Senin, 26 Desember 2016

Problematika Pendidikan Karakter di Sekolah



Problematika Pendidikan Karakter di Sekolah

Globalisasi merupakan sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri lagi sehingga pengetahuan dan teknologi menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut A. Qodri Azizy (2004: 26), kata kunci globalisasi adalah kompetisi. Sehingga globalisasi memberi peluang dan fasilitas bagi semua orang yang mau dan mampu untuk memanfaatkannya baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan manusia.  Globalisisasi sudah menembus seluruh penjuru dunia bahkan masuk hingga daerah terpencil sekalipun, mampu menerobos gerbang pertahanan moral dan agama sekuat apapun dipertahankan. Moralitas menjadi longgar sesuatu yang dahulu diaggap tabu, sekarang menjadi hal yang biasa saja. Cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis, menikmati narkoba dan tempat-tempat hiburan menjadi salah satu tren dunia modern yang sulit ditanggulangi.
Akhirnya, dari semua hal tersebut mengakibatkan karakter anak bangsa berubah menjadi rapuh, tidak bertanggung jawab karena terlena degan kehidupan dunia modern yang menyenangkan. Inilah yang menyebabkan terjadi dekadensi moral yang menghilangkan kreativitas dan produktivitas anak bangsa yang seharusnya menjadi harapan untuk generasi yang akan datang. Maka disinilah, pentingnya internalisasi pendidikan karakter di sekolah secara intensif sebagai pondasi yang kokoh dalam mencetak siswa yang memiliki kecerdasan intelektual serta kecerdasan emosional dan spriritual.
Pentingnya pendidikan karakter sudah seharusnya menjadi kesadaran bersama dalam proses pelaksanaannya baik dari keluarga, sekolah, masyarakat dilingkungannya. Menurut M. Furqon Hidayatullah mengutip pendapatnya Rutland (2009: 1) yang mengemukakan bahwa karakter berasal dari akar kata Latin yang berarti “dipahat”. Secara harfiah, karakter artinya adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasinya (Hornby dan Parnwell, 1972: 49). Sedangkan menurut penulis pengertian karakter sendiri merujuk kepada suatu ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh suatu benda atau seseorang dan itu akan berbeda-beda dengan yang lain.
Seperti yang telah menjadi tujuan nasional yaitu pembentukan karakter tercantum dalam Pasal 1 UU SISDIKNAS tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah pengembangan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan anak didik berfikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami.[1]
Dalam hal ini penulis akan membahas mengenai permasalahan mengenai terjadinya dekadensi moral di kalangan remaja khususnya yang masih berada jenjang sekolah. Selama ini pendidikan karakter di sekolah menjadi hal yang banyak dilupakan oleh pihak sekolah dan kaum tenaga pendidik, sekolah hanya memberikan pengetahuan baik tidaknya sesuatu tanpa memperlihatkan pada suatu tindakan implementasinya. Mereka terlalu fokus pada target yaitu ujian nasional dan kompetensi akademisnya. Kecerdasan intelektual di prioritaskan dan kecerdasan emosional dan spiritual menjadi termarginalkan. Hasilnya kecerdasan intelektual akan hancur bila tidak dilandasi oleh kecerdasan emosional dan spiritual.
Banyak contoh kasus yang menjadi masalah yang diakibatkan oleh pemerosotan moral. Pertama, seperti yang sedang terjadi saat ini yaitu pembunuhan dosen oleh mahasiswa karena masalah nilai yang terjadi di Medan pada senin 02/05/2016. Kasus ini berawal dari dosen yang menemukan mahasiswa tersebut sedang melakukan hal buruk yaitu ketahuan pacaran di kamar mandi. Jadi, dosen tersebut memberi nilai buruk sehingga IP-nya rendah, hal ini yang menjadi alasan mahasiswa tersebut untuk membalaskan dendamnya lantaran tidak terima memperolah nilai yang jelek. Kedua, Seorang pelajar SMK di Tangerang nekat membacok dua gurunya hanya gara-gara sering dimarahi di sekolah. Kedua guru wanita tersebut kini kritis akibat sabetan golok di kepala. Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu (7/10/2015) sekitar pukul 00.45 WIB di Rumah Yayasan Darussalam, Jalan Samirun Kampung  Bubulak RT 01/03 Mekarbakti, Panongan, Kabupaten Tangerang 
Dari berbagai peristiwa tersebut menjelaskan bahwa memang saat ini menurut penulis dunia pendidikan yang seharusnya mampu menciptakan kader-kader untuk masa depan dirasa gagal dalam menjalankan upaya-upaya dalam menanamkan pendidikan karakter pada kalangan pelajar, padahal dalam hal ini pendidikan karakter sangat dibutuhkan di dunia yang sudah semakin modern saja itulah sebabnya pendidikan karakter menjadi tujuan utama dalam Pasal 1 UU SISDIKNAS tahun 2003.
Lahirnya pendidikan karakter juga merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan kebali pedagogi ideal-spriritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang di pelopori oleh filfuf Prancis yaitu August Comte. Aliran ini menjelaskan mengenai cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains jadi selalu dianggap benar terhadap realitas yang terjadi. Pendidikan pada tingkatan institusi yang mengarah pada pembentukan budaya sekolah, budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut dimata masyarakat luas.[2]
Seorang guru yang seharusnya mampu menjadi contoh teladan bagi peserta didiknya serta yang harus dihormati justru saat ini kondisinya menjadi terbalik dikarenakan gagal dalam mengajarkan pendidikan karakter. Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, bergaur serta tidak dapat mengontrol emosinya. Maka dari itu menurut Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang dimasyarakat adalah 80% keberhasilan seseorang di masyarakat dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20% ditentukan oleh kecerdasan otak. Menurut Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, melalui Kementerian Pendidikan Nasional, Pemerintah sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD hingga perguruan tinggi. Hal tersebut dilakukan melalui adanya pelajarn agama dan pancasila dan lain sebagainya yang memang berguna dalam membentuk kepribadian peserta didik. Akan tetapi hal tersebut akan berhasil jika seorang tenaga pendidik itu mampu untuk dapat mengimplementasikan teori tersebut dalam sebuah tindakan yang mana nantinya akan di contoh oleh peserta didik karena sudah diaggap benar. Contohnya dengan diterapkannya shalat berjadapat bertanggung jawab maka pelan-pelan namun pasti moral peserta didik akan semakin berkembang dan tertata sehingga, jika mereka melakukan perbuatan yang menyimpang maka mereka akan merasa malu dan tidak. Mencium tangan saat bersalaman merupakan perbuatan yang mencerminkan kerendahan hati dan sebagai simbol penghormatan kepada seorang yang dihormati dan disegani.
Sudah waktunya dunia pendidikan dari upaya komesialisasi. Dunia pendidikan sangat membutuhkan sumber finansial yang tangguh, mapan, profesional dan akuntabel. Namun, dalam hal ini dunia pendidikan tidak boleh dijadikan sebagai ajang bisnis karena nantinya dari hal tersebut maka akan mengorbankan visi dan misi serta orientasi dalam mendidik anak. Dunia pendidikan ini seharusnya mampu atau mempunyai indenpedensi ekonomi berupa koperasi, macam-macam usaha kecil dan investasi di berbagai saham agar nantinya akan menghasilkan keuntungan yang dapat berguna bagi peserta didik sehingga anak tidak dijadikan sebagai sasaran tembak dalam melakukan komersilisasi pendidikan yang sangat memberatkan bagi pihak orang tua.


[1] D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri; Mendongkrak Kualitas Pendidikan (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hal. 1-2.
[2] Kemendiknas, op. cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar