Evolusi Filsafat
Pendidikan Masa Depan
Filsafat pendidikan masa depan
ditandai dengan adanya perubahan tatanan konsepsi filsafat itu sendiri. Ketika
metafisika dikatakan telah mati misalnya, metafisika baru telah muncul.
Demikian pula ketika dikatakan filsafat telah mati, maka akan timbul filsafat
yang baru. Kematian filsafat adalah kematian konsep filsafat yang lampau.
Filsafat akan tetap hidup!
Pada masa modern, penyederhanaan
realitas itu dimungkinkan untuk memperoleh dasar-dasar yang kukuh dan tak terbantahkan.
Jadi, dasar-dasar itu merupakan representasi dari kanyataan yang sangat
beragam, plural, dan aneka warna. Dasar-dasar itu berupa abstraksi yang bisa
dimanfaatkan untuk pengetahuan. Itulah dasar dari filsafat selama ini. Namun
demikian, pencarian yang terdalam itu akan terbentur pada kenyataan bahwa
unsur-unsur itu tidak pernah melepaskan diri dari unsure permukaan yang turut
membangunnya.
Sebagai contoh, kalau kita melihat
burung garuda sebagai realitas inderawi (unsur permukaan), maka hasil berfilsafatnya
adanya burung garuda yang dijadikan sebagai simbol ideologi. Simbol itulah yang
terdalam, tetapi hal yang terdalam itu digambarkan dengan hewan yang dilihat
dengan indera. Contoh lain adalah penggambaran tentang Tuhan yang tidak bisa
digambarkan karena mengandung unsur-unsur terdalam, Dzat yang hakiki dari
segala bentuk yang hidup. Akan tetapi, ketika penggambaran itu dilakukan, maka
yang muncul adalah penggambaran yang menggunakan unsur-unsur kemanusiaan. Bila
manusia itu digambarkan kuat, maka Tuhan Mahakuat, bila manusia digambarkan
punya kasih saying, maka Tuhan lebih dari itu, yakni Maha Penyayang dan Maha
Pengasih. Demikian seterusnya, jadi gambaran Tuhan sebagai realitas hakiki itu
dipantulkan dari relaitas yang inderawi, yakni segala hal yang bisa dirasakan
secara actual.
Dengan demikian, upaya filsafat
untuk menemukan unsure yang mendalam itu sepenuhnya sia-sia karena filsafat
hanyalah cermin dari benda-benda yang ada secara inderawi. Pendapat ini
disampaikan oleh Richard Rorty. Dia lebih jauh mengatakan bahwa filsafat telah
mati, karena metafisika tidak mendapatkan tempatnya lagi. Apa yang diusahakan
manusia untuk mengetahui yang terdalam sebetulnya hanya ingin menjelaskan
kembali apa yang terlihat dari luar, metafisika adalah sebilah cermin yang
memantulkan apa saja yang ada di luarnya. Daripada kita melihat melalui cermin,
katanya, maka lebih baik kita melihat langsung pada benda-benda yang
dicerminkan.
perdebatan tentang matinya
metafisika ini, sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Martin Heidegger. Dia
mengatakan bahwa realitas itu dinamakan dengan Ada. Hal yang disebut Ada adalah
ultimo, tak tersentuh, berada dibalik segala sesuatu Ada sebuah kebenaran yang
tidak bisa dicapai seseorang, dan kebenaran itu dinamakan dengan “Ada yang
mutlak”.
Kalau kita mengungkapkan kebenaran
itu dalam kata-kata, maka kebenaran mutlak hanya ditangkap sebagian melalui
susan huruf. Sebagian yang lain, yang tak tertangkap, akan berlalu ditiup
angin. Karena itu, ketika orang memahami kebenaran melalui ungkapan, maka
sebetulnya ia hanya memahami kata-kata. Dan ketika orang bermaksud menyampaikan
kebenaran itu melalui kata-kata, maka dia sebetulnya tidak sedang menyampaikan
kebenaran tetapi sedang merangkai sebuah kalimat, sehingga tak ubahnya sebagai mesin
ketik. Karena itu, Hiedegger melihat bahwa manusia adalah “monster kata”. Manusia
hanyalah mesin ketik yang terus berjalan karena ketika kita berpikir,
sebetulnya kita sedang menyusun kalimat di dalam kepala kita.
Klaim matinya metafisika yang juga
berarti matinya filsafat, adalah suatu konsepsi filsafat yang bereaksi terhadap
konsepsi-konsepsi sebelumnya. Karena itu, gagasan matinya filsafat adalah
bagian dari konsep filsafat itu sendiri, dan dengan begitu, filsafat justru
hidup ketika dinyatakan mati. Sebab, kamtian yang dimaksud adalah konsep
filsafat pada masa lalu, sementara konsep baru filsafat dan tantangan-tantangan
yang dihadapi itu masih, dan akan terus hidup smapai sekarang.
Logika sebab akibat, prediksi,
ketajaman intuisi, hingga persoalan-persoalan spekulasi bisa saja muncul dalam
memahami filsafat pendidikan masa depan. Karena itu, sebuah pembahasan filsafat
pendidikan masa depan tidak bisa dilepaskan dari persolan-persoalan yang muncul
pada masa sekarang ini.
Sumber
Buku : Dr. Saifur Rohman, M.Hum, M.Si dan Agus Wibowo, M.Pd. 2016. Filsafat
Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar