristiwa Perubahan Kebudayaan
1.    Ketidakserasian Perubahan-perubahan dan Ketertinggalan Budaya (Cultural lag)[17]
          Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan masyarakat. Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, tidak selalu perubahan-perubahan pada unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan mengalami kelainan yang seimbang. Ada unsur-unsur yang dengan cepat berubah. Akan tetapi ada pula unsur-unsur yang sukar untuk berubah. Biasanya unsur-unsur kebudayaan kebendaan lebih berubah daripada unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Misalnya, suatu suatu perubahan dalam cara bertani, tidak begitu berpengaruh terhadap tari-tarian tradisional. Akan tetapi sistem pendidikan anak-anak mempunyai hubungan yang erat dengan dipekerjakannya tenaga-tenaga wanita pada industri. Apabila dalam hal ini terjadi ketidakserasian, maka kemungkinan akan terjadi kegoyahan dalam hubungan antara unsur-unsur tersebut diatas, sehingga keserasian masyarakat terganggu.
Suatu teori yang terkenal didalam sosiologi mengenai perubahan dalam masyarakat adalah teori ketertinggalan budaya (cultural lag) dari William F. Ogburn.[18]: Teori tersebut mulai dengan kenyataan bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu sama cepatnya dalam keseluruhannya seperti diuraikan sebelumnya, akan tetapi ada bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat, dinamakan cultural lag (artinya ketertinggalan kebudayaan). Juga suatu ketertinggalan (lag) terjadi apabila laju perubahan dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan (mungkin juga lebih) yang mempunyai korelasi, tidak sebanding, sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya. Perubahan itu bisa berupa discovery (penemuan), invention (ciptaan baru), dan diffusion (difusi, peleburan dari ciptaan lama dengan baru).
          Suatu contoh dapat dikemukakan mengenai tenaga listrik antara tahun 1963-1966 di Jakarta, dibandingkan dengan kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya. Keadaan listrik di kota Jakarta sangat dibawah norma-norma persyaratan listrik bagi kota-kota besar, dan dari hal itu dapat dapat pula dinilai norma-norma kesejahteraan masyarakat Jakarta ini. Listrik di Jakarta hanya lebih melayani 100.000 langganan atau 500.000 penduduk, yang berarti lebih kurang hanya 13% dari seluruh penduduk Jakarta, atau satu dianta delapan keluarga. Keadaan perlistrikan yang sebenarnya di Jakarta adalah sebagai berikut:[19]

Tahun          jumlah                    jumlah              Beban                          Beban                             Jatah
                      penduduk             langganan         terpasang (Kw)          puncak yg dicapai        watt
 

1963             3.200.000                90.000                   74.000                            45.000                      23
1966             3.800.000                100.000                 82.000                            60.000                      22

          Adanya cultural lag disini adalah karena tidak sesuainya penyediaan dengan pemakaian tenaga listrik dan juga karena terlalu cepatnya perkembangan penduduk Jakarta, apabila dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan penyediaan listrik. Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakwajaran, misalnya pencurian listrik yang menyebabkan para knsumen yang benar-benar berlangganan dirugikan.
          Pengertian ketertinggalan dapat digunakan paling sedikit dalam dua arti,[20] petama sebagai jangka waktu antara terjadi dan diterimanya penemuan baru.
Ketertinggalan yang mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Hal ini dijumpai terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang seperti indonesia ini.
Suatu contoh nyata adalah penggunaan Komputer yang merupakan salah satu hasil perkembangan teknologi di negara-negara maju. Penggunaan alat tersebut harus disertai oleh peralatan-peralatan khusus seperti untuk memperbaikinya apabila rusak. Aliran listrik harus mempunya ketegangan tertentu, konstan dan seterusnya. Ini belum semuanya tersedia, misalnya aliran listrik yang konstan. Hal itu dapat memacetkan computer atau kalau rusak untuk memperbaikinya belum tentu tersedia alat dan ahli yang cukup.
          Tidak mudah memang untuk mengatasi persoalan demikian, paling tidak alam pikiran manusia harus mengalami perubahan terlebih dahulu, yaitu dari alam pikiran tradisional kea lam pikiran yang modern. Alam pikiran modern ditandai oleh beberapa hal, misalnya sifatnya yang terbuka terhadap pengalaman baru serta terbuka pula bagi perubahan dan pembaharuan. Tekanan dalam hal ini bukanlah terletak pada keahlian dan kemampuan jasmaniah belaka, tetapi pada suatu jiwa yang terbuka. Alam pikiran modern tidak hanya terpaut pada keadaan sekitarnya saja yang langsung, akan tetapi juga berhubungan dengan hal-hal yang di luar itu. Yaitu berpikir dengan luas. Di sini pendidikan memperoleh posisi menentukan; semakin terdidik seseorang semakin terbuka dan semakin luar daya pikirnya. Dia harus menyadari bahwa ada pendapat-pendapat lain dan sikap-sikap lain yang mengelilingi dirinya. Kondisi lain yang juga harus diperhatikan adalah bahwa alam pikiran modern lebih berorintasi pada keadaan sekarang serta keadaan-keadaan mendatang daripada terhadap keadan-keadaan yang telah lau; dan sehubungan dengan itu dia harus mengadakan perencanaan (planning) untuk hari kedepannya.
          Kiranya seseorang dengan alam pikiran modern yakin bahwa manusia dapat belajar untuk memanfaatkan dan menguasai alam sekelilingnya, daripada bersikap pasrah atau pasif. Seorang juga yakin bahwa keadaan-keadaan dapat diperhitungkan, artinya bahwa orang-orang lain serta lembaga-lembaga lain dapat diandalkan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban dan tanggung jawabnya. Dia tidak setuju pada pendapat bahwa segala sesuatu dapat ditentukan oleh nasib atau oleh watak dan sifat-sifat yang khusus dari orang-orang tertentu. Sehubungan dengan itu timbul kesadaran akan harga diri orang-orang lain, sehingga dia menaruh keseganan terhadap mereka. Kemudian, dia lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi walaupun dengan cara-cara sederhana sekalipun. Hal itu menimbulkan keyakinan kepadanya bahwa penghargaan sebagai balas jasa, diberikan kepada mereka yang betul-betul telah berjasa dan tidak atas dasar kekayaan atau kekuasaan yang dimilikinya. Itu semuanya terutama dapat dicapai dengan pendidikan supaya orang dapat berpikir secara ilmiah. Cara berpikir secara ilmiah herus melembaga dalam diri manusia, terutama pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang, agar terhindar dari terjadinya ketertinggalan budaya.[21]

2.    Cultural Shock (guncangan kebudayaan)
          Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik.
Misalnya, adalah  peristiwa kebudayaan dimana masyarakat melakukan perpindahan dari Negara satu ke Negara lain. Tetapi terjadi perbedaan budaya yang jauh antar Negara tadi dan membuat masyarakat bingung untuk berdaptasi. Keadaan ini lebih dipengaruhi dengan perbedaan mendapat beasiswa di Perancis. Tetapi di Perancis, mereka lebih suka menggunakan Bahasa Ibu mereka. Keadaan ini jelas akan membuat keadaan orang Indonesia mengalami Cultural Shock dimana dia akan kebigungan dengan bahasa yang tidak biasa dia dengar selama ini dan seperti yang kita ketahui, bahwa Bahasa Perancis jika tidak terbiasa mendengarnya pasti akan sulit untuk memahaminya.
          Ada empat tahap yang membentuk siklus culture shock:
a.    Tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru yang menarik.
b.    Tahap krisis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock
c.    Tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai.
d.    Tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu, rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.
    Penyesuaian diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai factor, diantaranya factor intern dan factor ekstern. Faktor intern ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skills).[22] Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan, “orang macam apa dia?” jawabannya: emosional, pemberani, bertanggung jawab, senang bergaul dan seterusnya. Orang yang senang bergaul biasanya akan lebih mudah menyesuaikan diri.
Kecakapan atau skills menyangkut segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata karma, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi politik, dan sebagainya.
Selain kedua faktor ini, juga sikap (attitude) seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Yang dimaksud dengan sikap di sini adalah kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana seseorang menanggapi segala macam objek atau situasi yang dihadapinya.[23] Contoh-contoh sikap: terus terang, berprasangka baik atau buruk, curiga, optimis, pesimis, skeptis, ekstrem, moderatm toleran, tepa sliro, dan sebagainya. Orang-orang yang bersikap terus terang dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri.
          Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya adalah:
1.    Besar-kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempt asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.
2.    Pekerjaan yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya.
3.    Suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup.
C. Cultural survival
    Istilah ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat dipergunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
1.    Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimanya penemuan baru tadi.
2.    Adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern.
          Terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag. Misalnya sebagai berikut, seorang pria menggunakan mantel yang memiliki ekor dan dulunya itu digunakan untuk berkuda, tetapi masih saja budaya itu digunakan untuk membuat mantel dalam pernikahan. Inilah yang dimaksud dengan cultural survival.
D. Pertentangan kebudayaan (cultural conflict)
          Pertentangan kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung antarkebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik kebudayaan adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain. Dapat dicontohkan dengan adanya pro dan kontra atas terjadinya perbudakan di Amerika. Hasil dari pro dan kontra tadi adalah perang saudara di amerika.
3.0 Barat dan Timur di Antara Kebudayaan Nasional
          Hampir sepanjang sejarah, kontak antara Timur dengan Barat lebih berwujud konflik, disharmoni, persaingan, atau perang dibanding konsensus nilai atau saling mengerti. Meskipun teknologi dan komunikasi sudah demikian modern dan canggihnya, tetap saja ketidaktahuan di antara Barat dan Timur menyelimuti pengetahuan kebudayaan dan nilai spiritual yang dimiliki. Demikian pula adanya orientalisme (ilmu ketimuran atau ilmu tentang dunia Timur) tidak membantu terjadinya harmoni antara Barat dan Timur. Justru sebaliknya, banyak orientalis (ahli Barat yang mempelajari Timur) tidak memberikan gambaran objektif, bahkan banyak penelitian orientalis yang digunakan dalam rangka memperkuat penetrasi politik Barat. Khusus umat Islam Indonesia dengan orientalis Snouck Hurgronje merupakan contoh yang jelas tentang adanya disharmoni di antara Barat dan Timur.
          Terjadinya disharmoni di antara Barat dan Timur disebabkan oleh pikiran Barat tentang Timur yang penuh dengan bayangan negatif yang stereotipe dan prasangka. Akibat demikian, alam pikiran barat dengan Timur tidak pernah bertemu. Dalam pikiran Timur, Barat digambarkan sebagai materialisme kapitalisme, rasionalisme, dinamisme, saintisme, positivisme, sekularisme, dan lain-lain. Sebaliknya pikiran Barat membayangkan Timur sebagai kemiskinan, kobodohan, statis, fatalis, kontemplasi, dan lain-lain. Tebtu saja kalau bayangan pikiran Barat dan Timur digambarkan demikian, maka Barat dan Timur terdapat sikap yang berlawanan, yang pada gilirannya akan terwujud konflik, disharmoni, persaingan, atau perang.
          Untuk membuktikan apakah betul bahwa antara Barat dan Timur terjadi sikap yang berlawanan, kita perlu menelusuri masing-masing watak dan pemikiran tersebut.
1.    Nilai Budaya Barat
          Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Firasat Barat telah dipusatkan kepada wujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan mempunyai dasar empiris yang kuat. Demikian pula dalam tradisi agama Barat, dunia empiris memiliki arti (Harold, Merylin, dan Richard, 1979). Pada zaman sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional di dunia Barat unggul, sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan mundur.
          Barat dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional dan pemahaman agama muncul sebagai suatu sistemik ide-ide abstrak tanpa hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas dasar hidup dan pikiran orang semakin berkurang karena Barat mengunggulkan cara berpikir analitis rasional, yakni filsafat positivism, maka mereka menganggap pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai suatu yang subjektif dan tidak bermutu. Apa yang tidak rasional diserahkan pada daya pembayangan para sastrawan, sehingga karya sastra bukan saja pantulan hidup, melainkan juga merupakan norma kehidupan (Theo Huijbers, 1986). Kalau begitu, apa yang menjadi dasar nilai-nilai di Barat? Menutut To Thi Anh (1975) ada tiga nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat, yakni martabat manusia, kebebasan, dan teknologi.
          Dalam tradisi humanistik ditekankan bahwa setiap manusia harus memilih untuk dirinya tentang kebenaran dan kebaikan. Akibatnya gerakan sekularisme pemikiran semakin berkembang dan diperluas ke bidang estetika, moral, dan agama. Agama yang dikalangan Timur merupakan sumber nilai, di Barat dicampakan. Barat menganggap kebajikan agama tidak ada bedanya dengan kebajikan kodrati manusia. Barat ingin membangun agama baru yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebab agama (di Barat) mengalami kemunduran melalui tekanan mentalitas ilmiah. Di Barat kepuasan diperoleh melalui usaha-usaha atau perhatian terhadap benda, kenikmatan dan keselarasan di dunia. Usha-usaha ini dengan sendirinya dapat menimbulkan kondisi kehidupan yang penuh dengan persaingan masyarakat dalam mencapai kehidupan, terkadang dapat menimbulkan kekacauan.
          Tentang kebebasan di Barat cukup menarik untuk diamati. Semua orang Timur menganggap bahwa Barat itu negara kebebasan, segala sesuatunya serba mungkin terjadi. Hal ini mulai dari sosialisasi anak, yang dibiarkan untuk membentuk dirinya sendiri dan mengembangkan bakatnya sendiri. Spontanitas lebih dihargai dan individu bebas dari tekanan dan campur tangan orang lain. Akhirnya kebebasan itu diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, kebudayan, dan ekonomi. Tradisi kebebasan ini menimbulkan rasa percaya diri dan kemampuan serta menghilangkan perbedaan status sosial.
          Teknologi Barat membikin kagum dan iri bangsa Timur. Tidak sedikit negara Timur yang menjadi korban “penjajahan” teknologi Barat karena rasa kagum ini. Filsafat berdiri di atas kaki sendiri tidak tahan terhadap godaan dan tantangan teknologi Barat sehingga tunduk kepada teknologi. Hasil teknologi Barat melebihi kebutuhan manusia, bahkan mengganggu kepentingan manusia karena terlalu cepat sampai ke depan (Alfin Topler menyebutnya future shock). Cepatnya teknologi di Barat sulit diikuti imajinasi sehingga banyak benda yang cepat dimusiumkan. Di Barat tidak sedikit manusia yang dikuasai oleh perubahan teknologi sehingga menimbulkan dampak kehilangan arah, hilang kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadap nilai-nilai dan iman. Timbul kecemasan, tekanan hidup, acuh tak acuh, dan terganggu kesehatan mental. Akibatnya, teknologi yang tadinya meningkatkan nilai eksistenssi manusia, secara serempak juga merendahkan martabat manusia. Yang menjadi ukuran dalam budaya teknologi sekarang adalah teknologi kultur orang, kuantitas (produksi yang melimpah), kultur buatan (artificial), control menyeluruh (kemahakuasaan sistem).
          Di Barat lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkembang dalam pengetahuan deskriptif dan spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu menyebabkan perkembangan yang pesat dalam filsafat profesi pengonsepan evolusi kreatif serta kemajuan. Dengan demikian, waktu mempunyai peran dalam keselamatan manusia. Manusia dengan alam menurut konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal ini tertulis dalam kat-kata: menaklukan luar Angkasa, menaklukan alam dan hutan rimba. Kata-kata tersebut dibuktikan oleh problema yang dihadapi Barat seperti polusi udara dan air. Pendek kata, Barat memiliki persepsi yang berbeda terhadap pengetahuan, keinginan, watak, proses waktu, dan sikap terhadap alam.
2.    Nilai Budaya Tmur
          Nilai budaya Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur. Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh eksistensinya. Berpikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia Timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan. Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.
           Nilai budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, dan tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencari kesenangan bagi dirinya. Aka tetapi, yang baik itu diperoleh melalui pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya.
          Di Timur dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberikan kehidupan, member makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia, bagi dunia Timur cukup kuat. Ide keselamatan ini besar pengaruhnya dalam membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui melalui meditasi, tirakat (ascetic), dan mistik.
          Dalam hal menegakan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide abstrak atau simbolik pun dapat terwujud konkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran yang konkret, simbolik, dan kebijaksanaan.
          Sikap orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmonisasi dengan alam karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kalu alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang harmonis terkadang muncul ekspresi konkret dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang tertinggi datang dari alam, seperti “nrimo” kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan, belajar dari pengalaman, menyatukan diri,. Terkadang nilai spiritual yang dalam itu membuat sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, mengdindar untuk membangun dunia, hisup sederhana dan dekat dengan kehidupan alamiah. Ringkasnya, Dunia Timur menginginkan kakayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenag tentram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas, dan menarik diri.
3.    Reaksi dan Sikap Budaya Timur
          Pribadi dalam dunia Timur keadaan partisipasi yang tidak individual. Martabat pribadi dibentuk dalam proses kompromi sosial, tidak dibiarkan seseorang “mengurus dirinya sendiri”. Pembentukan pribadi pola Barat adalah sebaliknya dari pola Timur, yaitu ketidakbergantungan, individualisme, mengasingkan diri, sehingga sering timbul segi negatifnya, yaitu kesepian dan rasa tertekan.
          Dalam realitas perkembangan kemanusiaan dan kemasyarakatan di Timur yang dirasakan sekarang, tersembunyi suatu krisis dan guncangan kebudayaan yang hebat. Hal ini sudah demikian mengeras sifatnya dan tak terelakan sehingga bangsa Timur ingin memperlihatkan cirri khas budayanya dan sekaligus member corak pergaulan dunia, sebab kebudayaan nilai tidak menghendaki adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan pengembangan penalaran yang disertai dengan wajah angkuh, bengis, dan kejam. Oleh karena itu, adanya krisis ini menimbulkan kesadaran untuk mempertahankan kembali relevensi nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan Timur. Menurut Alfian (1985: 36) ada tiga pola atau corak reaksi dalam menghadapi tantangan kebudayaan Barat, yaitu:
a.    Corak reaksi yang menerima dan merangkul bulat-bulat kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan Timur (sendiri) sudah tidak relevan lagi untuk menhadapi kondisi sekarang, hanya kebudayaan Barat yang unggul dan mampu melahirkan manusia yang berkualitas.
b.    Corak reaksi yang sama sekali anti kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan Barat hanya melahirkan manusia buas dan kejam, dan kebudayaan Timur yang lebih unggul.
c.    Corak reaksi yang berusaha melihat pembenturan kebudayaan Timur dengan Barat secara realitis dan kritis. Krisis yang mengguncangkan tidak menyebabkan hilangnya keseimbangan atau hanya memilih salah satu kebudayaan seperti digambarkan dalam pola reaksinya. Corak reaksi ini berusaha mengambil jarak dan menilai secara jujur keunggulan kebudayaan Barat dan kelemahan kebudayaan Timur, sekaligus mempertahankan relevansi nilai-nilai kebudayaannya.
          Melihat kenyataan yang dihadapi bangsa Timur, yang menjadi strategi kebudayaan nasional mungkin hanya corak reaksi ketiga, yaitu usaha mengadakan sintesis antara nilai budaya Barat dan nilai budaya Timur, atau perpaduan keduanya secara selektif.
4.    Rumusan Tentang Kebudayaan Nasional Indonesia
          Kita menyadari bahwa kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudaan dan bahasa sehingga, demi integrasi nasional, kita mempunyai rumusan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Bhinna = pecah, Ika = itu, dan Tunggal = satu, sehingga Bhinna Ika Tunggal Ika artinya “terpecah itu satu”.
          Kita bangga dengan rumusan tersebut, tetapi kita prihatin dengan aneka warna masalah yang timbul akibat aneka warna bangsa kita. Dan yang paling pokok dalam pembicaraan ini adalah masalah kebudayaan nasional Indonesia. Selain perbedaan di dalam pengertian kebudayaan nasionalnya sendiri, juga hal ini menyangkut masalah cita-cita suatu bangsa yang akan menentukan masa depannya.
          Tidak jarang sifat ke-bhinneka-an bangsa kita sampai pada konflik tingkat nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi nasional sebagai cita-cita bangsa. Demikian pula masalah kebudayaan menyangkut kepribadian nasional dan langsung mengenai identitas suatu bangsa. Dan logikanya proses pembangunan manusia dan masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari unsure kebudayaan. Manusia dan masyarakat tidak akan berhasil dalam pembangunan dirinya kalau selalu sadar terhadap pengaruh kebudayaan yang tak mungkin dapat ditolaknya.
          Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, kita perlu menelusuri kebudayaan nasional Indonesia. Pembicaraan kebudayaan nasional dimulai sejak tahun 1936 ketika diselenggarakan polemik kebudayaan antara Sultan Takdir Alisjahbana c.s. di satu pihak (sebagai wakil Golongan Indonesia Moeda) dan Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, serta Dr. Sutomo dipihak lain. Polemic ini lengkapnya ada dalam buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Poestaka pada tahun 1948.
          Rumusan tentang kebudayaan nasional itu dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu:
1.    Ke-Indonesiaan sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, mulai dari adat, seni, dan lain-lain. Yang belum ada ialah nasion Indonesia. Jadi, yang perlu diusahakan oleh bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan nasionalnya ialah bagaimana memperbaharui kebudayaan sehingga sesuai dengan kebangsaan Indonesia. Jalan yang harus ditempuh ialah perluasan dasar kebudayaan Indonesia dengan cara memesrakan (menyerapkan, memadukan) materialisme, intelektualisme, dan individualisme (Barat) dengan spritualisme, perasaan, dan kolektivisme (Timur). Aliran pertama ini dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara c.s.
2.    Aliran yang dipelopori oleh SSultan Takdir Alisjahbana menghendaki penciptaan kebudayaan nasional Indonesia banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Barat yang dinamis. Kebudyaan nasional yang baru itu dengan sendirinya mencerminkan pula watak dan kepribadian bangsa Indonesia yang berbeda dengan watak dan kepribadian sebelumnya (masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia).
          Kalau diperhatikan dengan seksama, sebenarnya kedua aliran tersebut menghendaki adanya peranan kebudayaan Barat dalam kebudayaan nasional, hanya dalam hal peranannya yang berbeda. Aliran pertama – Ki Hajar Dewantara c.s.- menghendaki perluasan dasar asas Barat. Bukan perubahan, melainkan perluasan dengan asas Barat. Kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus mementingkan kerokhanian, perasaan, gotong royong, bertentangan dengan kebudayaan Barat yang mementingkan materi, intelektualisme, dan individualism. Orang Indonesia tidak boleh melupakan sejarah dan kebudayaannya, sebab dengan mempelajari sejarah dan kebudayaan di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia harus berakar pada kebudayaan pra-Indonesia.
          Aliran kedua Sultan Takdir Alisjahbana c.s. menghendaki semangat Barat yang kreatif dalam segala lapangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, semangat menundukan alam untuk kepentingan manusia. Semangat Barat yang dinamis pada hakikatnya bersaudara dengan semangat Indonesia. Jadi, diperlukan perubahan mental dari yang statis kepada yang dinamis untuk membangun kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional menurut Sultan Takdir Alisjahbana baru muncul pada permulaan abad ke-20 oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangatan ke-Indonesiaan. Kebudayaan Indonesia merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan Barat yang universal. Unsur kebudayaan Barat tersebut adalah teknologi, orientasi ekonomi, keterampilan berorganisasi secara luas, dan ilmu pengetahuan. Orang Indonesia harus mempertajam akalnya dan mengambil alih dinamisme dari Barat.
          Pendapat lain yang tidak mengikutsertakan unsur Barat adalah pendapat Harsya Bachtiar. Harsya mengatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia di dalam masyarakat Indonesia yang merdeka haruslah suatu kebudayaan “yang baru sama sekali”, bersih dari kebudayaan feodalis dan atau sisa-sisanya, maupun dari ciri-ciri arkais sekuisme atau macam-macam etnosentrisme lainnya.
          Koentjaraningrat berpendapat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga ke zaman yang sekarang karena kebudayaan perlu member kemampuan bangsa Indonesia untuk menghadapi peradaban dunia masa kini. Konsep Koentjaraningrat tentang kebudayaan nasional bersifat operasional, yaitu berorientasi pada warisan nenek moyang dari zama kejayaan dan pada zaman sekarang, yaitu zaman modern (Barat). Dalam pemikiran ini tercermin adanya sintesis antara Barat dan Timur, warisan dari zaman keemasan nenek moyang artinya sealiran dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara c.s.
          Karena Indonesia mempunyai landasan Ideologi Pancasila, maka ditinjau dari perspektif fungsional, pancasila akan diuji karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan menentukan orientasi tujuan sosio-politik serta serta kebudayaan pada tingkat makro, akan menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan nasional. Pancasila dalam hal ini tidak hanya menjadi determinasi bagi kehidupan moral bangsa, tetapi memiliki fungsi teologis (teori) akan memberikan paying ideologis bagi berbagai unsur masyarakat.
          Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang meliputi eksistensi manusia Indonesia, dapat berfungsi sebagai etos kebudayaan nasional. Pancasila sebagai etos kebudayaan Indonesia harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, pancasila berfungsi sebagai kebudayaan normatif yang akan menjelma berupa personalisasi. Personalisasi tersebut merupakan kebudayaan nasional yang meliputi konsep kepribadian nasional dan identitas nasional.
         

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
    Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan selalu melanda semua bangsa dan negara di dunia demikian pula tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia. Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan oleh Munandar (1987) dibagi atas: cultural lag, cultural survival, cultural conflict dan cultural shock. Fenomena ini tidak lain diakibatkan oleh dua faktor yang berasal dari dalam dan faktor yang berasal dari luar, faktor dari dalam yaitu bertambahnya atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Sedangkan faktor dari luarnya yaitu sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia, peperangan dengan negara lain, serta pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Walaupun perubahan sosial dan perubahan kebudayaan itu berbeda, pembahasan kedua perubahan itu tidak akan mencapai suatu pengertian yang benar tanpa mengaitkan keduanya.
3.2    Saran
    Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan kebudayaan yang terbentuk dari berbagai macam kebudayaan suku dan agama sehingga banyak tantangan yang selalu merongrong keutuhan budaya itu tapi dengan semangat kebhinekaan sampai sekarang masih eksis dalam terpaan zaman. Kewajiban kita sebagai anak bangsa untuk tetap mempertahankannya budaya itu menuju bangsa yang abadi, luhur, makmur dan bermartabat. Penulis juga menyarankan kepada seluruh lapisan masyarakat terutama anak muda untuk menyaring seluruh kebudayaan asing yang masuk ke budaya Indonesia, dalam hal ini kita perlu bersifat bijak dengan seksama dan cermat dalam menghadapinya agar jika suatu saat nanti kita mengahapi peristiwa-peristiwa kebudayaan kita tidak mengalami guncangan yang dapat mengganggu psikologis sehingga kita dapat menerimanya dengan bersifat terbuka sesuai dengan tuntutan zaman.

DAFTAR PUSTAKA
Jacobus Ranjabar, S.H., M.Si., Sistem Sosial Budaya Indonesia suatu pengantar, Bandung: CV. Alfabeta, 2013
M. Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial Rekontruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem, Jakarta: Institut Pembelajaran Gelar Hidup [IPGH], 2014
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Prof. Dr. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, 2009
Dr. M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Pengantar ke Arah Ilmu Sosial Budaya Dasar/ISBD/Social Culture, Bandung: PT. Refika Aditama, 2012
Dr. Esti Ismawati, M.Pd., Ilmu Sosial Budaya Dasar, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012



[1] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi edisi pertama, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, halaman 115.
[2] St. Takdir Alisjahbana, 1982: 7 dan seterusnya.
[3] Pitirim A. Sorokin, Comtemporary Sociological Theories, (New York: Harper and Brothers, 1928), hlm. 739.
[4] Kingsley Davis, op.cit., hlm. 622-623
[5] Paul Bohannan: Social Anthropology (New York: Holt Rinehart and Winston etc 1963), hlm. 360 dan seterusnya.
[6] Wilbert E. Moore, op.cit., hlm. 72 dan seterusnya.
[7] Clifford Geertz, The Social Context of Economic Change: An Indonesian Case Study, mimeographed paper, MIT, Cambridge Mass, 1956, hlm. 13. Bacalah juga W.F Wetheim, East-West Parallels, W. van Hoege, the Hague, 1964, hlm. 217.
[8] Selo Soemardjan, op.cit., hlm. 381 dan seterusnya
[9] Ibid., hlm. 380, 381.
[10] Henry Pratt Fairchild and 100 authorities, Dictionary of Sociology and Related Science, Littlefield, Adams & Co, Ames-lowa, 1976, hlm. 282 dan 288: bandingkanlah dengan William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, op.cit., hlm. 757 dan seterusnya.
[11] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, op.cit., hlm. 489. Mac Iver dan Page dalam bukunya Society, an introductory analysis, menyebutkan lingkungan alam fisik, faktor teknologi dan faktor kebudayaan sebagai penyebab perubahan-perubahan. Lihat hlm. 509, 531, 542, 574 dari buku tersebut.
[12] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Penerbit Universitas, 1965), hlm. 135 dan seterusnya.
[13] Artinya, penghubung garis keturunan laki-laki belaka.
[14] R. Soepomo, De verhouding van individu en gemeenschap in het adatrecht, rede uitgesproken bij de aanvaarding van het ambt van buitengewoon hoogleraar in het adatrecht aan de Rechtshogeschool the Batavia op. 31 Maret 1941, J.B. Wolters Gronigren, Batavia, 1941, hlm. 20.
[15] Selo Soemardjan, op.cit., halaman 383
[16] Ibid., halaman 384
[17] Ogburn dan Nimkoff, op.cit., halaman 728 dan seterusnya.
[18] Juga sering disebut sebagai social-lag
[19] Dikutip dari Master Plan DKI Jaya 1965-1985, Lampiran 4: Prasarana listrik
[20] Ogburn dan Nimkoff, op.cit..halaman 732 dan seterusnya.
[21] Bacalah “The Modernizaion of Man” oleh Alex Inkeles, dalam Modernization: The dynamics of growth, Myron Weiner, (ed)., Voice of America Forum Lectures, Cambridge-Mass, 1966 halaman 151-163
[22] Menurut Brislin tahun 1981
[23] Menurut Alport

Tidak ada komentar:

Posting Komentar