Mengenal
Pendidikan Karakter
Menurut
Nursalam Sirajuddin, istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks
pendidikan pada akhir abad ke-1. Pencetusnya adalah FW. Foerster. Terminology
ini engacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan, yang
juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter
merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang
sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf
Prancis, Auguste Comte.
Karakter
merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan
kepribadian yang benar akan menyesatkan, dan keterampilan tanpa kesadaran diri
akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, yang dibentuk dengan
metode dan proses yang bermartabat. Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah,
melainkan mengungkapkan secara implisit hal-hal yang tersembunyi. Oleh
karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai “siapa Anda dalam kegelapan?”
Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan
nilai-nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari
kehidupan moral.[1]
M.
Furqon Hidayatullah mengutip pendapatnya Rutland (2009: 1) yang mengemukakan
bahwa karakter berasal dari akar
bahasa Latin yang berarti “dipahat”. Secara harfiah, karakter artinya adalah kualitas moral, nama, atau reputasinya
(Hornby dan Parnwell, 1972: 49). Dalam kamus psikologi, dinyatakan bahwa
karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik totak etis atau moral, misalnya
kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif
tetap (Dali Gulo, 1982: 29).
Menurut
Doni Koesoema Albertus, karakter di asosiasikan dengan temperamen yang
memberinya definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitan dengan
pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut pandang
behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak
lahir. Disini, karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap
sebagai cirri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang,
yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
pengaruh keluarga pada asa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir.[2]
Individu
yang erkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan
karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU SISDIKNAS
tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan
akhlak mulia.
Amanah
UU SISDIKNAS tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk
insane Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter.
Sehingga lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang
bernapas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan
melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu juga pernah ditegaskan oleh
Martin Luther King, “Intelligence plus
character, that is the goal of true education” (Kecerdasan yang berkarakter
adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).[3]
Berdasarkan
pembahasan tersebut dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan
upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu
peserta didik memahami nilai-nilai prilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesame manusia, lingkungan, dan kebangsaan.
Kemudian nilai-nilai tersebut dapat terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataann, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hokum, tata karma,
budaya, dan adat istiadat.[4]
Pendapat
para pakar tersebut menegaskan tentang urgensi dan signifikansi pendidikan
karakter dalam membangun moralitas, mentalitas, dan jiwa bangsa Indonesia yang
sedang kehilangan jati diri dan kepribadian mereka. Sasaran dan prioritasnya
tentu kader-kader muda yang kelak mampu menjadi sosok transformator kehidupan
bangsa kea rah yang lebih baik.
Sumber : Jamal Ma’mur Asmani. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan
Karakter di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press. Hal. 26.
[1]
Metronews.fajar.co.id
[2]
Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter;
Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta; Grasindo, 2010), hlm.
79-80. Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian
Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas
Membangun Jati diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 11.
[3]
Diknas.kemdiknas.go.id, yang diakses pada 3 juni 2011.
[4]
Akhmadsudrajat.wordpress.com, yang diakses pada 5 juni 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar