Problematika
Pendidikan Karakter di Sekolah
Globalisasi
merupakan sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri lagi sehingga pengetahuan
dan teknologi menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut
A. Qodri Azizy (2004: 26), kata kunci globalisasi adalah kompetisi. Sehingga
globalisasi memberi peluang dan fasilitas bagi semua orang yang mau dan mampu
untuk memanfaatkannya baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan
manusia. Globalisisasi sudah menembus
seluruh penjuru dunia bahkan masuk hingga daerah terpencil sekalipun, mampu
menerobos gerbang pertahanan moral dan agama sekuat apapun dipertahankan.
Moralitas menjadi longgar sesuatu yang dahulu diaggap tabu, sekarang menjadi
hal yang biasa saja. Cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis,
menikmati narkoba dan tempat-tempat hiburan menjadi salah satu tren dunia
modern yang sulit ditanggulangi.
Akhirnya,
dari semua hal tersebut mengakibatkan karakter anak bangsa berubah menjadi
rapuh, tidak bertanggung jawab karena terlena degan kehidupan dunia modern yang
menyenangkan. Inilah yang menyebabkan terjadi dekadensi moral yang
menghilangkan kreativitas dan produktivitas anak bangsa yang seharusnya menjadi
harapan untuk generasi yang akan datang. Maka disinilah, pentingnya internalisasi
pendidikan karakter di sekolah secara intensif sebagai pondasi yang kokoh dalam
mencetak siswa yang memiliki kecerdasan intelektual serta kecerdasan emosional
dan spriritual.
Pentingnya
pendidikan karakter sudah seharusnya menjadi kesadaran bersama dalam proses
pelaksanaannya baik dari keluarga, sekolah, masyarakat dilingkungannya. Menurut
M. Furqon Hidayatullah mengutip pendapatnya Rutland (2009: 1) yang mengemukakan
bahwa karakter berasal dari akar kata
Latin yang berarti “dipahat”. Secara harfiah, karakter artinya adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral,
nama atau reputasinya (Hornby dan Parnwell, 1972: 49). Sedangkan menurut
penulis pengertian karakter sendiri
merujuk kepada suatu ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh suatu benda atau seseorang
dan itu akan berbeda-beda dengan yang lain.
Seperti
yang telah menjadi tujuan nasional yaitu pembentukan karakter tercantum dalam
Pasal 1 UU SISDIKNAS tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan
nasional adalah pengembangan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian, dan akhlak mulia. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan
anak didik berfikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami.[1]
Dalam
hal ini penulis akan membahas mengenai permasalahan mengenai terjadinya
dekadensi moral di kalangan remaja khususnya yang masih berada jenjang sekolah.
Selama ini pendidikan karakter di sekolah menjadi hal yang banyak dilupakan
oleh pihak sekolah dan kaum tenaga pendidik, sekolah hanya memberikan
pengetahuan baik tidaknya sesuatu tanpa memperlihatkan pada suatu tindakan
implementasinya. Mereka terlalu fokus pada target yaitu ujian nasional dan
kompetensi akademisnya. Kecerdasan intelektual di prioritaskan dan kecerdasan
emosional dan spiritual menjadi termarginalkan. Hasilnya kecerdasan intelektual
akan hancur bila tidak dilandasi oleh kecerdasan emosional dan spiritual.
Banyak
contoh kasus yang menjadi masalah yang diakibatkan oleh pemerosotan moral. Pertama, seperti yang sedang terjadi
saat ini yaitu pembunuhan dosen oleh mahasiswa karena masalah nilai yang
terjadi di Medan pada senin 02/05/2016. Kasus ini berawal dari dosen yang
menemukan mahasiswa tersebut sedang melakukan hal buruk yaitu ketahuan pacaran
di kamar mandi. Jadi, dosen tersebut memberi nilai buruk sehingga IP-nya
rendah, hal ini yang menjadi alasan mahasiswa tersebut untuk membalaskan
dendamnya lantaran tidak terima memperolah nilai yang jelek. Kedua, Seorang pelajar SMK di Tangerang
nekat membacok dua gurunya hanya gara-gara sering dimarahi di sekolah. Kedua
guru wanita tersebut kini kritis akibat sabetan golok di kepala. Peristiwa
tersebut terjadi pada Rabu (7/10/2015) sekitar pukul 00.45 WIB di Rumah Yayasan
Darussalam, Jalan Samirun Kampung Bubulak RT 01/03 Mekarbakti, Panongan,
Kabupaten Tangerang
Dari
berbagai peristiwa tersebut menjelaskan bahwa memang saat ini menurut penulis
dunia pendidikan yang seharusnya mampu menciptakan kader-kader untuk masa depan
dirasa gagal dalam menjalankan upaya-upaya dalam menanamkan pendidikan karakter
pada kalangan pelajar, padahal dalam hal ini pendidikan karakter sangat
dibutuhkan di dunia yang sudah semakin modern saja itulah sebabnya pendidikan
karakter menjadi tujuan utama dalam Pasal 1 UU SISDIKNAS tahun 2003.
Lahirnya
pendidikan karakter juga merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan kebali
pedagogi ideal-spriritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme
yang di pelopori oleh filfuf Prancis yaitu August Comte. Aliran ini menjelaskan
mengenai cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains jadi selalu
dianggap benar terhadap realitas yang terjadi. Pendidikan pada tingkatan
institusi yang mengarah pada pembentukan budaya sekolah, budaya sekolah
merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut dimata
masyarakat luas.[2]
Seorang
guru yang seharusnya mampu menjadi contoh teladan bagi peserta didiknya serta
yang harus dihormati justru saat ini kondisinya menjadi terbalik dikarenakan
gagal dalam mengajarkan pendidikan karakter. Anak-anak yang mempunyai masalah
dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, bergaur serta tidak
dapat mengontrol emosinya. Maka dari itu menurut Daniel Goleman tentang
keberhasilan seseorang dimasyarakat adalah 80% keberhasilan seseorang di
masyarakat dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20% ditentukan oleh
kecerdasan otak. Menurut Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha, melalui
Kementerian Pendidikan Nasional, Pemerintah sudah mencanangkan penerapan
pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD hingga perguruan
tinggi. Hal tersebut dilakukan melalui adanya pelajarn agama dan pancasila dan
lain sebagainya yang memang berguna dalam membentuk kepribadian peserta didik.
Akan tetapi hal tersebut akan berhasil jika seorang tenaga pendidik itu mampu
untuk dapat mengimplementasikan teori tersebut dalam sebuah tindakan yang mana
nantinya akan di contoh oleh peserta didik karena sudah diaggap benar.
Contohnya dengan diterapkannya shalat berjadapat bertanggung jawab maka
pelan-pelan namun pasti moral peserta didik akan semakin berkembang dan tertata
sehingga, jika mereka melakukan perbuatan yang menyimpang maka mereka akan
merasa malu dan tidak. Mencium tangan saat bersalaman merupakan perbuatan yang
mencerminkan kerendahan hati dan sebagai simbol penghormatan kepada seorang
yang dihormati dan disegani.
Sudah
waktunya dunia pendidikan dari upaya komesialisasi. Dunia pendidikan sangat
membutuhkan sumber finansial yang tangguh, mapan, profesional dan akuntabel.
Namun, dalam hal ini dunia pendidikan tidak boleh dijadikan sebagai ajang
bisnis karena nantinya dari hal tersebut maka akan mengorbankan visi dan misi
serta orientasi dalam mendidik anak. Dunia pendidikan ini seharusnya mampu atau
mempunyai indenpedensi ekonomi berupa koperasi, macam-macam usaha kecil dan
investasi di berbagai saham agar nantinya akan menghasilkan keuntungan yang
dapat berguna bagi peserta didik sehingga anak tidak dijadikan sebagai sasaran
tembak dalam melakukan komersilisasi pendidikan yang sangat memberatkan bagi
pihak orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar