Minggu, 25 Desember 2016

Barat dan Timur di Antara Kebudayaan Nasional

Barat dan Timur di Antara Kebudayaan Nasional
          Hampir sepanjang sejarah, kontak antara Timur dengan Barat lebih berwujud konflik, disharmoni, persaingan, atau perang dibanding konsensus nilai atau saling mengerti. Meskipun teknologi dan komunikasi sudah demikian modern dan canggihnya, tetap saja ketidaktahuan di antara Barat dan Timur menyelimuti pengetahuan kebudayaan dan nilai spiritual yang dimiliki. Demikian pula adanya orientalisme (ilmu ketimuran atau ilmu tentang dunia Timur) tidak membantu terjadinya harmoni antara Barat dan Timur. Justru sebaliknya, banyak orientalis (ahli Barat yang mempelajari Timur) tidak memberikan gambaran objektif, bahkan banyak penelitian orientalis yang digunakan dalam rangka memperkuat penetrasi politik Barat. Khusus umat Islam Indonesia dengan orientalis Snouck Hurgronje merupakan contoh yang jelas tentang adanya disharmoni di antara Barat dan Timur.
          Terjadinya disharmoni di antara Barat dan Timur disebabkan oleh pikiran Barat tentang Timur yang penuh dengan bayangan negatif yang stereotipe dan prasangka. Akibat demikian, alam pikiran barat dengan Timur tidak pernah bertemu. Dalam pikiran Timur, Barat digambarkan sebagai materialisme kapitalisme, rasionalisme, dinamisme, saintisme, positivisme, sekularisme, dan lain-lain. Sebaliknya pikiran Barat membayangkan Timur sebagai kemiskinan, kobodohan, statis, fatalis, kontemplasi, dan lain-lain. Tebtu saja kalau bayangan pikiran Barat dan Timur digambarkan demikian, maka Barat dan Timur terdapat sikap yang berlawanan, yang pada gilirannya akan terwujud konflik, disharmoni, persaingan, atau perang.
          Untuk membuktikan apakah betul bahwa antara Barat dan Timur terjadi sikap yang berlawanan, kita perlu menelusuri masing-masing watak dan pemikiran tersebut.
1.    Nilai Budaya Barat
          Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Firasat Barat telah dipusatkan kepada wujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan mempunyai dasar empiris yang kuat. Demikian pula dalam tradisi agama Barat, dunia empiris memiliki arti (Harold, Merylin, dan Richard, 1979). Pada zaman sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional di dunia Barat unggul, sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan mundur.
          Barat dalam cara berpikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup sehingga tidak cocok dengan cara berpikir untuk meninjau makna dunia dan makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional dan pemahaman agama muncul sebagai suatu sistemik ide-ide abstrak tanpa hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas dasar hidup dan pikiran orang semakin berkurang karena Barat mengunggulkan cara berpikir analitis rasional, yakni filsafat positivism, maka mereka menganggap pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai suatu yang subjektif dan tidak bermutu. Apa yang tidak rasional diserahkan pada daya pembayangan para sastrawan, sehingga karya sastra bukan saja pantulan hidup, melainkan juga merupakan norma kehidupan (Theo Huijbers, 1986). Kalau begitu, apa yang menjadi dasar nilai-nilai di Barat? Menutut To Thi Anh (1975) ada tiga nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat, yakni martabat manusia, kebebasan, dan teknologi.
          Dalam tradisi humanistik ditekankan bahwa setiap manusia harus memilih untuk dirinya tentang kebenaran dan kebaikan. Akibatnya gerakan sekularisme pemikiran semakin berkembang dan diperluas ke bidang estetika, moral, dan agama. Agama yang dikalangan Timur merupakan sumber nilai, di Barat dicampakan. Barat menganggap kebajikan agama tidak ada bedanya dengan kebajikan kodrati manusia. Barat ingin membangun agama baru yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebab agama (di Barat) mengalami kemunduran melalui tekanan mentalitas ilmiah. Di Barat kepuasan diperoleh melalui usaha-usaha atau perhatian terhadap benda, kenikmatan dan keselarasan di dunia. Usha-usaha ini dengan sendirinya dapat menimbulkan kondisi kehidupan yang penuh dengan persaingan masyarakat dalam mencapai kehidupan, terkadang dapat menimbulkan kekacauan.
          Tentang kebebasan di Barat cukup menarik untuk diamati. Semua orang Timur menganggap bahwa Barat itu negara kebebasan, segala sesuatunya serba mungkin terjadi. Hal ini mulai dari sosialisasi anak, yang dibiarkan untuk membentuk dirinya sendiri dan mengembangkan bakatnya sendiri. Spontanitas lebih dihargai dan individu bebas dari tekanan dan campur tangan orang lain. Akhirnya kebebasan itu diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, kebudayan, dan ekonomi. Tradisi kebebasan ini menimbulkan rasa percaya diri dan kemampuan serta menghilangkan perbedaan status sosial.
          Teknologi Barat membikin kagum dan iri bangsa Timur. Tidak sedikit negara Timur yang menjadi korban “penjajahan” teknologi Barat karena rasa kagum ini. Filsafat berdiri di atas kaki sendiri tidak tahan terhadap godaan dan tantangan teknologi Barat sehingga tunduk kepada teknologi. Hasil teknologi Barat melebihi kebutuhan manusia, bahkan mengganggu kepentingan manusia karena terlalu cepat sampai ke depan (Alfin Topler menyebutnya future shock). Cepatnya teknologi di Barat sulit diikuti imajinasi sehingga banyak benda yang cepat dimusiumkan. Di Barat tidak sedikit manusia yang dikuasai oleh perubahan teknologi sehingga menimbulkan dampak kehilangan arah, hilang kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadap nilai-nilai dan iman. Timbul kecemasan, tekanan hidup, acuh tak acuh, dan terganggu kesehatan mental. Akibatnya, teknologi yang tadinya meningkatkan nilai eksistenssi manusia, secara serempak juga merendahkan martabat manusia. Yang menjadi ukuran dalam budaya teknologi sekarang adalah teknologi kultur orang, kuantitas (produksi yang melimpah), kultur buatan (artificial), control menyeluruh (kemahakuasaan sistem).
          Di Barat lebih condong menekankan dunia empiris sehingga mereka maju dalam sains dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkembang dalam pengetahuan deskriptif dan spesialisasi. Dukungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu menyebabkan perkembangan yang pesat dalam filsafat profesi pengonsepan evolusi kreatif serta kemajuan. Dengan demikian, waktu mempunyai peran dalam keselamatan manusia. Manusia dengan alam menurut konsep Barat adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal ini tertulis dalam kat-kata: menaklukan luar Angkasa, menaklukan alam dan hutan rimba. Kata-kata tersebut dibuktikan oleh problema yang dihadapi Barat seperti polusi udara dan air. Pendek kata, Barat memiliki persepsi yang berbeda terhadap pengetahuan, keinginan, watak, proses waktu, dan sikap terhadap alam.
2.    Nilai Budaya Tmur
          Nilai budaya Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur. Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh eksistensinya. Berpikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia Timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan. Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.
           Nilai budaya yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur bersifat kontemplatif, tertuju kepada tinjauan kebenaran. Dengan demikian, berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana, dan tidak mementingkan dunia, bahkan menjauhkan diri dari dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencari kesenangan bagi dirinya. Aka tetapi, yang baik itu diperoleh melalui pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya.
          Di Timur dicari keharmonisan dengan alam, sebab alam memberikan kehidupan, member makanan, tempat berteduh, bahan untuk seni dan sains. Nafsu untuk memperoleh hikmah atau kerinduan akan keselamatan dan kebebasan diri dari penderitaan dunia, bagi dunia Timur cukup kuat. Ide keselamatan ini besar pengaruhnya dalam membentuk mentalitas, teori, dan praktek bangsa Timur. Jalan untuk memperoleh ini semua tidak terletak pada akal budinya, tetapi dilalui melalui meditasi, tirakat (ascetic), dan mistik.
          Dalam hal menegakan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama, tetapi ide abstrak atau simbolik pun dapat terwujud konkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran yang konkret, simbolik, dan kebijaksanaan.
          Sikap orang Timur terhadap alam adalah menyatu dengan alam, tidak memaksakan diri dengan atau mengeksploitasi alam, bahkan menginginkan harmonisasi dengan alam karena alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kalu alam binasa, maka manusia pun akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang harmonis terkadang muncul ekspresi konkret dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang tertinggi datang dari alam, seperti “nrimo” kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan, belajar dari pengalaman, menyatukan diri,. Terkadang nilai spiritual yang dalam itu membuat sikap memuliakan kesendirian dan kemiskinan, mengdindar untuk membangun dunia, hisup sederhana dan dekat dengan kehidupan alamiah. Ringkasnya, Dunia Timur menginginkan kakayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenag tentram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas, dan menarik diri.
3.    Reaksi dan Sikap Budaya Timur
          Pribadi dalam dunia Timur keadaan partisipasi yang tidak individual. Martabat pribadi dibentuk dalam proses kompromi sosial, tidak dibiarkan seseorang “mengurus dirinya sendiri”. Pembentukan pribadi pola Barat adalah sebaliknya dari pola Timur, yaitu ketidakbergantungan, individualisme, mengasingkan diri, sehingga sering timbul segi negatifnya, yaitu kesepian dan rasa tertekan.
          Dalam realitas perkembangan kemanusiaan dan kemasyarakatan di Timur yang dirasakan sekarang, tersembunyi suatu krisis dan guncangan kebudayaan yang hebat. Hal ini sudah demikian mengeras sifatnya dan tak terelakan sehingga bangsa Timur ingin memperlihatkan cirri khas budayanya dan sekaligus member corak pergaulan dunia, sebab kebudayaan nilai tidak menghendaki adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan pengembangan penalaran yang disertai dengan wajah angkuh, bengis, dan kejam. Oleh karena itu, adanya krisis ini menimbulkan kesadaran untuk mempertahankan kembali relevensi nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan Timur. Menurut Alfian (1985: 36) ada tiga pola atau corak reaksi dalam menghadapi tantangan kebudayaan Barat, yaitu:
a.    Corak reaksi yang menerima dan merangkul bulat-bulat kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan Timur (sendiri) sudah tidak relevan lagi untuk menhadapi kondisi sekarang, hanya kebudayaan Barat yang unggul dan mampu melahirkan manusia yang berkualitas.
b.    Corak reaksi yang sama sekali anti kebudayaan Barat. Corak ini menganggap kebudayaan Barat hanya melahirkan manusia buas dan kejam, dan kebudayaan Timur yang lebih unggul.
c.    Corak reaksi yang berusaha melihat pembenturan kebudayaan Timur dengan Barat secara realitis dan kritis. Krisis yang mengguncangkan tidak menyebabkan hilangnya keseimbangan atau hanya memilih salah satu kebudayaan seperti digambarkan dalam pola reaksinya. Corak reaksi ini berusaha mengambil jarak dan menilai secara jujur keunggulan kebudayaan Barat dan kelemahan kebudayaan Timur, sekaligus mempertahankan relevansi nilai-nilai kebudayaannya.
          Melihat kenyataan yang dihadapi bangsa Timur, yang menjadi strategi kebudayaan nasional mungkin hanya corak reaksi ketiga, yaitu usaha mengadakan sintesis antara nilai budaya Barat dan nilai budaya Timur, atau perpaduan keduanya secara selektif.
4.    Rumusan Tentang Kebudayaan Nasional Indonesia
          Kita menyadari bahwa kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudaan dan bahasa sehingga, demi integrasi nasional, kita mempunyai rumusan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Bhinna = pecah, Ika = itu, dan Tunggal = satu, sehingga Bhinna Ika Tunggal Ika artinya “terpecah itu satu”.
          Kita bangga dengan rumusan tersebut, tetapi kita prihatin dengan aneka warna masalah yang timbul akibat aneka warna bangsa kita. Dan yang paling pokok dalam pembicaraan ini adalah masalah kebudayaan nasional Indonesia. Selain perbedaan di dalam pengertian kebudayaan nasionalnya sendiri, juga hal ini menyangkut masalah cita-cita suatu bangsa yang akan menentukan masa depannya.
          Tidak jarang sifat ke-bhinneka-an bangsa kita sampai pada konflik tingkat nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi nasional sebagai cita-cita bangsa. Demikian pula masalah kebudayaan menyangkut kepribadian nasional dan langsung mengenai identitas suatu bangsa. Dan logikanya proses pembangunan manusia dan masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari unsure kebudayaan. Manusia dan masyarakat tidak akan berhasil dalam pembangunan dirinya kalau selalu sadar terhadap pengaruh kebudayaan yang tak mungkin dapat ditolaknya.
          Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, kita perlu menelusuri kebudayaan nasional Indonesia. Pembicaraan kebudayaan nasional dimulai sejak tahun 1936 ketika diselenggarakan polemik kebudayaan antara Sultan Takdir Alisjahbana c.s. di satu pihak (sebagai wakil Golongan Indonesia Moeda) dan Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, serta Dr. Sutomo dipihak lain. Polemic ini lengkapnya ada dalam buku Polemik Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Poestaka pada tahun 1948.
          Rumusan tentang kebudayaan nasional itu dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu:
1.    Ke-Indonesiaan sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, mulai dari adat, seni, dan lain-lain. Yang belum ada ialah nasion Indonesia. Jadi, yang perlu diusahakan oleh bangsa Indonesia dalam membangun kebudayaan nasionalnya ialah bagaimana memperbaharui kebudayaan sehingga sesuai dengan kebangsaan Indonesia. Jalan yang harus ditempuh ialah perluasan dasar kebudayaan Indonesia dengan cara memesrakan (menyerapkan, memadukan) materialisme, intelektualisme, dan individualisme (Barat) dengan spritualisme, perasaan, dan kolektivisme (Timur). Aliran pertama ini dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara c.s.
2.    Aliran yang dipelopori oleh SSultan Takdir Alisjahbana menghendaki penciptaan kebudayaan nasional Indonesia banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Barat yang dinamis. Kebudyaan nasional yang baru itu dengan sendirinya mencerminkan pula watak dan kepribadian bangsa Indonesia yang berbeda dengan watak dan kepribadian sebelumnya (masyarakat dan kebudayaan pra-Indonesia).
          Kalau diperhatikan dengan seksama, sebenarnya kedua aliran tersebut menghendaki adanya peranan kebudayaan Barat dalam kebudayaan nasional, hanya dalam hal peranannya yang berbeda. Aliran pertama – Ki Hajar Dewantara c.s.- menghendaki perluasan dasar asas Barat. Bukan perubahan, melainkan perluasan dengan asas Barat. Kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus mementingkan kerokhanian, perasaan, gotong royong, bertentangan dengan kebudayaan Barat yang mementingkan materi, intelektualisme, dan individualism. Orang Indonesia tidak boleh melupakan sejarah dan kebudayaannya, sebab dengan mempelajari sejarah dan kebudayaan di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia harus berakar pada kebudayaan pra-Indonesia.
          Aliran kedua Sultan Takdir Alisjahbana c.s. menghendaki semangat Barat yang kreatif dalam segala lapangan kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, semangat menundukan alam untuk kepentingan manusia. Semangat Barat yang dinamis pada hakikatnya bersaudara dengan semangat Indonesia. Jadi, diperlukan perubahan mental dari yang statis kepada yang dinamis untuk membangun kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional menurut Sultan Takdir Alisjahbana baru muncul pada permulaan abad ke-20 oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangatan ke-Indonesiaan. Kebudayaan Indonesia merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan Barat yang universal. Unsur kebudayaan Barat tersebut adalah teknologi, orientasi ekonomi, keterampilan berorganisasi secara luas, dan ilmu pengetahuan. Orang Indonesia harus mempertajam akalnya dan mengambil alih dinamisme dari Barat.
          Pendapat lain yang tidak mengikutsertakan unsur Barat adalah pendapat Harsya Bachtiar. Harsya mengatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia di dalam masyarakat Indonesia yang merdeka haruslah suatu kebudayaan “yang baru sama sekali”, bersih dari kebudayaan feodalis dan atau sisa-sisanya, maupun dari ciri-ciri arkais sekuisme atau macam-macam etnosentrisme lainnya.
          Koentjaraningrat berpendapat bahwa pembangunan kebudayaan nasional Indonesia perlu berorientasi ke zaman kejayaan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah lampau, tetapi juga ke zaman yang sekarang karena kebudayaan perlu member kemampuan bangsa Indonesia untuk menghadapi peradaban dunia masa kini. Konsep Koentjaraningrat tentang kebudayaan nasional bersifat operasional, yaitu berorientasi pada warisan nenek moyang dari zama kejayaan dan pada zaman sekarang, yaitu zaman modern (Barat). Dalam pemikiran ini tercermin adanya sintesis antara Barat dan Timur, warisan dari zaman keemasan nenek moyang artinya sealiran dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara c.s.
          Karena Indonesia mempunyai landasan Ideologi Pancasila, maka ditinjau dari perspektif fungsional, pancasila akan diuji karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan menentukan orientasi tujuan sosio-politik serta serta kebudayaan pada tingkat makro, akan menentukan kaidah-kaidah yang mendasari pola kehidupan nasional. Pancasila dalam hal ini tidak hanya menjadi determinasi bagi kehidupan moral bangsa, tetapi memiliki fungsi teologis (teori) akan memberikan paying ideologis bagi berbagai unsur masyarakat.
          Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang meliputi eksistensi manusia Indonesia, dapat berfungsi sebagai etos kebudayaan nasional. Pancasila sebagai etos kebudayaan Indonesia harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, pancasila berfungsi sebagai kebudayaan normatif yang akan menjelma berupa personalisasi. Personalisasi tersebut merupakan kebudayaan nasional yang meliputi konsep kepribadian nasional dan identitas nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar