Minggu, 25 Desember 2016

Evolusi Filsafat Pendidikan Masa Depan



Evolusi Filsafat Pendidikan Masa Depan

            Filsafat pendidikan masa depan ditandai dengan adanya perubahan tatanan konsepsi filsafat itu sendiri. Ketika metafisika dikatakan telah mati misalnya, metafisika baru telah muncul. Demikian pula ketika dikatakan filsafat telah mati, maka akan timbul filsafat yang baru. Kematian filsafat adalah kematian konsep filsafat yang lampau. Filsafat akan tetap hidup!
            Pada masa modern, penyederhanaan realitas itu dimungkinkan untuk memperoleh dasar-dasar yang kukuh dan tak terbantahkan. Jadi, dasar-dasar itu merupakan representasi dari kanyataan yang sangat beragam, plural, dan aneka warna. Dasar-dasar itu berupa abstraksi yang bisa dimanfaatkan untuk pengetahuan. Itulah dasar dari filsafat selama ini. Namun demikian, pencarian yang terdalam itu akan terbentur pada kenyataan bahwa unsur-unsur itu tidak pernah melepaskan diri dari unsure permukaan yang turut membangunnya.
            Sebagai contoh, kalau kita melihat burung garuda sebagai realitas inderawi (unsur permukaan), maka hasil berfilsafatnya adanya burung garuda yang dijadikan sebagai simbol ideologi. Simbol itulah yang terdalam, tetapi hal yang terdalam itu digambarkan dengan hewan yang dilihat dengan indera. Contoh lain adalah penggambaran tentang Tuhan yang tidak bisa digambarkan karena mengandung unsur-unsur terdalam, Dzat yang hakiki dari segala bentuk yang hidup. Akan tetapi, ketika penggambaran itu dilakukan, maka yang muncul adalah penggambaran yang menggunakan unsur-unsur kemanusiaan. Bila manusia itu digambarkan kuat, maka Tuhan Mahakuat, bila manusia digambarkan punya kasih saying, maka Tuhan lebih dari itu, yakni Maha Penyayang dan Maha Pengasih. Demikian seterusnya, jadi gambaran Tuhan sebagai realitas hakiki itu dipantulkan dari relaitas yang inderawi, yakni segala hal yang bisa dirasakan secara actual.
            Dengan demikian, upaya filsafat untuk menemukan unsure yang mendalam itu sepenuhnya sia-sia karena filsafat hanyalah cermin dari benda-benda yang ada secara inderawi. Pendapat ini disampaikan oleh Richard Rorty. Dia lebih jauh mengatakan bahwa filsafat telah mati, karena metafisika tidak mendapatkan tempatnya lagi. Apa yang diusahakan manusia untuk mengetahui yang terdalam sebetulnya hanya ingin menjelaskan kembali apa yang terlihat dari luar, metafisika adalah sebilah cermin yang memantulkan apa saja yang ada di luarnya. Daripada kita melihat melalui cermin, katanya, maka lebih baik kita melihat langsung pada benda-benda yang dicerminkan.
            perdebatan tentang matinya metafisika ini, sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Martin Heidegger. Dia mengatakan bahwa realitas itu dinamakan dengan Ada. Hal yang disebut Ada adalah ultimo, tak tersentuh, berada dibalik segala sesuatu Ada sebuah kebenaran yang tidak bisa dicapai seseorang, dan kebenaran itu dinamakan dengan “Ada yang mutlak”.
            Kalau kita mengungkapkan kebenaran itu dalam kata-kata, maka kebenaran mutlak hanya ditangkap sebagian melalui susan huruf. Sebagian yang lain, yang tak tertangkap, akan berlalu ditiup angin. Karena itu, ketika orang memahami kebenaran melalui ungkapan, maka sebetulnya ia hanya memahami kata-kata. Dan ketika orang bermaksud menyampaikan kebenaran itu melalui kata-kata, maka dia sebetulnya tidak sedang menyampaikan kebenaran tetapi sedang merangkai sebuah kalimat, sehingga tak ubahnya sebagai mesin ketik. Karena itu, Hiedegger melihat bahwa manusia adalah “monster kata”. Manusia hanyalah mesin ketik yang terus berjalan karena ketika kita berpikir, sebetulnya kita sedang menyusun kalimat di dalam kepala kita.
            Klaim matinya metafisika yang juga berarti matinya filsafat, adalah suatu konsepsi filsafat yang bereaksi terhadap konsepsi-konsepsi sebelumnya. Karena itu, gagasan matinya filsafat adalah bagian dari konsep filsafat itu sendiri, dan dengan begitu, filsafat justru hidup ketika dinyatakan mati. Sebab, kamtian yang dimaksud adalah konsep filsafat pada masa lalu, sementara konsep baru filsafat dan tantangan-tantangan yang dihadapi itu masih, dan akan terus hidup smapai sekarang.
            Logika sebab akibat, prediksi, ketajaman intuisi, hingga persoalan-persoalan spekulasi bisa saja muncul dalam memahami filsafat pendidikan masa depan. Karena itu, sebuah pembahasan filsafat pendidikan masa depan tidak bisa dilepaskan dari persolan-persoalan yang muncul pada masa sekarang ini.

Sumber Buku : Dr. Saifur Rohman, M.Hum, M.Si dan Agus Wibowo, M.Pd. 2016. Filsafat Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar